Tegaldowo, Gunem, Rembang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 29:
Sebelum [[Reformasi]], cukup banyak terjadi anak perempuan usia di bawah usia 12 tahun dinikahkan dengan pria berusia 20 tahun lebih. Namun, sejak [[abad ke-21]], tradisi menikahkan anak di bawah usia SD sudah amat jarang. Hanya pernikahan anak usia SLTP yang masih sering terjadi.
 
Perilaku perkawinan belia di Tegaldowo juga menjadi program perhatian pemerintah setempat. Pernyataan Bupati Rembang Jawa Tengah, Mochamad Salim dalam harian Kompas menyatakan: "Kami sudah awali kegiatan sosialisasi dengan homestay KRR di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, kemarin. Kami pilih desa tersebut untuk sosialisasi pertama karena cukup banyak kasus pernikahan dini yang ditemukan," . berdasarkanBerdasarkan data dari kantor urusan agama (KUA) kecamatan setempat, dalam kurun waktu tahun 2009-2009, jumlah kasus pernikahan dini sebanyak 21 kasus”kasus. (<ref>HU. Kompas; Sabtu, 31 Juli 2010). </ref>
Ulasan yang memuat perkawinan belia di desa Tegaldowo dari wikipedia Indonesia:
<!--blogspot?
 
“Sering orang tua tidak memedulikan apakah anak gadisnya mau dinikahkan atau tidak. Anak gadis usia belia di Tegaldowo banyak yang sudah menjanda, dan menurut tradisi di sana lebih diterima ketimbang menjadi perawan tua. Sebelum reformasi, cukup banyak terjadi anak perempuan usia di bawah usia 12 tahun dinikahkan dengan pria berusia 20 tahun lebih. Namun, sejak abad 21, tradisi menikahkan anak di bawah usia SD sudah amat jarang. Hanya pernikahan anak usia SLTP yang masih sering terjadi. Menurut data dari KUA Gunem, antara bulan januari 2008 sampai Juni 2009 tercatat 21 pernikahan di bawah usia 16 tahun. Hal ini terkait dengan kepercayaan yang mereka anut, yaitu bahwa jika orang tua memiliki anak perempuan dan ditanyakan atau diminta seorang pria untuk dinikahi harus diterima. Jika menolak, maka dipercaya anak itu takkan menemui jodoh kembali di kemudian hari” (http://wiki-indonesia.club/wiki/Tegaldowo,_Gunem,_Rembang).
Perilaku perkawinan belia di Tegaldowo juga menjadi program perhatian pemerintah setempat. Pernyataan Bupati Rembang Jawa Tengah, Mochamad Salim dalam harian Kompas mengatakan:
 
"Kami sudah awali kegiatan sosialisasi dengan homestay KRR di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, kemarin. Kami pilih desa tersebut untuk sosialisasi pertama karena cukup banyak kasus pernikahan dini yang ditemukan," . berdasarkan data dari kantor urusan agama (KUA) kecamatan setempat, dalam kurun waktu tahun 2009-2009, jumlah kasus pernikahan dini sebanyak 21 kasus” (HU. Kompas; Sabtu, 31 Juli 2010).
 
Publikasikan dalam blogspot Radio-Rock Semarang dari wawancara yang dilakukan Noni Arni dengan seorang informan (pelaku dan pencatata nikah) pada bulan November 2009 juga memuat tentang perkawinan belia. Berikut transkip wawancaranya:
 
Baris 45 ⟶ 40:
Ulasan perkawinan belia dalam transkip hasil wawancara Noni dengan Suwandi, seorang pegawai pencacat nikah di Tegaldowo:
 
”Adat"Adat orang sini kalau punya anak perempuan sudah ada yang ngelamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai lama tidak laku-laku. Percaya hal seperti itu masyarakat di sini. Entah nantinya jodoh atau tidak tetep di terima. Habis saya terima nikahnya..terus besoknya sudah pulang itu banyak. Bisa diartikan dipaksa. Angka perceraianpun tinggi masalahnya kayak gitu”gitu"
(http://bersamasuara.blogspot.com/2009/11/belenggu-tradisi-pernikahan-dini.html).-->
 
Berdasarkan pelacakan dokumen tentang perkawinan belia di Tegaldowo, penulis berpandangan bahwa keputusan perkawinan belia cenderung didominasi oleh orang tua anak, bukan pelaku perkawinan belia. Terlebih melihat adanya orientasi kebutuhan sosial orang tua dalam bentuk nilai sosial dimana anak memiliki nilai tukar yang berharga dalam keluarga, ketika anak tersebut telah dikawini oleh laki-laki. Namun pandangan orang tua seolah-olah tidak mengedepankan masa depan kelangsungan hubungan perkawinan anak itu sendiri. Bahkan dalam pelacakan dokumen di atas dapat dilihat, bahwa orang tua tidak terbebani dengan status janda atau duda karena perkawinan belia memiliki pondasi hubungan yang labil. Jelas pandangan ini berseberangan dengan pandangan umum, dimana orang tua akan terbebani ketika anak-anaknya gagal dalam membangun hubungan keluarga. Pandangan umum yang sama juga terlihat pada alasan medis dalam memandang perkawinan belia<ref>http://stat.k.kidsklik.com pada hari Senin, 3 November 2008</ref>:
 
"Secara medis anak perempuan usia di bawah 16 tahun masih dianggap belum matang secara seksual karena organ reproduksinya belum mengalami menstruasi sehingga tidak dianjurkan untuk menikah," kata Ketua Satgas Perlindungan Anak (IDAI) DR Rahmat Sentika di Jakarta”Jakarta.
 
Resiko perkawinan belia memiliki dampak biologis dan psikologis pada pihak perempuan. Dampak biologis nikah belia yang dilansir oleh Suryadi Danuwisastra, Kepala Bidang KB dalam Pikiran Rakyat mengatakan<ref>HU. Pikiran Rakyat; 21 Maret 2007; 01.</ref>:
 
“Angka"Angka kematian ibu melahirkan terkait dengan usia ibu melahirkan, bisa karena terlalu muda, terlalu banyak, atau terlalu sering melahirkan. Ibaratnya, remaja sedang tumbuh lalu harus mengandung janin yang juga perlu ia beri makan. Rebutan dalam perkembangan, walaupun mungkin selamat, namun kualitas anak yang dilahirkan remaja tentu akan berbeda dengan yang dilahirkan perempuaan dewasa yang memang sudah siap untuk melahirkan” (HU. Pikiran Rakyat; 21 Maret 2007;melahirkan" 01).
Berdasarkan pelacakan dokumen tentang perkawinan belia di Tegaldowo, penulis berpandangan bahwa keputusan perkawinan belia cenderung didominasi oleh orang tua anak, bukan pelaku perkawinan belia. Terlebih melihat adanya orientasi kebutuhan sosial orang tua dalam bentuk nilai sosial dimana anak memiliki nilai tukar yang berharga dalam keluarga, ketika anak tersebut telah dikawini oleh laki-laki. Namun pandangan orang tua seolah-olah tidak mengedepankan masa depan kelangsungan hubungan perkawinan anak itu sendiri. Bahkan dalam pelacakan dokumen di atas dapat dilihat, bahwa orang tua tidak terbebani dengan status janda atau duda karena perkawinan belia memiliki pondasi hubungan yang labil. Jelas pandangan ini berseberangan dengan pandangan umum, dimana orang tua akan terbebani ketika anak-anaknya gagal dalam membangun hubungan keluarga.
Pandangan umum yang sama juga terlihat pada alasan medis dalam memandang perkawinan belia, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ikatan Dokter Anak untuk menghentikan kebiasaan kawin muda yang dilansir dalam http://stat.k.kidsklik.com pada hari Senin, 3 November 2008:
 
Adapun dampak psikologis dalam perkawinan belia dilansir oleh dr. H.M. Zainie Hassan A.R., Sp.K.J. (ahli jiwa) dalam harian Pikiran Rakyat mengatakan<ref>HU. Pikiran Rakyat; 21 Maret 2007; 01.</ref>:
"Secara medis anak perempuan usia di bawah 16 tahun masih dianggap belum matang secara seksual karena organ reproduksinya belum mengalami menstruasi sehingga tidak dianjurkan untuk menikah," kata Ketua Satgas Perlindungan Anak (IDAI) DR Rahmat Sentika di Jakarta”.
Resiko perkawinan belia memiliki dampak biologis dan psikologis pada pihak perempuan. Dampak biologis nikah belia yang dilansir oleh Suryadi Danuwisastra, Kepala Bidang KB dalam Pikiran Rakyat mengatakan:
 
“Usia"Usia remaja menimbulkan persoalan dari berbagai sisi seperti pendidikan yang mungkin belum lulus SMA. Karena minim pendidikan, pekerjaan semakin sulit didapat dan berpengaruh pada pendapatan ekonomi keluarga," ujarnya. Terlebih jika menikah muda karena ketelanjuran berhubungan seks. Ada penolakan keluarga yang terjadi akibat malu. “Ini"Ini bisa menimbulkan stres. Ibu hamil usia muda mempunyai risiko bunuh diri lebih tinggi, khususnya jika mereka hamil di luar nikah dan tanpa didukung keluarga” (HU. Pikiran Rakyat; 21 Maret 2007; 01). keluarga"
“Angka kematian ibu melahirkan terkait dengan usia ibu melahirkan, bisa karena terlalu muda, terlalu banyak, atau terlalu sering melahirkan. Ibaratnya, remaja sedang tumbuh lalu harus mengandung janin yang juga perlu ia beri makan. Rebutan dalam perkembangan, walaupun mungkin selamat, namun kualitas anak yang dilahirkan remaja tentu akan berbeda dengan yang dilahirkan perempuaan dewasa yang memang sudah siap untuk melahirkan” (HU. Pikiran Rakyat; 21 Maret 2007; 01).
Adapun dampak psikologis dalam perkawinan belia dilansir oleh dr. H.M. Zainie Hassan A.R., Sp.K.J. (ahli jiwa) dalam harian Pikiran Rakyat mengatakan:
 
== Referensi ==
“Usia remaja menimbulkan persoalan dari berbagai sisi seperti pendidikan yang mungkin belum lulus SMA. Karena minim pendidikan, pekerjaan semakin sulit didapat dan berpengaruh pada pendapatan ekonomi keluarga,” ujarnya. Terlebih jika menikah muda karena ketelanjuran berhubungan seks. Ada penolakan keluarga yang terjadi akibat malu. “Ini bisa menimbulkan stres. Ibu hamil usia muda mempunyai risiko bunuh diri lebih tinggi, khususnya jika mereka hamil di luar nikah dan tanpa didukung keluarga” (HU. Pikiran Rakyat; 21 Maret 2007; 01).
{{reflist}}
 
{{Gunem, Rembang}}