Menjadi Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 5:
Dalam kompetisi tersebut, Tempo Intitute menekankan agar mahasiswa memulai esainya dengan mengamati kondisi di sekitar. Peserta dilecut untuk mengangkat permasalahan paling menarik atau paling penting di sekelilingnya, di wilayahnya, di “area kekuasaannya”. Ini bukan kompetisi membuat [[makalah]] dengan basis teori yang rigid, tapi tentang pendapat [[subyektif]]. Tulisan bisa berupa [[refleksi]], [[observasi]] mendalam, atau gagasan [[konkret]] atas sebuah persoalan nyata di sekitarmu. Saat menyosialisasikan kompetisi ini ke kampus-kampus, Tempo Institute selalu mengajak mahasiswa agar 'tetap menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan'<ref>http://news.detik.com/read/2012/10/17/181850/2065373/486/puluhan-mahasiswa-bandung-tuliskan-harapannya-untuk-indonesia</ref>
[[Goenawan Mohamad]], dalam suratnya mengajukan pertanyaan yang menggelitik: Mengapa kita menjadi Indonesia? Haruskah kita menjadi Indonesia? Apakah kita belum menjadi Indonesia? Ia pun menuliskan, Menjadi Indonesia adalah menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai<ref>http://unnes.ac.id/berita/tempo-undang-mahasiswa-ikuti-kompetisi-menjadi-indonesia/</ref>. Sedangkan Franz Magnis-Suseno berpesan, 'Adik-adikku, jangan mau dikalahkan oleh pesimisme, kekecewaan dan segala macam kebencian. Berjuanglah bagi masa depan yang lebih manusiawi, lebih luhur dan lebih maju. Anda akan berhasil.'<ref>http://www.komkepbandung.com/detail-isi-artikel/108-menjadi-indonesia/</ref>
== Referensi ==
|