Sair Tjerita Siti Akbari: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 89:
Cerita ini diterima dengan baik oleh pembacanya, dan meskipun kala itu Lie bukan satu-satunya etnis Tionghoa yang menulis dalam bentuk puisi "[[syair]]" tradisional Melayu, ia menjadi salah satu lebih ulung.{{sfn|Klein|1986|p=62}} Lie menganggap karya ini sebagai salah satu karyanya yang terbaik.{{sfn|Tio|1958|p=100}} Pada tahun 1923, [[Kwee Tek Hoay]] - juga seorang penulis ulung - menulis bahwa ia telah terpesona oleh cerita ini saat ia seorang anak, sampai ia "hafal lebih dari setengah isinya dengan hati".{{efn|Asli: "''... separoh dari isinja saja soedah fahamken di loewar kapala.''"}}{{sfn|Tio|1958|p=101}} Kwee menganggap karya ini "penuh maksim dan saran baik"{{efn|Asli: "''... banjak berisi oedjar pepatah dan nasehat jang begitoe bagoes ...''"}} yang tidak tersedia di tempat lain.{{sfn|Tio|1958|p=101}} Nio Joe Lan menggambarkannya sebagai "permata puisi Melayu-Tionghoa",{{efn|Asli: "''Ratna manikam dalam persadjakan Melaju-Tionghoa..."}} dengan kualitas jauh lebih tinggi daripada puisi Melayu yang ditulis Tionghoa lainnya - baik kontemporer kala itu dan selanjutnya.{{sfn|Nio|1962|pp=142–147}}
 
Cerita ini diadaptasi menjadi drama panggung segera setelah dipublikasi, ketika itu ditampilkan oleh kelompok bernama ''Siti Akbari'' di bawah pimpinan Lie.{{sfn|Setiono|2008|p=235}} Lie juga membuat versi yang disederhanakan untuk rombongan aktor remaja yang ia pimpin di Bogor.{{sfn|Tio|1958|pp=42–43}} Pada tahun 1922, cabang [[Sukabumi]] dari ''Shiong Tih Hui'' menerbitkan adaptasi panggung lain dengan judul ''Pembalesan Siti Akbari''; pada tahun 1926 drama ini ditampilkan oleh ''[[Miss Riboet's Orion]]'', sebuah rombongan teater yang dipimpin oleh Tio Tik Djien.{{efn|Adaptasi ini dicetak ulang oleh [[Yayasan Lontar]] tahun 2006 dengan [[EYD]]{{harv|Lontar Foundation|2006|p=155}}.}} <ref>{{harvnb|De Indische Courant 1928, Untitled}};{{harvnb|Lontar Foundation|2006|p=155}}</ref> Cerita ini tetap populer sampai akhir 1930-an. Cerita ini mungkin juga menginspirasi film ''[[Siti Akbari]]'' dari [[Wong brothers|Joshua anddan Othniel Wong]] bersaudara yang dibintangi [[Roekiah]] dan [[Rd. Mochtar]]. Tingkat pengaruh karya ini tidak pasti, dan film ini mungkin telah hilang.<ref>{{harvnb|Filmindonesia.or.id, Siti Akbari}};{{harvnb|Biran|2009|p=212}};{{harvnb|Bataviaasch Nieuwsblad 1940, Cinema: Siti Akbari}}</ref>
 
Lie terus bereksperimen dengan prosa bergaya Eropa. Pada tahun 1886 ia menerbitkan ''[[Tjhit Liap Seng]]'' ("Tujuh Bintang"), yang oleh Claudine Salmon dari ''[[École des hautes études en sciences sociales]]'' Perancis dianggap sebagai novel Melayu-Tionghoa pertama.{{sfn|Salmon|1994|p=126}}<!-- Karya ini juga merupakan adaptasi dengan penambahan dari ''Klaasje Zevenster'' karya [[Jacob van Lennep]] (1865) dan ''[[Les Tribulations d'un Chinois en Chine]]'' karya [[Jules Verne]] (1879).--> Lie kemudian melanjutkan menerbitkan empat novel, serta beberapa terjemahan.{{sfn|Tio|1958|pp=85–86}} Ketika penulis etnis Tionghoa menjadi umum di Hindia Belanda awal 1900-an, para pakar sastra menamakan Lie sebagai "bapak sastra Melayu-Tionghoa" karena kontribusinya, yang termasuk ''Siti Akbari'' dan ''Tjhit Liap Seng''.{{sfn|Tio|1958|p=87}}