Fadjroel Rachman: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k idx kat
Dyahswandari (bicara | kontrib)
Baris 5:
 
Di kampus, Fadjroel juga aktif dalam kegiatan puisi sehingga ia pun ditunjuk menjadi Presiden Grup Apresiasi Sastra ITB. Dunia intelektual, aktivis, perpuisian, dan media massa itu digelutinya sampai kini. "Saya bukan penyair. Saya suka menulis, baik esai maupun puisi," kata Fadjroel.
Dari latar belakang keluarganya, Fadjroel jauh dari dunia [[politik]]. Persentuhannya dengan "dunia" yang lain terjadi secara kebetulan saat ia diajak oleh seorang kawannya melihat kehidupan [[pemulung]] di Tegallega, [[Bandung]]. Tuturnya, "Di situ saya mulai terbuka bahwa dunia tidak seindah di ITB ataupun di keluarga saya." Fadjroel mencoba mengabstraksikan realitas masyarakat miskin yang disaksikannya dengan mencari penjelasan dari buku-buku Sritua Arief dan teori ketergantungan [[Gunder Frank]] sampai fisikawan dan filsuf [[Karl Raimund Popper]] yang memperkenalkan metodologi sains untuk ilmu-ilmu sosial.
 
Pergaulan dengan buku-buku itu mengantarkan pergaulannya dengan sejumlah budayawan dan intelektual ternama seperti almarhum [[Soebadio Sastrotomo]], [[Mochtar Lubis]], dan [[Soedjatmoko]]. Perkenalannya dengan Soedjatmoko begitu mengesankan sehingga mengukuhkan niatnya untuk terjun dalam kegiatan intelektualisme dan aktivisme, dua dunia yang menurut Fadjroel tidak boleh dipisah-pisahkan. Atas usulan Soedjatmoko pula ia terlibat dalam Forum Pemuda Asia Pasifik di [[Tokyo]] sampai sekarang. Selama hampir tiga tahun Fadjroel melakukan penjelajahan intelektual melalui kelompok-kelompok diskusi maupun pers mahasiswa sebelum terjun sebagai aktivis. Pada tahun [[1987-1989]], tiga tahun setelah kuliah, Fadjroel bersama-sama dengan para aktivis mahasiswa lainnya melakukan advokasi untuk petani Kacapiring dan Badega.