Politik Minangkabau: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Jayrangkoto (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
[[Berkas:Pagaruyung.jpg|thumb|220px|right|[[Istana Pagaruyung]], simbol politik tertinggi kerajaan Minangkabau.]]
 
'''Politik Minangkabau''' adalah suatu sistimsistem politik yang berlandaskan filosofi [[demokrasi]], [[egalitarianisme|egalitarian]], dan [[keadilan sosial]]. SistimSistem politik tersebut telah berlaku dalam perpolitikan [[Orang Minang|masyarakat Minangkabau]] sejak berabad-abad yang lalu, dan dianggap oleh berbagai pihak sebagai sebuah sistimsistem yang modern dan mendahului zamannya.
 
== Pra -kemerdekaan Indonesia ==
Jauh sebelum kedatangan kolonialis [[Belanda]], sistimsistem sosial dan politik dalam masyarakat Minangkabau telah dijalankan dengan prinsip-prinsip politik yang demokratis, egaliter dan berkeadilan sosial. Hal ini terlihat dari berlakunya sistimsistem ''[[Nagari]]'' yang otonom, dimana suatu kelompok masyarakat yang berhimpun dalam suatu nagari (setingkat kelurahan/desa) dikelola secara bersama oleh sebuah ''triumvirat'' yang disebut ''[[Tigo Tungku Sajarangan]]'' dalam sebuah limbago (lembaga) yang disebut ''[[Kerapatan Adat Nagari]]''.
 
Jauh sebelum kedatangan kolonialis [[Belanda]], sistim sosial dan politik dalam masyarakat Minangkabau telah dijalankan dengan prinsip-prinsip politik yang demokratis, egaliter dan berkeadilan sosial. Hal ini terlihat dari berlakunya sistim ''[[Nagari]]'' yang otonom, dimana suatu kelompok masyarakat yang berhimpun dalam suatu nagari (setingkat kelurahan/desa) dikelola secara bersama oleh sebuah ''triumvirat'' yang disebut ''[[Tigo Tungku Sajarangan]]'' dalam sebuah limbago (lembaga) yang disebut ''[[Kerapatan Adat Nagari]]''.
 
''Tigo Tungku Sajarangan'' terdiri dari tiga unsur masyarakat yang mencakup kaum adat, kaum cerdik pandai dan kaum ulama.
 
*''Kaum Adat'' diwakili oleh beberapa orang penghulu dari suku/clanklan yang ada dalam sistimsistem adat Minangkabau, seperti suku Koto dan Piliang, Bodi dan Caniago serta berbagai suku pecahan baru lainnya. Setiap suku/clanklan diwakili oleh beberapa orang datuk yang merupakan kepala kaum atau keluarga besar.
 
*''Kaum Cerdik Pandai'' diwakili oleh orang-orang yang dianggap punya pengetahuan yang luas, pintar dan pandai tapi tidak memegang posisi dalam struktur adat.
Baris 15 ⟶ 14:
*''Kaum Ulama'' diwakili oleh orang-orang yang menguasai ilmu agama tapi juga tidak memegang posisi dalam struktur adat.
 
Ketiga unsur ini saling berinteraksi, berdialektika bahkan juga konflik dalam suatu sistimsistem politik yang diwadahi oleh suatu lembaga Kerapatan Adat Nagari. Di dalam lembaga inilah diperdebatkan dan dimusyawarahkan segala sesuatu permasalahan yang ada dalam suatu nagari sehingga dapat ditemukan solusi yang disepakati oleh semua pihak demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Keputusan lembaga ini bersifat otonom tanpa harus meminta persetujuan dari otoritas politik yang lebih tinggi seperti raja.
 
== Pasca -kemerdekaan Indonesia ==
Ketiga unsur ini saling berinteraksi, berdialektika bahkan juga konflik dalam suatu sistim politik yang diwadahi oleh suatu lembaga Kerapatan Adat Nagari. Di dalam lembaga inilah diperdebatkan dan dimusyawarahkan segala sesuatu permasalahan yang ada dalam suatu nagari sehingga dapat ditemukan solusi yang disepakati oleh semua pihak demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Keputusan lembaga ini bersifat otonom tanpa harus meminta persetujuan dari otoritas politik yang lebih tinggi seperti raja.
 
== Pasca kemerdekaan Indonesia ==
{{Multiple image|direction=horizontal|align=right|image1=TanMalaka DariPendjara ed3.jpg|image2=Mohammad Hatta 1950.jpg|image3=SoetanSjahrir.jpg|width1=100|width2=105|width3=101|footer=[[Tan Malaka]], [[Mohammad Hatta]], dan [[Sutan Sjahrir]]; tiga orang tokoh politik penting Indonesia dari Minangkabau.}}
 
SistimSistem politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter merupakan antitesis bagi sistimsistem politik besar lainnya di [[Indonesia]] yang diusung oleh [[budaya Jawa]] yang cenderung [[sentralistik]], [[patron klien]] dan [[Feodalisme|feodalistik]]. Dalam sejarah sejak Indonesia merdeka, kedua sistimsistem politik ini saling berinteraksi, bersaing dan berdialektika dalam perpolitikan Indonesia dalam rangka pengelolaan negara demi pencapaian tujuan bernegara, yaitu masyarakat adil dan makmur.
 
Pada awal-awal kemerdekaan, sistimsistem politik [[Budaya Minangkabau|Minangkabau]] yang termanifestasi dalam lakon politik dari tokoh-tokoh politik yang berasal dari Minangkabau, seperti [[Hatta]], [[Syahrir]], [[Natsir]], [[Agus Salim]] dan lain-lain, mendapatkan tempat yang lebih leluasa dengan berlakunya sistimsistem parlementer yang diwarnai dengan beragam partai politik. Bagi sebuah negara yang masih muda, ternyata sistimsistem ini sering menimbulkan kegaduhan politik, sehingga berakibat pada jatuh bangunnya pemerintahan dan seringnya pergantian kabinet.
 
SistimSistem ini berlaku sampai keluarnya [[Dekrit Presiden]] pada tahun 1959. SistimSistem politik demokratis yang berumur 14 tahun itu kemudian berganti dengan sistimsistem politik sentralistik dan feodalistik yang dijalankan oleh [[Presiden Soekarno]] dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas sampai tahun 1965, dimana akhirnya kekuasaan diambil alih oleh [[Soeharto]]. Selama sekitar 32 tahun selanjutnya, Presiden Soeharto-pun menjalankan sistimsistem yang hampir sama dengan pendahulunya. Barulah pada tahun 1998, dengan adanya reformasi, perpolitikan Indonesia kembali ke sistimsistem demokrasi, walaupun masih bersifat prosedural atau belum substansial.
 
==Rujukan ==