Pembicaraan Wikipedia:Bak pasir: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Borgx (bicara | kontrib)
k Suntingan Muhammad munir (Pembicaraan) dikembalikan ke versi terakhir oleh Borgx
KARAKTERISTIK ABSES OTAK OTOGENIK
Baris 1:
KARAKTERISTIK ABSES OTAK OTOGENIK
Sekedar usul:<br>
( Tinjauan terhadap 14 kasus)
Halaman ini dituju dari pesan selamat datang. Bagaimana jika di pesan selamat datang, link ke bak pasirnya di ubah ke setiap halaman penggunanya. Misalnya pengguna ArielPeterPan mengklik "menuju ke bak pasir" maka yang akan dituju adalah "Pengguna:ArielPeterPan/Bak pasir", bukan "Wikipedia:Bak pasir". Keuntungannya, kita tidak perlu sering-sering melakukan "reset" biar hasil uji coba pengguna lain tidak keliatan (tidak tercampur aduk) oleh pengguna lain. [[User:Borgx|<font face="Copperplate Gothic Bold" color="#1F85FF">borgx</font>]]<sup>([[User_talk:Borgx|<font color="#003366">kirim pesan</font>]])</sup> 10:00, 29 Maret 2006 (UTC)
 
Slamet Widodo, Edhie Samodra, Anton Christanto, Vimala Acala, puspa zulaieka
:Wah saya kurang setuju, sebab nanti database Wikipedia Indonesia menjadi (terlalu) besar dan hal ini tidak diperlukan. Hanya beberapa pengguna (kawakan) saja yang memiliki bak pasir pribadi. Hal ini BTW juga tidak dianjurkan di Wikipedia lainnya. Kalau reset tidak usah setiap saat tapi kan bisa sehari sekali atau beberapa waktu sekali. [[Pengguna:Meursault2004|Meursault2004]] 10:41, 29 Maret 2006 (UTC)
SMF THT – KL Fakultas Kedokteran UGM/RSUP Dr Sardjito Yogyakarta
 
ABSTRAK
:Saya juga sependapat dengan Bung Meursault dalam hal ini. Selain menambah beban ''database'', terlalu banyak bak pasir bisa jadi ''ribet'' :). [[Pengguna:*drew|*drew]] 11:36, 29 Maret 2006 (UTC)
 
Pendahuluan: Abses otak otogenik memerlukan penegakan diagnosis dini,memerlukan penatalaksanaan cepat serta tepat dan mempunyai angka kematian tinggi
Well Ok deh. [[User:Borgx|<font face="Copperplate Gothic Bold" color="#1F85FF">borgx</font>]]<sup>([[User_talk:Borgx|<font color="#003366">kirim pesan</font>]])</sup> 14:25, 29 Maret 2006 (UTC)
Belum ada tulisan yang mengemukakan karakteristik abses otak otogenik
Tujuan: Untuk menetukan karekteristik abses otak otogenik
Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, suatu peninjauan dilaksanakan terhadap 14 kasus dengan kriteria inklusi : penderita terdiagnosis abses otak otogenik dan memiliki Head CT scan, serta kriteria eksklusi : memiliki catatan medis tidak lengkap.
Hasil: Pada 14 kasus abses otak otogenik didapatkan jenis kelamin : laki-laki 71,4%, usia : 20-29 tahun 42,8%, keluhan utama: sakit kepala dan vomitus-pireksia 100%, vertigo 71,4 %, dengan penyakit primer OMC maligna cholesteatoma 85,6% dan kuman penyebab pseudomonas aerogenosa 71,4%, 51,7% abses terletak pada lobus parietalis dan 86,5% merupakan abses tunggal. Pada semua pasien didapatkan AL dan LED meningkat, dan membaik setelah dilakukan operasi dan terapi antibiotik.
Kesimpulan: Karakteristik abses otak otogenik terjadi paling banyak pada laki-laki, usia dekade kedua, dengan primer OMC maligna yang ditandai nyeri kepala, vomitus-pireksia, vertigo, AL dan LED meningkat. Cholesteatom dan pseudomonas aerugenosa merupakan peyebab terbanyak Semua pasien membaik dengan kraniotomi dan mastoidektomi radikal disertai antibiotik ( ceftriaxon dan metronidazol )
 
Kata kunci : abses otak, OMC maligna, karakteristik
:Kepada *drew:
:''"Saya juga sependapat dengan Bung Meursault dalam '''hal ini.'''''" Wah berarti sering tidak setuju dengan saya dong :-) [[Pengguna:Meursault2004|Meursault2004]] 19:05, 29 Maret 2006 (UTC)
::Wah, Anda pandai berkelakar ya :-) Tidak pernah saya bermaksud seperti itu. Penambahan dua kata itu hanya untuk memperpanjang kalimat saja. [[Pengguna:*drew|*drew]] 19:21, 29 Maret 2006 (UTC)
 
Hahaha, memang cuma bercanda saja. ''No heart feelings''. [[Pengguna:Meursault2004|Meursault2004]] 19:55, 29 Maret 2006 (UTC)
 
:Sedang uji coba Bot yang ngeriset Bak pasir ini setiap 6 jam.. uji coba akan dilakukan dari 10:01, 24 Desember 2006 sampai dengan 00:00, 27 Desember 2006 (bagi [[Wikipedia:Pengurus|Pengurus]], bila ada kesalahan bot , di [[Istimewa:Blockip/TottyBot|Block]] saja !) --•• <font color="2B7A2B">[[User:Irwangatot|Irwangatot]]</font> <font size="4">[[User talk:Irwangatot|<span class="Unicode">&#9997;</span>]]</font> 03:16, 25 Desember 2006 (UTC)
* Setelah Reset terakhir...Bagaimana ? Apakah bisa dilanjutkan.. atau dihentikan? (uji coba [[User:TottyBot|bot]] sudah dihentikan) --•• <font color="2B7A2B">[[User:Irwangatot|Irwangatot]]</font> <font size="4">[[User talk:Irwangatot|<span class="Unicode">&#9997;</span>]]</font> 17:19, 27 Desember 2006 (UTC)
::Teruskan saja botnya. [[User:Borgx|<font face="Copperplate Gothic Bold" color="#1F85FF">borgx</font>]]<sup>([[User_talk:Borgx|<font color="#003366">kirim pesan</font>]])</sup> 01:54, 2 Januari 2007 (UTC)
* Maaf baru bisa run Bot lagi sekarang.. Bot runing riset bak pasir per 3 jam, --•• <font color="2B7A2B">[[User:Irwangatot|Irwangatot]]</font> <font size="4">[[User talk:Irwangatot|<span class="Unicode">&#9997;</span>]]</font> 12:34, 8 Januari 2007 (UTC)
<br>
[tanya] Selain disimpan di server utama Wikipedia, apakah WikiIndonesia memiliki cadangan di Server IIX untuk mengantisipasi jika hubungan internet ke luar negeri putus? ----[[Pengguna:Anakgunung|Anakgunung]] 21:06, 17 Februari 2007 (UTC)
 
 
:[jawab] Tidak [[User:Borgx|<font face="Copperplate Gothic Bold" color="#1F85FF">borgx</font>]]<sup>([[User_talk:Borgx|<font color="#003366">kirim pesan</font>]])</sup> 01:20, 23 Februari 2007 (UTC)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
KARAKTERISTIK ABSES OTAK OTOGENIK
( Tinjauan terhadap 14 kasus)
 
Slamet Widodo, Edhie Samodra, Puspa Zulaikha, Vimala Acala
SMF THT – KL Fakultas Kedokteran UGM/RSUP Dr Sardjito Yogyakarta
 
PENDAHULUAN
 
Abses otak adalah proses supurasi fokal yang terjadi pada parenkim otak, dapat terjadi di serebrum maupun serebelum1. Abses otak biasanya terjadi sekunder akibat adanya fokal infeksi di tempat lain ditubuh1,2. Abses otak otogenik merupakan salah satu komplikasi intrakranial yang sering terjadi pada otitis media supuratif kronik (OMSK) tipe bahaya (tipe maligna) yang memerlukan diagnosis sedini mungkin dan penatalksanaan yang cepat serta tepat untuk menghindari kematian. Diagnosis sering terlambat karena abses otak otogenik bila datang pada stadium dini gejalanya tidak khas mirip dengan gejala infeksi umumnya, gejala neurologist sering tidak tampak3,4. Bila datang pada stadium laten penderita tampak tenang, keluhan nyeri kepala berkurang, tampak lemah dan sedikit sensitive sehingga sering kali diduga sebagai mastoiditis kronis tanpa komplikasi
Sekitar 20% dari fokal infeksi abses otak berasal dari infeksi telinga tengah, merupakan suatu komplikasi yang serius. Stuart seperti dikutip oleh Fernandes melaporkan bahwa 0,5% penderita dengan otitis media akut dan 3% penderita dengan otitis media kronik berpeluang untuk terjadi komplikasi abses otak. .
Otitis media supuratif adalah penyakit yang berpotensi menjadi serius, terutama yang tipe maligna karena dapat menimbulkan komplikasi yang dapat mengancam jiwa penderitanya. Menurut lokasinya komplikasi OMSK terdiri dari : 1) Komplikasi intrakranial : jaringan granulasi ekstradural dengan atau tanpa abses ekstradural, trombolebitis sinus sigmoid, abses otak, otitis hidrosefalus, meningitis, abses subdural. 2) Komplikasi ekstrakranial: mastoiditis, petrositis, labirintitis, paralysis nervus fasialis.1,2
Abses otak otogenik hampir selalu terjadi di lobus temporalis atau serebellum sisi yang sama dari telinga yang terinfeksi. Abses otak menempati urutan kedua setelah meningitis . Angka kejadian meningitis akibat komplikasi intrakranial adalah 34%, abses otak 25% ( dimana 15% terjadi pada lobus temporal dan 10% pada serebellum ).2
Selama kurang lebih empat dasa warsa era antibiotik, selama ini banyak manfaat yang didapat termasuk dibidang THT antara lain banyak kasus infeksi yang dapat disembuhkan olehnya. Antibiotik menurunkan frekuensi kesakitan, kematian dan mengurangi komplikasi yang timbul. Pemakaian antibiotika telah dapat menurunkan insidensi kesakitan secara dramatis, tetapi pada beberapa kasus ternyata dapat mengubah gambaran klinisnya, sehingga diagnosanya menjadi lebih sulit. Bahkan pada kasus komplikasi intrakranial yang berupa abses otak ternyata angka kematiannya tidak banyak berbeda dengan masa pra antibiotika.
Kematian abses otak pada masa pra antibiotika sangat tinggi di Indonesia besarnya angka kematian yang pernah dilaporkan adalah 5 dari 6 penderita abses otak meninggal5. Kemudian antara 1950-1960 dari 35 penderitaabses otak otogenik angka kematian turun menjadi 6% dan dari tahun 1961-1971 dari 18 kasus abses otak otogenik angka kematian dapat ditekan menjadi 0%. Keberhasilan pengobatan ini antara lain disebabkan oleh karena diagnosis yang dini, pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, serta penatalaksanaan yang cepat dan tepat.
Djaafar et al 6melaporkan bahwa 40 pasien dengan OMSK dengan tanda tanda komplikasi intrakranial di RSUPN-CM tahun 1980-1986 sebanyak 13 kasus abses otak dengan kematian 70%. Helmi et al7 melaporkan pada penelitiannya di bagian THT RSUPN-CM pada bulan April 1986-Agustus 1987 mengemukakan 11 abses otak otogenik dengan 9 kasus terletak di sereberum dan 2 kasus di serebellum terdiri dari 6 pria dan 5 wanita, dimana 50% ditemukan pada usia dekade ke-2, dan angka kematian sebesar 45%. Di RSUP Dr. Sardjito 1986-1988 ditemukan 19 kasus KIO yang terdiri dari 11 kasus meningits, 5 kasus abses otak, dan 3 kasus ensefalitis, dimana 7 kasus meninggal. Dilaporkan oleh Supadman dkk dalam kurun waktu lima tahun antara 1988-1992 terdapat 13 penderita otitis media kronika dengan komplikasi abses otak, dimana 3 orang meninggal dunia (23,1 %), dari ketiga orang tersebut 2 mengalami abses serebri, dan 1 orang abses serebelum.9
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya komplikasi intrakranial dari OMSK adalah virulensi kuman, terapi yang tidak adekuat, daya tahan tubuh menurun, pneumatisasi yang kurang sempurna, dan otitis media yang sering residif. 4
Abses otak otogenik memerlukan penegakan diagnosis dini,memerlukan penatalaksanaan cepat serta tepat dan mempunyai angka kematian tinggi. meskipun telah banyak kemajuan dalam diagnostik khususnya adanya CT Scan dan MRI, tetap saja abses otak otogenik terlambat diketahui karena alat tersebut tidak dimiliki semua fasilitas kesehatan atau terbentur masalah biaya sehingga tidak secara rutin dailakukan pemeriksaan tersebut.
Dengan alasan tersebut diatas diperlukan pengetahuan tentang karakteristik abses otak otogenik, dengan tujuan agar para klinisi dapat mendeteksi adanya kemungkinan abses otak otogenik sedini mungkin, sehingga dapat melakukan penatalaksanaan yang cepat serta tepat utuk menghindari kematian
Pada penelitian ini peneliti akan melakukan diskripsi mengenai karakteristik abses otogenik secara apa adanya, peneliti tidak mencoba menganalisis bagaimana dan mengapa fenomena dan karakteristik tersebut dapat terjadi.
TINJAUAN PUSTAKA
 
1. Anatomi
Cavitas timpani dipisahkan dengan kavum krani oleh suatu tulang yang tipis pada daerah tegmen, sedangkan kavum mastoid dengan sinus lateralis dan sinus sigmoideus juga dipisahkan oleh tulang yang tipis pada daerah posteromedial, terutama pada pneumatisasi yang baik. Permukaan posterior juga terletak sinus bulbus jugulare, sakus endolimfatikus dan meatus auditorius internus, sehingga selulae mastoidea sangat dekat sekali denagn sinus sigmoidalis maupun sinus lateralis; kadangkala pada waktu operasi duramater pada daerah ini dapat terlihat, bahkan kadang terkoyak. Duramater disebelah medial fossa posterior lebih menempel pada tulang dan mudah koyak bila tersentuh, disebabkan arachnoidea bagian ujung dari cisterna bagian basal tepinya melanjutkan ke meatus auditorius internus bila robek penyembuhannya lama dan mengeluarkan cairan cerebrospinal, berbahaya dan risiko terjadi meningitis1.
Sinus - sinus dari otak yang penting dan sering berkaitan dengan kasus otitis media adalah sinus lateralis atau juga disebut sinus transversus, sinus ini berjalan ke lateral mulai dari protuberantia occipitalis interna pada lipatan tentorium cerebelli menempel pada tulang occipitalis, selanjutnya melengkung ke bawah dan ke depan sebagai sinus sigmoideus yang terletak pada, fossa posterior os temporalis tepatnya pada sulkus sigmoideus kemudian bertemu bulbus jugularis pada foramen jugulare, sinus sigmoideus ini menerima juga dari sinus petrosus superior dan inferior, selain itu baik pada sinus tranversus atau lateralis dan sigmoideus juga mendapat aliran dari vena serebralis inferior dan vena serebellaris, venae emissaria dari mastoid. Bulbus jugulare melanjutkan sebagai v. jugularis interna. Bagian otak yang berdekatan dengan kavitas timpani adalah lobus temporalis yang terletak persis di atas tegmen timpani dan serebellum yang berdekatan dengan fossa posterior os temporalis, sehingga kasus komplikasi intrakranial otogenik selalu dipikirkan pada organ daerah tersebut.
2. Patofisiologi
Komplikasi intrakranial dapat terjadi sebagai akibat otitis media akut dan kronik, terutama yang jenis maligna. Faktor predileksi terjadinya komplikasi intracranial yaitu : 1) tipe dan virulensi organisme, 2 ) daya tahan penderita, dan 3) adekuasitas pengobatan. Disebutkan bahwa pneumococcus tipe IV mempunyai predileksi khusus untuk menyebar ke intrakranial10 Shambaugh & Glasscock1 menambahkan factor berikut : l) tingkat derajad pneumatisasi antrum mastoid dan 2) riwayat pernah menderita otitis media sebelumnya. Disebutkan pula bahwa pneumocaccus tipe III juga mempunyai predilieksi khusus untuk menyebar ke intrakranial1.
Samuel et al berpendapat bahwa granulama lebih berperan dalam penyebaran penyakit dibanding kolesteatoma, yang didukung dengan data 62 % dengan granuloma dan 38% dengan kolesteatoma. Gambaran ini berbeda dengan pendapat umum bahwa komplikasi intrakranial disebabkan oleh kolesteatoma, yaitu dari 74 kasus yang terdapat kolesteatoma 58 kasus atau 78,4% terjadi komplikasi intrakranial10.¬
Perluasan infeksi dari telinga tengah ke intrakranial secara umum melalui2 :
a. Erosi tulang : a) adanya kolesteatom menyebabkan erosi tegmen timpani, invasi kuman dapat menyebabkan abses subdural atau langsung ke rongga subarakhnoid melalui perivaskuler Virchow-Robin space atau melalui meningen menimbulkan erosi korteks superfisial dan terjadi abses otak. b) kalesteatoma yang menyebabkan erosi kapsul labirin sehingga kapsul infeksi masuk ke labirin lalu ke fosa kranii posterior kemudian terjadi abses serebellum.
b. Osteotrombophlebitis : a) Mastoiditis yang menyebar melalui vena emissaria mastoid masuk ke dalam, sinus lateralis, sinus longitudinalis superior akhirnya vena serebral kemudian terjadi abses otak. b) Pada otitis media kronik terjadi osteolitis yang dapat menyebabkan trombophlebitis sistem haversi dan selanjutnya dapat terjadi abses otak.
c. Lewat jalan yang sudah ada sebelumnya : a) trauma kepala yang menyebabkan fraktur os temporal sehingga infeksi dapat masuk ke fossa kranii media atau fossa posterior lewat retakan tulang, b) infeksi dapat masuk labirin lewat foramen ovale atau foramen rotundum dan dapat menyebabkan abses serebelum.
Frekuensi terbanyak penyebaran ke otak besar (serebrum), akibat erosi tulang oleh kolesteatoma dan koalesen abses ekstradural, sedang penvebaran melalui jalan alami sering mengakibatkan abses otak kecil (serebellum), misalnya labyrinthitis supuratlva yang menyebar via meatus acusticus internus terus ke otak kecil. Pecahnya trombus pada sinus lateralis sering menyebabkan abses serebellar.
Akibat penetrasi infeksi pada jaringan otak akan terjadi pembentukan abses, oleh Mawson '° dibedakan dalam empat tahapan, sedangkan Shambaugh Glasscock1 rnembagi dalam tiga tahapan.
Tahapan tersebut adalah : 1) tahap invasi atau disebut juga initial enchepalitis, 2) tahap lokalisasi abses atau latent or quiescent abscess, 3) tahap pembesaran abses atau manifest abscess dan 4) tahap terminasi atau rupture abscess. Dari tahapan ini dapat ditunjukan gambaran klinik yang spesifik.
Bluestone dan Klein15 rnenjelaskan pembentukan abses tersebut sebagai berikut : 1) reaksi inflamasi, 2) supurasi, 3) nekrosis dan 4) pencairan (liquifaction), bentukan kapsul jaringan fibrous. Bila abses tidak menyembuh dapat meluas ke mening atau dapat terjadi ruptur ke dalam ventrikel.
Menurut Wispelwey et al8 perkembangan abses di otak meliputi empat stadium histopatologis, yaitu : (1) serebritis awal (hari 1-3). Terbentuk proses radang perivaskuler dan pusat nekrotik pada hari ketiga; (2) Serebritis lanjut (hari 4-9). Pusat nekrotik terbentuk maksimal, fibroblast mulai tampak dengan peningkatan neovaskuler di sekeliling daerah nekrotik ; (3) Pembentukan kapsul awal (hari 10-13). Terbentuk lapisan fibroblast mengelilingi pusat nekrotik. Di luar lapisan fibroblast tampak daerah serebritis dan peningkatan reaktifitas astrosit; (4) Pembentukan kapsul lanjut (hari 14-dst) kapsul menebal dengan sejumlah kolagen.
 
Lokasi abses otak dilaporkan terbanyak pada lobus temporalis, diikuti pada otak kecil (serebellum) dengan perbandingan 1,9 : 120. Akan tetapi juga dilaporkan pada lobus parietalis oleh Gower & McGuirt pada tahun 1983 satu kasus di lobus occipitalis yang dirawat RSUP Dr. Sardjito oleh Chairul Hamzah et al tahun 1988.
3. Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang terjadi adalah akibat proses supurasi dan kenaikan intrakranial serta kerusakan jaringan di otak. Kenaikan tekanan intrakranial menirnbukan gejala berupa sakit kepala, vomitus, papiledema, dan bradikardi, sedangkan akibat proses supurasi intrakranial yaitu dengan mudah terangsang, mengantuk atau stupor, meningitis sign dan penurunan berat badan. Adapun akibat kerusakan jaringan otak menimbulkan kejang, kelumpuhan saraf kraniales, gangguan penglihatan, aphasia, ataksia dan parese. Bradley et a1.,ii mendapatkan dari laporan 139 kasus abses otak otogenik, gejala-gelala dan tanda-tanda yang menonjol yaitu secara berurutan dari yang paling sering sakit kepala, vomitus-pyreksia, papilodema, kaku kuduk hemiparese, dysphagia, nystagmus, gangguan penglihatan, epilepsy dan gangguan keseimbangan.
Menurut Shambaugh dan Glasscock1 pada tahap pertama atau initial encephalitis, gejala yang timbul akibat dari infeksi dan kompresi, berlangsung beberarpa hari saja ditandai dengan gejala perasaan dingin yang menyertai demam ringan sedang, sakit kepala dan nausea, kadang dengan muntah yang tidak proyektil, penderrita apatis, rnengantuk atau mudah terangsang, pada anak sering timbul kejang-kejang. Bila terjadi invasi ke selaput otak timbul kaku kuduk yang ringan. Tahap kedua atau latent or quiscent stage mulai terjadi pembentukan abses. Fase pembentukan kapsul abses dini + 2 minggu dan onset absesnya, kapsul lengkap dalam 5-6 minggu gejala dan tanda yang nampak kurang menonjol yaitu malaise, nafsu makan menurun, sakit kepala hilang timbul, suhu naik sedikit, lesu mengantuk, bahkan tidak tampak tanda-tanda kelainan neurologis. Pada tahap ketiga atau manifest expanding abscess terjadi pembesaran kapsul abses dan mendesak jaringan sekitar, terjadi kompresi serebral yang disebabkan karena oedem dan encephalitis jaringan sekitar abses.. Kadang terjadi pernafasan Cheyne-Stokes akibat tekanan di pusat pernafasan. Suhu badan naik dari ringan, atau subnormal, apatis, mengantuk disertai disorientasi, konvulsi tipe jaksonian, paralise bola rnata dengan perubahan pupil. Pada pemeriksaan terdapat papiloedema atau hiperemia, atau kekaburan tepi pupil retina. Gejala dan tanda kenaikan intracranial jelas dan menetap pada abses serebellar dari pada abses lobus temporalis. Gejaia topikal tergantung daerah yang terkena, misalnya pada lobus temporalis kiri dari penderita dengan kebiasaan tangan kanan terjadi aphasia, atau parese muka dan mulut pada sisi yang berlawanan, selain itu mungkin efek lapangan penglihatan. Pada abses serebellar terjadi ataksia pada sisi yang sama dengan lesinya, hipotoni dari otot-otot, nistagmus spontan (sering vertical atau oblique). Perlu diperhatikan penderita yang cepat menjadi kurus akibat tidak ada selera makan yang diduga akibat tekanan pada pusat vegetatif di batang otak. Pada tahap terminal terbentuk abses multilokuler atau pecah masuk sistem ventrikel dan subarachnoid, terjadi koma, papiledem, ataupun perubahan kardiovaskuler, akhirnya penderita meninggal.
4. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesa secara teliti pada penderita atau keluarganya dan pemeriksaan fisik diagnostik terutama gejala dan tanda-tanda dari infeksi telinga tengah serta pemeriksaan neurologis, laboratorium darah, pemenksaan cairan serebrospinal, X-foto kepala/mastoid dan CT Scan.
Gejala klinis dan kelainan neurologis yang didapatkan pada abses otak otogenik tergantung pada lokasi abses, abses tunggal atau multipel, virulensi kuman penyebab derajat edema otak, daya tuhan tubuh penderita serta respon penderita terhadap antibiotika yang telah diberikan sebelumnya.. Gambaran klinis abses otak yang penting iaiah gabungan dari tanda-tanda kenaikan intracranial, tanda infeksi dan gejala neurologis fokal.
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis abses otak otogenik adalah darah, umumnya jumlah leukosit normal atau sedikit meningkat (<15.000/mm3). Bila jumlah leukosit melebihi 20.000/mm3 menunjukkan meningitis
atau infeksi sistemik. LED meningkat antara 45-55 mm/jam. Hampir 75% terjadi peningkatan c-reaktif protein7. Lumbal pungsi (LP) : analisis LCS pada abses otak tidak spesifik dan tindakan ini merupakan kontraindikasi untuk rnenbuktikan kecurigaan abses otak. Penurunan kesadaran dapat terjadi pada 20% pasien yang dllakukan LP. EEG : umumnya memberikan gelombang yang abnormal dan sering terdapat lateralisasi pada sisi abses berupa rendahnya gelombang delta. EEG yang normal tidak menyingkirkan adanya abses otak.
Pemeriksaan lain yang penting dalam menegakkan diagnosis dan menentukan lokasi abses dengan pemeriksaan CT-Scan. Sampai saat ini belum ada alat diagnostik lain yang mempunyai manfaat diagnostik dan terapi bagi abses otak seperti CT-Scan. Dengan CT-Scan dapat diketahui lesi yang kecil sekalipun, karena itu CT-Scan merupakan pilihan utama untuk abses otak karena merupakan metoda pemeriksaan dengan risiko paparan radiasi yang sangat kecil dan non-inasif, disamping itu dapat untuk monitor hasil terapi10,11.. Gambaran CT-Scan dari abses otak secara tidak Iangsung memperlihatkan adanya space occupaying prosces. Tampak fokus yang hipodens pada pemberian media kontras. Dapat terlihat satu atau beberapa cincin yang densitasnya naik (ring sign)2. Fokus di medulla terlihat dikelilingi zone edematous yang hipodens.
 
5. Diagnosis Banding
a. Meningitis otogenik
Gejala yang umum ditemukan adalah : penderita tampak kesakitan, gelisah, dan mudah terangsang, suhu badan meningkat, dan nyeri kepala. Didapatkan tanda rangsang meningeal yaitu kaku kuduk dan refleks patologis. Dua gejala yang tetap yaitu nyeri kepala dan suhu badan meningkat. Adanya irtasi serebral berakibat penderita menjadi mudah terangsang atau tampak kesan mengantuk, mungkin didapatkan vomitus non proyektil. Tanda awal meningitis lokal yaitu kaku kuduk dari ringan sarnpal sedang, hambatan fleksi leher, sehingga dagu tidak dapat menyentuh dada. Selain itu didapatkan refleks patologis : 1) Kernig sign, tungkai tidak dapat ekstensi maksimal, dengan sedikit fleksi di abdomen. 2) Brudzinzki sign terjadi fleksi sendi panggul dan lutut bila leher dibungkukkan, Babinzki sign terjadi ekstensi jari kaki atau malahan fleksi, bila telapak kaki dirangsang, disamping itu terdapat refleks clonus pada pergelangan kaki sewaktu telapak kaki ditekan dengan difleksi.
b. Abses Subdural atau empyema subdural
Ada yang menyebut sebagai purulent pachymeningitis,karena proses ini mengenai unsur jaringan selaput otak maka gambaran klinisnya sama dengan meningitis otogenik, hanya gejala dan tanda-tandanya lebih spesiflk dalam beberapa hal yaitu secara cepat penderita menjadi mundur keadaannya, sakit kepala mendadak menjadi berat, kesadaran memburuk menjadi koma, terdapat paralisis lokal dari tangan dan kaki dalam beberapa jam mejadi hemiplegi yang flasid disertai uppermotor neuron facial paralise, aphasia dan hemianesthesia, hemianopia kadang ditemukan
 
Papiledem jarang terjadi tetapi ada kelumpuhan nervi kraniales akibat pengumpulan eksudat. Mata sering deviasi kearah sisi vang tak terinfeksi, gerakan mata kearah yang terkena infeksi tidak bias dan terjadi ptosis, papil anisokor14. Juga terdapat kaku kuduk yang berat, Kernig's sign positif, serangan epilepsi yang sifatnya topikal9,15
c. Abses ekstra dural otogenik
Beberapa penulis melaporkan bahwa kebanvakan tidak menimbulkan gejala dan ditemukan sewaktu dilakukan operasi mastoidektomi elektif. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan CT-Scan pada kasus yang dicurigai adanya komplikasi ontrakranial para ahli bedah saraf selalu melakukan CT-Scan untuk diagnosis ataupun menyingkirkan diagnosis banding15.
6. Terapi
Prinsip pengobatan dari abses otak adalah : 1) melokalisir infeksi dengan pemberian antibiotika yang adekuat, 2) menghilangkan sumber infeksi yaitu dengan operasi mastoldektomi, 3) eksisi abses.
Seeara umum upaya pengobatan tersebut dapat berupa upaya pengobatan medika mentosa dan tindakan pembedahan. Pengobatan medikamentosa dapat dibedakan menjadi pengobatan terhadap kuman penyebabnya dan pengobatan simtomatis atau suportif. Sedangkan tindakan pembedahan dapat ditujukan pada fokus di telinga dan terhadap fokus di intrakranial. Oleh sebab itu kerjasama yang baik antara ahli THT dan ahli bedah saraf serta ahli-ahli lain sangat menentukan dalam penanganan KIO tersebut.
Menurut Mathews20 pembedahan neurologis lebih diutamakan dengan tujuan :
1) menurunkan kenaikan tekanan intrakranial yang disebabkan adanya mass effect dari abses, edema jaringan sekitarnya, hydrocephalus, 2) pengobatan terhadap infeksinya, dan baru dilanjutkan pembedahan terhadap mastoidnya pada saat anestesi yang sama.
Menurut Wispelwey cit Djaafar14, terapi medika mentosa dengan antibiotika dapat diberikan pada pasien abses otak bila : 1) keadaan pasien akan menjadi buruk bila tindakan bedah dilakukan, 2) terdapamya abses multipel, terutama lokasinya saling herjauhan, 3) letak abses disebelah dalam atau daerah yang membahayakan, 4) bersamaan dengan ependimitis, 5) bersamaan dengan hidrosefalus yang memerlukan pirai (shunt) yang dapat menyebabkan infeksi pada tindakan bedah, 6) ¬bila setelah pemberian antibiotika pada 2 minggu pertama, ukuran abses menjadi kecil.
Ukuran abses sangat penting diketahui karena menentukan terapi yang akan diberikan serta untuk evaluasi selanjutnya. Ukuran abses < 1,7 cm mempunyai respon terhadap antibiotika, bila ukurannya > 2,5 cm tidak mempunyai respon terhadap antimikroba dan ukuran abses > 3 cm maka tindakan drainase abses dianjurkan..
Walaupun masih dipakai sebagai terapi tambahan pada bases otak, penggunaan kortikosteraid masih kontroversial. Steroid ini secara jelas dapat mengurangi edema otak dan efek desak ruang yang disebabkan aleh abses 1,2. Bila terjadi peningkatan TIK yang menyebabkan koma atau perburukan klinis, maka untuk menurunkan TIK secara perlahan dapat diberikan deksamethason 4 mg tiap 6 jam secara IV. Selain itu dapat juga dipakai manitol 20% IV dengan dosis 0,5 gr/kgbb atau hiperventilasi2. Meskipun mempunyai keuntungan seperti tersebut diatas, steroid mempunyai kekurangan, antara lain menghambat migrasi leukosit disekitar abses, menurunkan penetrasi antibiatik di sawar otak serta mengurangi pembentukan kapsul13.
Tindakan masotidektomi dapat dilakukan saat keadaan pasien sudah stabil dan biasanya 3-4 hari sesudah kraniektomi atau lebih cepat tergantung keadaan klinis pasien. Akan tetapi sebelum tindakan bedah dilakukan maka diberikan dulu antibiotika spektrum luas selama 2 minggu1,18,19. Menurut Miyamoto cit Djaafar14 segera sesudah antibiotika diberikan maka tindakan drainase harus segera direncanakan. Sedangkan menurut Rosenblum dkk9 pasien dengan abses yang sudah terbentuk kapsul dimana terdapat penurunan defisit neurologis atau ukuran abses yang semakin besar harus dilakukan tindakan bedah sesegera mungkin.
Kraniotomi dapat dikerjakan sedini mungkin bila : 1) terdapat tanda-tanda herniasi tentorium,2) abses ruptur ke dalam ventrikel, 3 ) terdapat pus pada saat aspirasi, 4) TIK tetap meninggi, 5) Bila setelah pemberian antibiotika pada dua minggu pertama ukuran abses menjadi lebih besar 2,19..
Bila proses supratentorial pendekatannya melalui osteoplastic flap atap tengkorak, bila infratentorial melaiui kraniectomi sub-occipital, duramater dibuka lebar, setelah bungkus abses ketemu dimasuki kanula, dilakukan aspirasi pus untuk pemerikasaan kultur dan sensitivitas kuman, kemudian disuntikkan larutan antibiotika, selubung abses dicuci dengan cairan antibiotika secara irigasi. Jadi kapsul abses dibiarkan tetap tinggal duramater dan luka aperasi ditutup. Pemberian antibiatika diteruskan selama 14-30 hari, resolusi abses kapsul dan jarlngan sekitar otak di monitor memakai serial CT-Scan.
Tindakan operasi telinga dilakukan pada saat yang sama dan anaesthesi yang sama secara berurutan setelah operasi terhadap abses otak otogeniknya20. Perlu diingatkan disini bahwa operasi terhadap telinga (mastoidektomi) tidak dianjurkan apabila dicurigai adanya komplikasi intracranial oleh karena pemberian anesthesi umum dapat menimbulkan herniasi tentorial atau cerebellar, dengan akibat makin naiknya tekanan intrakraniall7.
 
METODOLOGI PENELITIAN
 
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional cross sectional
B. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah semua pasien rawat inap di RS Dr.Sardjito yang datang selama jangka waktu penelitian yang di diagnosis abses otak otogenik.
Kriteria Inklusi: penderita terdiagnosis dengan diagnosis abses otak otogenik dan memiliki Head CT scan, sedangkan criteria eksklusi: memiliki catatan medis tidak lengkap.
C. Sampel
Sampel penelitian adalah semua pasien rawat inap di RS Dr.Sardjito yang datang selama jangka waktu penelitian yang di diagnosis abses otak otogenik dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
 
D. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di RS Dr.Sardjito dari bulan Januari 2000 sampai dengan Desember 2005.
E. Cara Penelitian
a. Pemilihan sampel
- tempat: Rumah Sakit Dr Sardjito
- waktu: bulan Januari 2000 sampai dengan Desember 2005
- bahan: Rekam Medis pasien yang di diagnosis abses otak otogenik sesuai waktu penelitian dan memenuhi kriteria inklusi serta eksklusi.
b. Pengambilan dan Pengolahan sampel
Pasien terdiagnosis abses otak otogenik dan menjalani rawat inap di RS Dr Sardjito dalam kurun waktu penelitian dicatat no MR, kemudian ditelusuri dan dicari statusnya di ruang MR. Catatan medis yang tidak lengkap dieksklusi. Variabel yang dinilai adalah: jenis kelamin, usia, keluhan utama, status telinga, lokasi abses, hasil kultur, terapi dan hasil terapi.
 
 
 
 
 
 
 
 
Gambar 1. Cara Penelitian
 
 
 
 
 
 
 
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
 
Terdapat perbedaan distribusi jenis kelamin dalam penelitian ini ( laki-laki 71,4 % dan wanita 28,6 % ), dan paling sering didapatkan pada usia 20-29 tahun 42,8 %, perbandingan laki-laki dan wanita 3:1 tampak pada tabel 1. .
Tabel 1. Distribusi umur dan jenis kelamin penderita abses otak otogenik
No Kelompok Umur (thn) Jenis Kelamin Jumlah %
Pria % Wanita %
1 10 – 19 2 14,3 2 14,3 4 28,6
2 20 - 29 6 42,8 0 0 6 42,8
3 30 - 39 0 0 0 0 0 0
4 40 - 59 2 14,3 2 14,3 4 28,6
5 > 59 0 0 0 0 0 0
JUMLAH 10 71,4 4 28,6 0 100
 
Keluhan utama penderita yang terbanyak adalah sakit kepala dan vomitus-pireksia 100%, kemudian gangguan keseimbangan ( vertigo ) 71,4% ( Tabel 2 ). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bradley et al, yang mendapatkan gejala-gejala yang menonjol pada abses otak otogenik adalah sakit kepala, vomitus-pireksia, papilodema, kaku kuduk, hemiparese, dysphagia, nistagmus,gangguan keseimbangan. Pada penelitian ini gangguan neurologist berupa kelumpuhan nervus cranialis, aphasia, dysphagia, parese/hemiparese jarang dijumpai, rata-rata 14,3%, ini menandakan bahwa kelainan neurologist tidak bisa dijadikan dasar klinisi untuk mencurigai adanya abses otogenik seperti yang diungkapkan Bradley et al 11 dan Shambugh dan Glasscock1.
 
 
 
Tabel 2. Distribusi keluhan / pada penderita abses otak otogenik
Keluhan Jumlah %
Sakit kepala 14 100
Vomitus-pireksia 14 100
Mengantuk/stupor/apatis 6 42,8
Meningitis sign/kaku kuduk 0 0
Kejang 2 14,3
Penurunan berat badan 2 14,3
Papiloede 4 28,6
Brakikardi 4 28,6
Kelumpuhan saraf kranialis 2 14,3
Disfagia 2 14,3
Gangguan lapang penglihatan 0 0
Aphasia 2 14,3
Parese/hemiparese 2 14,3
Nistagmus 2 14,3
Gangguan keseimbangan 10 71,4
Ataksia 2 14,3
 
Dari hasil pemeriksaan status lokalis pasien didapatkan semua penderita atau 100% mengalami perforasi membran tympani dan masih dijumpai discharge di liang telinga, dan rata-rata sudah berlangsung lebih dari 4 tahun, dan masing-masing 2 pasien atau 14,3% didapatkan grunuloma dari telinga tengah dan fistel retroauricular. Sedang pada post operasi mastoid 12 penderita atau 85,7% didapatkan cholesteatoma dan 14,3% atau 2 pasien disertai adanya granuloma. Hal ini membuktikan bahwa OMC maligna sebagai penyebab terjadinya abses otak, hal ini sesuai dengan penelitian Samuel et al, hanya pada penelitian ini komplikasi intrakranial/abses otak paling banyak disebabkan oleh kolesteatoma, sedangkan pada penelitian Samuel et al paling sering karena granuloma.
Tabel 3. Distrubusi status lokalis penderita
Status lokalis Jumlah Persentase
Perforasi membran tympani 14 100
Discharge(+) 14 100
Fistel Retroauriculer(+) 2 14,3
Granuloma 2 14,3
Cholesteatoma 12 85,7
 
Pemeriksan kultur terhadap sekret telinga mendapakan kuman aerob terbanyak adalah pseudomonas aerogenosa 71,4%, kemudian psedomonas sp., streptococus epidermidis dan streptococcus alfa haemoliticus masing masing 14,3%. Pada penelitian ini dijumpai lebih dari satu kuman aerob pada satu sediaan yaitu sterptococcus epidermidis dan streptococcus alfa haemoliticus.( Tabel 4 ) Sedang menurut beberapa penelitian yang yang sering ditemukan adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogeneus dan Pneumococcus. Kuman gram negatif yang ditemukan Pseudomonas sp, Proteus sp, E. coli.3,4,5,7
Tabel 4. Distribusi kuman aerob pada pemeriksaan kultur dari penderita abses otak otogenic.
No Jenis kuman Jumlah Persentase
1 Pseudomonas sp. 2 14,3
2 Pseudomonas aerognosa 10 71,4
3 Streptococcus epidermidis 2 14,3
4 Streptococcus alfa haemoliticus 2 14,3
 
Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa 85,7% atau 12 penderita dari hasil pemeriksaan CT Scan merupakan abses tunggal dan 57,1% atau 10 pasien terletak pada cerebrum,hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Helmi et al 7 yang melaporkan 11kasus abses otak otogenik 9 kasus terletak diserebrum dan 2 kasus pada serebellum. (Tabel 5)
Tabel 5. Lokasi dan macam abses berdasarkan hasil CT Scan
Lokasi dan macam abses Jumlah Persentase
Cerebrum 10 73.4
Cerebellum 4 28,6
Tunggal 12 85,7
Multipel 2 14,7
 
Lama perawatan penderita di RS pasca operasi paling banyak adalah 10-20 hari sebanyak 10 penderita atau 71,4%. ( Tabel 6 )
Dan pada penelitian ini terdapat dua pasien dengan lama perawata di RS lebih dari 30 hari, hal ini dikarenakan pasca operasi kondisi penderita tidak stabil dan diperlukan perawatan di ruang ICU terlebih dahulu.
Tabel 6. Lama perawatan pasca operasi
Lama perawatan dalam hari Jumlah Persentase
< 10 0 0
10 – 20 10 71,4
20 – 30 2 14,3
> 30 2 14,3
 
Semua pasien abses otak otogenik atau 100%, mendapat terapi antibiotik Ceftriaxon dan Metronidazol, tetapi ada yang perlu dikombinasi dengan Clorampenicol atau Ampicillin. Tabel 7
Sejak awal tahun 1960 sebelum ditemukan ampicillin diberikan penicillin G dengan dosis 20-24juta unit perhari IV dengan clorampenicol 1-1,5gr tiap 6 jam IV pada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena adanya bacteri anaerob pada abses otak yang tahan terhadap penicillin, sehingga dikombinasi dengan kloramfenicol. Selain itu keduanya dapat menembus kapsul abses dalam konsentrasi yang efektif. Saat ini untuk bakteri anaerob diberikan metronidasol karena memiliki keuntungan lebih banyak dibanding kloramfenicol 2. dosis metronidazol yang dianjurkan adalah 400-600mg tiap 8 jam dapat IV maupun oral. Pemberian antibiotik selama 3-4 minggu yang dikombinasi dengan operasi telinga tanpa pembedahan otak dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas, serta tidak memperlihatkan defisit neurologis 12. untuk pasien yang allergi penicillin diberikan sefalosporin generasi 3 ( ceftriaxone ). Pada penelitian ini juga diberikan obat-obat lain seperti korticosteroid, manitol, atau anti kejang sesuai anjuran dokter ahli saraf, tetapi tidak kai bahas.
Tabel 7. Macam antibiotik
Antibiotik Jumlah Persentase
Ceftriaxon 14 100
Metronidazole 14 100
Klorampenicol 4 28,6
Ampicillin 4 28,6
Setelah dilakukan operasi dan pemberian terapi medikamentosa semua pasien membaik, tampak pada tabel 8.
Agar terapi terhadap abses otak otogenik dapat diberikan sedini mungkin, maka setiap kasus OMSK yang datang dengan sakit kepala yang menetap atau hilang timbul, disertai panas dengan atau tanpa gejala lainnya seperti mual, muntah, kejang, hendaklah dirawat dan langsung diberikan antibiotika dosis tinggi intravena dan dikonsulkan ke bagian saraf, dan diusahakan dilakukan pemeriksaan CT Scan. Untuk pasien yang tidak dapat dilakukan CT Scan pengobatan antibiotika diberikan 1-2 minggu dan bila keadaan umum membaik dilakukan operasi dalam bius umum.
Tabel 8. Hasil terapi
Hasil terapi Jumlah Persentase
Hidup 14 100
Meninggal 0 0
 
 
 
KESIMPULAN
 
Karakteristik abses otak otogenik terjadi paling banyak pada laki-laki, usia dekade kedua, dengan primer OMC maligna yang ditandai nyeri kepala, vomitus-pireksia, vertigo, AL dan LED meningkat. Cholesteatom dan pseudomonas aerugenosa merupakan peyebab terbanyak Semua pasien membaik dengan craniotomi dan mastoidektomi radikal disertai antibiotik ( ceftriaxon dan metronidazol )
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
l. Shambough GE, Glasscock ME. Intrakranial complication of otitis media. In : Shambough GE, Glasscock ME. Editor, Surgery of the ear. 4th ed., Wb Saunders, Philadelpia 1980:249-275.
 
2. Ludman H. Complication of supurative otitis media In : Kern AG, Groves J Editor. Scott - Browns Otolaryngology, 51h ed Butherworth 8L Co, London 1997: 264-91.
 
3. Jackler RK, Brockmann DE. Neurootology. ST Louis, Missouri Mosby Year Book Inc. 1994:911-2.
 
4. Ettinger MG.Brain Abscess. In: Baker AB, Baker LH. Clinical Neurology, vol 2 Harper & Row Publiser. Philadelphia 1985 :1-25.
 
5. Ballengger er JJ. Complication of ear disease. In : Ballenger JJ 13th ed Philadelphia : Lea and Febiger ,1985 : 1170-76.
 
6. Djaafar ZA, Sosialismnan. Helmi.H Otitis media supuratif kronis dengan abses intrakranial. Diagnosis dan Penatalaksanaan. Kumpulan Naskah Konas Perhati VI1I Ujung Pandang 1986:413-25.
 
7. Helmi, Djaafar ZA, Sosialisman. Otogenic Brain Abscess. ORL,.Indonesiana.1988;19:16-22.
 
8. Wispelwey B.,Dacey RG.,Scheld WM.Brain Abscess. In:Scheld WM,Whi11ey RJ,Durack.DT Editor . Infection of the central nervoussystem Raven Press,New York 1991:457-86.
 
9. Rosenblum ML,Hoff JT,Nourman D. Non Operative treatment of Brain Abscess in Selected High-risk Patients. JNeurosurgery 198o;S2:217-225.
 
10. Mawson SR.Disease of the ear.3"d, Edward Arnold Ltd.London 1974.358-399.
 
11. Bradley PJ, Manning KP, Shaw, MDM,Brain Abscess secondary to otitis media. The Journal of Laryngology and Otology. 1984; 98:1185-1191.
 
12. Brand B, Caparosn RJ, Lubic LG. Qtorhrnological Brain Abscess Therapy. Post and Present Laryngoscope. 1984; 94: 483-487.
 
13. Freeman J,Changing concepts in the management of otitic intracranial infection Use of Computerized axial tomography in early detection and monitoring of cerebritis. Laryngoscope. 1984;94:907-911.
14. Djaafar ZA, Widodo D. Terapi Medikamentosa dan Terapi Bedah Pada Abses Qta.k Otogenic. DtorlZinolaryngology Indonesiana.2001;31:5-10.
 
15. Bluestone CD, Klein J4, Intracranial suppurative complication of otitis media and mastoiditis. In Pediatric Otolaryngology. 3th ed,London : VVB Saunders Co. Philadelphia, 1996.
 
16. Djaafar ZA, Sona. Pengobatan konservative abses otak otogenik. Kumpulan Naskah PIT PERHATI, Malang, 1998; 280-89.
 
17. Djaafar ZA. Diagnosis dan penatalaksanaan Abses otak Qtogenik. Kumpulan Naskah PIT PERHATI. Malang,1998; 4-14.
 
18. Samuel J, Fernandez CIViC, Steinberg JL. Intracranial otogenik Complications: A Persisting Problem. Laryngoscope 1996; 96: 272 -78.
 
19. Kangsaranak J, Navacharoem N, Fooanant S, Ruckphaopunt K. Intracrani al Complications of Nuppurative Qititis Media : 13 Years experiences. Am Gtol 1995; 1995:16 : 104-9.
 
20. Mathews,T J., Marcus., Qtogenik intra.dural complications. The Journal of Laryngology and Otology .1988;102 : 121 - 124.
 
21. Maurice-Williarns,R S. Open evacuations of pus: a satisfactory surgical approach to the problem of brain abscess. Journal of Neurology, Neurosurgery and Psichiatri 46 : 697 -703
Kembali ke halaman Wikipedia "Bak pasir".