Borobudur: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-[[File: +[[Berkas:) |
merapikan, replaced: didalam → di dalam using AWB |
||
Baris 34:
}}
'''Borobudur''' adalah nama sebuah [[candi]] [[Buddha]] yang terletak di [[Borobudur, Magelang|Borobudur]], [[kabupaten Magelang|Magelang]], [[Jawa Tengah]], [[Indonesia]]. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 [[kilometer|km]] di sebelah barat daya [[Semarang]], 86
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan [[Siddhartha Gautama|Buddha]] sekaligus berfungsi sebagai tempat [[ziarah]] untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.<ref name="Kompas">{{Cite news
Baris 54:
| quote =
}}
</ref> Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah ''[[Kamadhatu|Kāmadhātu]]'' (ranah hawa nafsu), ''[[Rupadhatu]]'' (ranah berwujud), dan ''[[Arupadhatu]]'' (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.<ref name="Soekmono4">Soekmono (1976), halaman 4.</ref> Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh [[Sir Thomas Stamford Raffles]], yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya [[Pemerintah Republik Indonesia]] dan [[UNESCO]], kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar [[Situs Warisan Dunia]].<ref name="unesco-whc">
Baris 71:
Dalam [[Bahasa Indonesia]], bangunan keagamaan purbakala disebut ''[[candi]]''; istilah ''candi'' juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya [[gerbang]], [[gapura]], dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama ''Borobudur'' tidak jelas,<ref name="Soekmono13" /> meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.<ref name="Soekmono13" /> Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "[[Sejarah Pulau Jawa]]" karya [[Sir Thomas Raffles]].<ref name="Raffles1814">{{cite book|title=The History of Java|author=Thomas Stamford Raffles|authorlink=Sir Thomas Raffles|year=1817|edition=1978|isbn=0-19-580347-7|publisher=Oxford University Press}}</ref> Raffles menulis mengenai monumen bernama ''borobudur'', akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis.<ref name="Soekmono13">Soekmono (1976), halaman 13.</ref> Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah [[Nagarakretagama]], yang ditulis oleh [[Mpu Prapanca]] pada 1365.<ref name="moens" />
Nama ''Bore-Budur'', yang kemudian ditulis ''BoroBudur'', kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan ''candi'' memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah ''Buda'' dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".<ref name="Soekmono13" /> Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama ''Budur'' berasal dari istilah ''bhudhara'' yang berarti gunung.<ref name="casparis" />
Banyak [[teori]] yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata ''Sambharabhudhara'', yaitu artinya "[[gunung]]" (''bhudara'') di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa [[etimologi]] rakyat lainnya. Misalkan kata ''borobudur'' berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi ''borobudur''. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata ''bara'' konon berasal dari kata ''[[vihara]]'', sementara ada pula penjelasan lain di mana ''bara'' berasal dari [[bahasa Sanskerta]] yang artinya kompleks candi atau biara dan ''beduhur'' artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam [[bahasa Bali]] yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah [[biara]] atau [[asrama]] yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan [[J.G. de Casparis]] dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada [[1950]] berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan [[prasasti Karangtengah]] dan [[Prasasti Tri Tepusan|Tri Tepusan]], Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja [[Kerajaan Medang|Mataram]] dari wangsa [[Syailendra]] bernama [[Samaratungga]], yang melakukan pembangunan sekitar tahun [[824|824 M]]. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu [[Pramodhawardhani|Pramudawardhani]]. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah ''sima'' (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara ''Kamūlān'' yang disebut ''Bhūmisambhāra''.
==Lingkungan sekitar==
[[Berkas:Borobudur Map id.svg|thumb|right|380px|Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan perlambang]]
Terletak sekitar {{convert|40|km|mi}} barat laut dari [[Kota Yogyakarta]], Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; [[Gunung Sundoro]]-[[Gunung Sumbing|Sumbing]] di sebelah barat laut dan [[Gunung Merbabu|Merbabu]]-[[Gunung Merapi|Merapi]] di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit [[Tidar]], lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan [[Menoreh]], serta candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu [[Sungai Progo]] dan [[Sungai Elo]] di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai [[dataran Kedu]] adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.<ref name="p1">Soekmono (1976), halaman 1.</ref>
===Tiga candi serangkai===
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu [[Candi Mendut]] dan [[Candi Pawon]] yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.<ref name="krom">{{cite book|author=N. J. Krom| title=Borobudur, Archaeological Description| year=1927| publisher=Nijhoff| location=The Hague| url=http://www.borobudur.tv/mendut_borobudur.htm| accessdate=17 August 2008}}</ref> Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.<ref name="moens">{{cite journal| title=Barabudur, Mendut en Pawon en hun onderlinge samenhang (''Barabudur, Mendut and Pawon and their mutual relationship'') |author=J. L. Moens |year=1951 |quote=trans. by Mark Long |url=http://www.borobudur.tv/Barabudur_Mendut_Pawon.pdf| journal=Tijdschrift voor de Indische Taai-, Land- en Volkenkunde |publisher=Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen |pages=326–386|format=PDF}}</ref>
Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di [[Museum Karmawibhangga]] Borobudur, yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan [[Museum Samudra Raksa]]. Tidak seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut [[Candi Banon]]. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan cukup baik yaitu [[Shiwa]], [[Wishnu]], [[Brahma]], serta [[Ganesha]]. Akan tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di [[Museum Nasional Indonesia]].
Baris 88:
===Danau purba===
[[Berkas:Borobudur Panoramic View.jpg|thumb|right|380px|Borobudur di tengah kehijauan alam [[dataran Kedu]]. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah danau purba.]]
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian {{convert|265|m|ft|abbr=on}} dari permukaan laut dan {{convert|15|m|ft|abbr=on}} di atas dasar danau purba yang telah mengering.<ref name="Murwanto">{{cite journal|author=Murwanto, H.; Gunnell, Y; Suharsono, S.; Sutikno, S. and Lavigne, F|title=Borobudur monument (Java, Indonesia) stood by a natural lake: chronostratigraphic evidence and historical implications|journal=The Holocene|issue=3|year=2004|pages=459–463|doi=10.1191/0959683604hl721rr|volume=14|unused_data=volume14}}</ref> Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, [[W.O.J. Nieuwenkamp]], mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga [[teratai]] yang mengapung di atas permukaan danau.<ref name="casparis">J.G. de Casparis, "The Dual Nature of Barabudur", in Gómez and Woodward (1981), halaman 70 dan 83.</ref> Bunga teratai baik dalam bentuk ''padma'' (teratai merah), ''utpala'' (teratai biru), ataupun ''kumuda'' (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali digenggam oleh [[Boddhisatwa]] sebagai ''laksana'' (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab [[Mahayana]] (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga teratai.<ref name="Murwanto" /> Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog; pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini.<ref>R.W. van Bemmelen (1949). ''The geology of Indonesia, general geology of Indonesia and adjacent archipelago, vol 1A'', The Hague, Government Printing Office, Martinus Nijhoff. cited in Murwanto (2004).</ref> Sebuah penelitian [[stratigrafi]], sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur,<ref name="Murwanto" /> yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut merubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danaunya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa [[Pleistosen]].<ref>{{cite journal|author=Newhall C.G., Bronto S., Alloway B., Banks N.G., Bahar I., del Marmol M.A., Hadisantono R.D., Holcomb R.T., McGeehin J., Miksic J.N., Rubin M., Sayudi S.D., Sukhyar R., Andreastuti S., Tilling R.I., Torley R., Trimble D., and Wirakusumah A.D.| title= 10,000 Years of explosive eruptions of Merapi Volcano, Central Java: archaeological and modern implications| journal=Journal of Volcanology and Geothermal Research| volume=100| issue=1| year=2000| pages=9–50| doi=10.1016/S0377-0273(00)00132-3}}</ref>
Baris 98:
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya.<ref name="Soekmono9">Soekmono (1976), halaman 9.</ref> Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi.<ref name="Soekmono9" /> Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa [[Syailendra]] di Jawa Tengah,<ref>Miksic (1990)</ref> yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan [[Sriwijaya]]. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja [[Samaratungga]] pada tahun 825.<ref name="Dumarcay">Dumarçay (1991).</ref><ref>{{cite book|title=Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula| author=Paul Michel Munoz| publisher=Didier Millet| year=2007| isbn= 981-4155-67-5| page=143| location=Singapore}}</ref>
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan [[prasasti Sojomerto]] menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.<ref name="Dumarcay" /> Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di [[Dataran Kedu]]. Berdasarkan [[Prasasti Canggal]], pada tahun 732 M, raja beragama Siwa [[Sanjaya, Rakai Mataram|Sanjaya]] memerintahkan pembangunan bangunan suci [[Candi Gunung Wukir|Shiwalingga]] yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya {{convert|10|km|mi|abbr=on}} sebelah timur dari Borobudur.<ref name="holing">{{cite journal |journal=Indonesia |title=In Search of "Ho-Ling" |author=W. J. van der Meulen| volume=23 |year=1977 |pages=87–112 |url=http://cip.cornell.edu/DPubS?service=UI&version=1.0&verb=Display&handle=seap.indo/1107118718}}</ref> Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di [[Dataran Prambanan]], meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa [[Prambanan]] sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, [[Rakai Panangkaran]] memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.<ref name="meulen">{{cite journal |journal=Indonesia |title=King Sañjaya and His Successors |author=W. J. van der Meulen| volume=28 |year=1979 |pages=17–54 |url=http://cip.cornell.edu/DPubS?service=UI&version=1.0&verb=Display&handle=seap.indo/1107121629 |doi=10.2307/3350894 |jstor=3350894 |issue=28}}</ref> Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa [[Kalasan, Sleman|Kalasan]] kepada [[sangha]] (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan [[Candi Kalasan]] yang dibangun untuk memuliakan [[Tara (Bodhisattva)|Bodhisattwadewi Tara]], sebagaimana disebutkan dalam [[Prasasti Kalasan]] berangka tahun 778 Masehi.<ref name="meulen" /> Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.<ref name="Soekmono10">Soekmono (1976), halaman 10.</ref> Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja [[Siwa]] — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan [[Ratu Boko]].<ref name="hall">{{cite journal |title=Problems of Indonesian Historiography |author=D.G.E. Hall |journal=Pacific Affairs |volume=38 |issue=3/4 |pages=353–359 |year=1956 |doi=10.2307/2754037 |jstor=2754037}}</ref> Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di [[Prambanan]], candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra,<ref name="hall" /> akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.<ref>{{cite book| author=Roy E. Jordaan |title=Imagine Buddha in Prambanan: Reconsidering the Buddhist Background of the Loro Jonggrang Temple Complex |location=Leiden |year=1993 |publisher=Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Ocenanië, Rijksuniversiteit te Leiden| isbn=90-73084-08-3}}</ref>
Baris 114:
Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja [[Mpu Sindok]] memindahkan ibu kota kerajaan [[Medang]] ke kawasan [[Jawa Timur]] setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.<ref name="Soekmono4" /><ref name="Murwanto" /> Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh [[Mpu Prapanca]] dalam naskahnya ''[[Nagarakretagama]]'' yang ditulis pada masa kerajaan [[Majapahit]]. Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.<ref name="Soekmono4" />
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut ''Babad Tanah Jawi'' (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja [[Kesultanan Mataram]] pada 1709.<ref name="Soekmono4"
=== Penemuan kembali ===
Baris 126:
Pemerintah [[Hindia Belanda]] menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi [[monografi]] berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian.<ref name="p6" /> Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, [[Isidore van Kinsbergen]].<ref name="p42">Soekmono (1976), halaman 42.</ref>
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen.<ref name="p42" /> Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, [[Raja Thailand]], [[Chulalongkorn]] ketika mengunjungi Jawa di [[Hindia Belanda]] (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga [[dwarapala]] yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional di Bangkok.<ref>{{cite web |url=http://books.google.co.id/books?id=MVoZGA2yfywC&pg=PA29&dq=dvarapala+borobudur+dagi&hl=en&sa=X&ei=Q4F6T5baOsbyrQem1JifAg&ved=0CDoQ6AEwAQ#v=onepage&q=dvarapala%20borobudur%20dagi&f=false |title=Borobudur: Golden Tales of the Buddhas |author= |page=29 |author=John Miksic, Marcello Tranchini, Anita Tranchini |date=1996 |work= |publisher=Tuttle publishing |accessdate=2 April 2012}}</ref>
=== Pemugaran ===
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan ''kaki tersembunyi''.<ref name="kompas">{{cite news|publisher=[[Kompas]]|title=Borobudur Pernah Salah Design?|language=Indonesian|url=http://www.kompas.com/kompas-cetak/0004/07/dikbud/boro09.htm|archiveurl=http://web.archive.org/web/20071226230646/http://www.kompas.com/kompas-cetak/0004/07/dikbud/boro09.htm|archivedate=26 December 2007|date=7 April 2000|accessdate=23 August 2008}}</ref> Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.<ref name="p43">Soekmono (1976), halaman 43.</ref> Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.
Baris 156 ⟶ 155:
}}</ref>
Pada [[21 Januari]] [[1985]], sembilan stupa [[Bom Candi Borobudur 1985|rusak parah akibat sembilan bom]].<ref>{{cite news|title=1,100-Year-Old Buddhist Temple Wrecked By Bombs in Indonesia|publisher=The Miami Herald|date=22 January 1985|url=http://nl.newsbank.com/nl-search/we/Archives?p_product=MH&s_site=miami&p_multi=MH&p_theme=realcities&p_action=search&p_maxdocs=200&p_topdoc=1&p_text_direct-0=0EB3619008FD4B9F&p_field_direct-0=document_id&p_perpage=10&p_sort=YMD_date:D&s_trackval=GooglePM|accessdate=17 August 2008}}</ref> Pada 1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi Borobudur.<ref>{{cite journal|author=Harold Crouch|journal=Institute of Southeast Asian Studies|title=The Key Determinants of Indonesia's Political Future|url=http://www.iseas.edu.sg/72002.pdf|year=2002|issn=0219-3213|volume=7|format=PDF}}</ref> Dua anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun penjara.
[[Berkas:Trail of civilisations.jpg|thumb|left|Sendratari "Mahakarya Borobudur" digelar di Borobudur]]
Monumen ini adalah obyek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 diantaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini.<ref name="Hampton2004"
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di [[Yogyakarta]], akan tetapi Borobudur tetap utuh.<ref>{{cite news|url=http://www.smh.com.au/news/world/an-ancient-wonder-reduced-to-rubble/2006/05/29/1148754940170.html|title=An ancient wonder reduced to rubble|author=Sebastien Berger|date=30 May 2006|accessdate=23 August 2008|publisher=The Sydney Morning Herald}}</ref>
Baris 201 ⟶ 200:
=== Konsep rancang bangun ===
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah [[stupa]] yang bila dilihat dari atas membentuk pola [[Mandala]] besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan [[kosmos]] atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhab [[Mahayana]] yang secara bersamaan menggambarkan [[kosmologi]] yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.<ref>{{cite conference|author=A. Wayman| title=Reflections on the Theory of Barabudur as a Mandala| booktitle=Barabudu History and Significance of a Buddhist Monument| publisher=Asian Humanities Press| location=Berkeley| year=1981}}</ref> Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan [[Bodhisattva]] yang harus dilalui untuk mencapai [[penerangan sempurna|kesempurnaan]] menjadi Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran {{convert|123|m|ft}} pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.<ref name="kompas"
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Baris 213 ⟶ 212:
'''Rupadhatu'''
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan ''Rupadhatu''. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5
'''Arupadhatu'''
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan ''Arupadhatu'' (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan ''alam atas'', di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai [[nirwana]]. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Baris 350 ⟶ 349:
| archivedate =
}}
</ref>
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut ''mapradaksina'' dalam bahasa [[bahasa Jawa|Jawa Kuna]] yang berasal dari [[bahasa Sanskerta]] ''daksina'' yang artinya ialah [[timur]]. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita [[jataka|jātaka]]. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
{| class="wikitable sortable"
Baris 413 ⟶ 412:
Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta menampilkan [[mudra]] atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan batu andesit.<ref name="Kompas"/>
Patung buddha dalam relung-relung di tingkat ''Rupadhatu'', diatur berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat ''Rupadhatu''.<ref name="p35-36"
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus diantaranya, yaitu pada ''[[mudra]]'' atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan ''mudra'': Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran [[Mahayana]]. Keempat pagar langkan memiliki empat ''mudra'': Utara, Timur, Selatan, dan Barat, dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan ''mudra'' yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan ''mudra'': Tengah atau Pusat. Masing-masing ''mudra'' melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.<ref>{{cite book|title=The Twilight Language: Explorations in Buddhist Meditation and Symbolism|author= Roderick S. Bucknell and Martin Stuart-Fox|publisher= Routledge|location=UK|year=1995|isbn=0700702342}}</ref>
Mengikuti urutan ''Pradakshina'' yaitu gerakan mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi Timur, maka ''[[mudra]]'' arca-arca buddha di Borobudur adalah:
Baris 524 ⟶ 523:
{{Candi Buddha Indonesia}}
{{Situs Warisan Dunia di Indonesia}}
{{featured article}}▼
[[Kategori:Borobudur| ]]
[[Kategori:Markah tanah di Indonesia]]
[[Kategori:Tempat ziarah agama Buddha]]
▲{{featured article}}
{{Link FA|en}}
{{Link FA|eo}}
|