Boenga Roos dari Tjikembang (novel): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Farras (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 10:
| cover_artist = Tan Bellia (Cetakan ke-2)
| country = [[Hindia Belanda]]
| language = [[Bahasa dagang dan kreol Melayu|Melayu rendah]]
| series =
| subject =
Baris 28:
| followed_by =
}}
'''''Boenga Roos Dari Tjikembang''''' ([[EYD]]: '''Bunga Roos Dari Cikembang''') adalah novel ber[[Bahasa dagang dan kreol Melayu|bahasa Melayu rendah]] tahun 1927 yang ditulis oleh [[Kwee Tek Hoay]]. Buku tujuh belas bab ini menceritakan seorang manajer perkebunan bernama Oh Aij Tjeng (EYD:Oh Aiy Ceng) yang harus meninggalkan ''[[nyai]]'' (pasangan tanpa hubungan [[pernikahan]]) tercintanya, Marsiti, sehingga ia bisa menikah. Delapan belas tahun kemudian setelah putri Aij Teng, Lily meninggal, calon anak-mertua Aij Tjeng, Bian Koen menemukan bahwa Marsiti memiliki seorang putri, Roosminah, yang sangat mirip dengan Lily. Bian Koen dan Roosminah lalu menikah.
 
Terinspirasi oleh lirik lagu ber[[bahasa Inggris]] "''If Those Lips Could Only Speak''" ({{lang-id|"Jika Bibir Itu Dapat Berbicara"}}) dan [[sandiwara]] "''[[Impian di Tengah Musim]]''" karya [[William Shakespeare]], ''Boenga Roos Bahasa Dari Tjikembang'' awalnya ditulis sebagai cerita garis besar untuk grup drama panggung Union Dalia. Kwee mencampurkan beberapa bahasa lainnya, khususnya [[bahasa Belanda|Belanda]], [[Bahasa Sunda|Sunda]], dan Inggris; ia memasukkan dua kutipan dari puisi bahasa Inggris dan satu lagi dari lagu bahasa Inggris. Novel ini telah ditafsirkan berbagai sebagai suatu promosi [[teosofi]], sebuah risalah pada konsep [[reinkarnasi]] [[Buddhisme]], panggilan untuk pendidikan, sebuah ode penghormatan untuk para ''[[nyai]]'', dan kecaman terhadap bagaimana mereka diperlakukan kala itu.
Baris 55:
 
==Gaya penulisan==
''Boenga Roos Dari Tjikembang'' ditulis dalam bahasa [[Bahasa dagang dan kreol Melayu|Melayu rendah]], karena umum untuk karya-karya penulis kontemporer Tionghoa di [[Hindia Belanda]].{{sfn|Sumardjo|1989|p=100}} Kritikus sastra Indonesia [[Jakob Sumardjo]] menulis bahwa dengan penggunaan bahasa ini oleh Kwee, yang umum dalam masyarakat kontemporer kala itu, karya ini adalah lebih "modern" dibandingkan sebagian besar publikasi Balai Pustaka yang lebih formal, mungkin dengan perkecualian ''[[Salah Asuhan]]'' karya [[Abdoel Moeis]] (yang diterbitkan pada tahun berikutnya): karya ini tetap fokus pada peristiwa penting, yang diperlukan untuk memajukan cerita secara keseluruhan.{{sfn|Sumardjo|1989|p=101}} Buku ini menggunakan kata-kata non-Melayu dengan biasa: Sumardjo menghitung 87 kata-kata [[bahasa Belanda]], 60 dari [[bahasa Sunda]], dan 14 dari [[bahasa Inggris]].{{sfn|Sumardjo|1989|p=120}}
 
Selama dialog, [[diksi]] novel ini tergantung pada latar belakang sosial karakter: Sumardjo menulis bahwa Marsiti berbicara seperti layaknya warga miskin yang berpendidikan rendah, dan bahwa ayah dan ayah-mertua Aij Tjeng menggunakan konstruksi dan nasihat hanya masuk akal jika datang dari orang tua. Dia menemukan hanya satu karakter, yaitu Bian Koen yang dididik di [[Columbia University]], sebagai tidak realistis, karena rentan terhadap emosionalitas, sesuatu yang tidak sesuai dengan pendidikan dan pengalaman hidup yang dimilikinya.{{sfn|Sumardjo|1989|p=183}} Dalam saat lain Kwee membangun ketegangan dengan penggunaan yang sangat sering dari [[elipsis]], suatu teknik yang Sumardjo berpendapat terinspirasi oleh [[cerita silat]] kontemporer.{{sfn|Sumardjo|1989|p=105}}
Baris 111:
Novel ini telah dua kali diadaptasi sebagai film layar lebar. Adaptasi pertama, ''[[Boenga Roos dari Tjikembang (film 1931)|Boenga Roos dari Tjikembang]]'' dirilis pada tahun 1931 dan disutradarai oleh [[The Teng Chun]].{{sfn|Filmindonesia.or.id, Boenga Roos}} Ahli kebudayaan Tionghoa [[Leo Suryadinata]] memberikan gelar untuk film ini sebagai [[film suara]] pertama yang [[Daftar film Hindia Belanda|diproduksi di dalam negeri di Hindia Belanda]],{{sfn|Suryadinata|1995|p=43}} meskipun sejarawan film [[Misbach Yusa Biran]] berpendapat ada film suara [[Karnadi Anemer Bangkong|dalam negeri lainnya]] yang dirilis pada tahun 1930.{{sfn|Biran|2009|p=137}} Pada tahun 1975 sebuah adaptasi lainnya dibuat oleh [[Fred Young]] dengan judul ''[[Bunga Roos]]'', mengikuti [[Ejaan Yang Disempurnakan]]. Meskipun garis besar utama ceritanya tetap sama, beberapa nama tokoh Tionghoa di-Indonesiakan. Oh Aij Tjeng, misalnya, berganti nama menjadi Wiranta, sementara Gwat Nio diubah menjadi Salmah.{{sfn|Filmindonesia.or.id, Bunga Roos}}
 
Novel ini, seperti halnya dengan semua hasil karya tulis dalam [[Bahasa dagang dan kreol Melayu|bahasa Melayu rendah]] kala itu, belum dianggap sebagai bagian dari kanon sastra Indonesia.{{sfn|Sumardjo|1989|p=100}} Dalam tesis doktoratnya, J. Francisco B. Benitez berpendapat mengenai penyebab sosio-politik hal ini. Pemerintah kolonial Belanda kala itu menggunakan [[Bahasa Melayu|bahasa Melayu tinggi]] sebagai "bahasa administrasi", bahasa untuk urusan sehari-hari, sementara kaum nasionalis Indonesia lalu menyesuaikan bahasa ini untuk membantu membangun sebuah budaya nasional. Sastra Melayu Tionghoa, yang ditulis dalam Melayu "rendah" kemudian menjadi kian terpinggirkan.{{sfn|Benitez|2004|pp=82–83}} Namun Sumardjo melihat pertanyaan tentang klasifikasi: meskipun Melayu rendah adalah [[lingua franca]] Hindia Belanda kala itu, bahasa ini bukan bahasa Indonesia, dan karena itu, ia bertanya apakah karya dalam bahasa Melayu rendah harus diklasifikasikan sebagai sastra lokal, sastra Indonesia, atau hanya sastra Melayu Tionghoa.{{sfn|Sumardjo|1989|p=100}}
 
==Catatan kaki==