Tawan Karang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Hanamanteo (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Prabb (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
Tawan karang (''taban karang'') adalah hak istimewa yang dimiliki raja raja Bali pada masa lalu, dimana raja akan menyita kapal-kapal yang terdampar di wilayah mereka lengkap beserta seluruh muatannya.
{{hapus}}
Tawan karang (''taban karang'') merupakan salah satu hukum tradisi/adat yang berlaku di Bali pada masa lalu. Hukum ini memperbolehkan seorang raja atau masyarakat pesisir menyita kapal yang terdampar di wilayah mereka beserta muatannya dan menjadikan penumpangnya sebagai budak atau kadang-kadang dibunuh.
 
Istilah Tawan Karang sudah ada sejak masa Bali Kuno
Hak tawan karang diperbolehkan jika ada kapal yang terdampar di karang-karang muka laut atau pesisir termasuk penumpang dan muatannya, hanya masyarakat setempat yang dapat menolong atau menyelamatkannya. Tujuan hak tawan karang adalah menjaga dan melindungi territorial atau wilayah kekuasaan dari musuh-musuh asing sehingga dianggap sebagai ''local genius'' dan menjadi embrio hukum adat antarbangsa dan melahirkan faham wawasan yaitu wawasan nusantara.
 
''Prasasti Bebetin A.I'' (818 Saka atau 896 M): <ref name="arkeologiwebid"/>
Penyebutan tawan karang sudah ada sejak abad X Masehi pada masa Bali Kuno seperti tertulis dalam ''prasasti Sembiran'' (923 M) yang terbuat dari tembaga.
 
IIb. 3. ''"anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan papagerangen kuta"''
IIIb. 3. ''"me yanad taban karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma''
IIIb. 4. ''katahu aku, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?"''
 
Terjemahan:
IIIb. 3. ''"dan bila ada peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta diketahui oleh penduduk desa, supaya dijadikan wrddhi (semacam persembahan), setelah''
IIIb. 4. ''diberitahukan kepadaku, supaya dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang"''
 
II.b 3. ''"jika ada pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Jika pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain harus dibagi dua. Jika perahunya rusak/pecah agar dijadikan pagar benteng"''
Senada dengan hal tersebut, dalam sebuah prasasti yang lebih tua yaitu prasasti Bebetin A.I (818 Saka atau 896 M) menyebutkan penyitaan langsung terhadap perahu yang rusak:
 
 
IIb. 3. ''"anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan papagerangen kuta"''
''Prasasti Sembiran'' (923 M) terbuat dari tembaga:<ref name="arkeologiwebid"/>
 
IIIb. 3. ''"me yanad taban karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma''
 
IIIb. 4. ''katahu aku, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?"''
 
Terjemahan:
II.b 3. ''"jika ada pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Jika pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain harus dibagi dua. Jika perahunya rusak/pecah agar dijadikan pagar benteng"''
 
IIIb. 3. ''"dan bila ada peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta diketahui oleh penduduk desa, supaya dijadikan wrddhi (semacam persembahan), setelah''
Hak tawan karang ini bahkan berlanjut hingga kedatangan pelaut-pelaut Eropa. Penguasaan Pulau Bali oleh pasukan Belanda juga diawali oleh respon tawan karang masyarakat Sanur terhadap kapal dagang belanda yang terdampar di daerah tersebut, walaupun sebenarnya masyarakat Sanur tidak melakukan penyitaan terhadap kapal tersebut. Hal tersebut sengaja dilontarkan atau propaganda oleh pihak Belanda agar dapat menjadi alasan menyerang Pulau Bali.
 
IIIb. 4. ''diberitahukan kepadaku, supaya dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang"''
 
Pada tahun 1843 raja-raja Buleleng, Karangasem dan beberapa raja lainnya telah menandatangani penghapusan Tawan Karang. Pada kenyataannya perjanjian ini tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh karena pada tahun 1844 terjadi lagi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda yang karam di Pantai Prancak dan Sangsit.<ref name="sejarahnasional"/>
 
Pada tahun 1845 Raja Buleleng menolak pengesahan perjanjian penghapusan Tawan Karang.<ref name="sejarahnasional"/> Hal ini membuat Belanda menggunakan isu Tawan Karang untuk menyerang Bali pada [[Perang Bali I]],[[Perang Bali II]] dan [[Perang Bali III]].
Hak tawan karang tersebut akhirnya hilang semenjak Belanda menguasai Pulau Bali dan menerapkan aturan yang dibuat Belanda dan cenderung menguntungkan pihaknya.
 
 
== Sumber PenulisanRujukan ==
 
<references>
<ref name="arkeologiwebid">http://arkeologi.web.id/articles/epigrafi-a-manuskrip/12-tawan-karang-suatu-aturan-transportasi-laut-di-bali-pada-masa-lalu</ref>
<ref name="sejarahnasional">[http://books.google.co.id/books?id=N5jc0h1BktwC Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di abad ke-18 dan ke-19]
</references>