Revolusi Nasional Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ricky Setiawan (bicara | kontrib)
Andy lesmana (bicara | kontrib)
Baris 55:
 
</blockquote>
 
Pada pertengahan sebelum berita tentang Deklarasi Kemerdekaan Republik Indonesia menyebar ke pulau-pulau lain, dan banyak masyarakat Indonesia yang jauh dari ibu kota [[Jakarta]] tidak percaya. Saat berita mulai menyebar, banyak dari orang Indonesia datang untuk menyatakan diri mereka sebagai pro-Republik, dan suasana revolusi menyapu seluruh negeri. Kekuatan eksternal di dalam negeri telah menyingkir, itu terjadi seminggu sebelum tentara sekutu masuk ke Indonesia, dan Belanda telah lemah kekuatannya dikarenakan Perang Dunia II. Disis lain, orang Jepang, sesuai dengan ketentuan diminta untuk menyerah dan meletakkan senjata mereka dan juga menjaga ketertiban, sebuah kontradiksi bahwa sebagian besar Jepang yang sudah terlatih menyelesaikan serta menyerahkan senjata kepada Indonesia.
 
 
Hasil kekosongan kekuasaan berminggu-minggu setelah Jepang menyerah, menciptakan suasana ketidakpastian di dalam politik Indonesia saat itu, tetapi hal ini menjadi suatu kesempatan bagi Partai Republik. Banyak pemuda Indonesia bergabung dengan kelompok perjuangan pro-Republik (Badan Perjuangan). Saat itu yang sangat disiplin adalah tentara Jepang namun dibubarkan yaitu Giyugun (PETA) dan Kelompok Heiho. Dan banyak sekali kelompok yang tidak displin dikarenakan awal pembentukan mereka serta sesuatu yang mereka anggap sebagai semangat Revolusioner. Pada minggu-minggu pertama, tentara Jepang sering menarik diri dari daerah perkotaan untuk menghindari konfrontasi.
 
 
Pada September 1945 kontrol instalasi infrastruktur utama, termasuk stasiun kereta api dan trem di kota-kota besar di Jawa, telah diambil alih oleh Republik pemuda. Untuk menyebarkan pesan revolusioner, pemuda mendirikan stasiun radio mereka sendiri dan koran, serta grafiti yang menyatakan sentimen nasionalis. Pada sebagian besar pulau-pulau di Indonesia, komite perjuangan dan milisi dibentuk. Koran Republik dan jurnal yang umum di Jakarta, Yogyakarta, dan Surakarta, yang memupuk generasi penulis yang dikenal sebagai Angkatan 45 ('generasi 45') sebagian besar dari mereka banyak yang percaya bahwa pekerjaan mereka bisa menjadi bagian dari revolusi.
 
[[Berkas:TanMalaka DariPendjara ed3.jpg|thumb|150px|Tan Malaka Pejuang]]
Para pemimpin Republik berjuang untuk dapat berdamai dengan orang-orang populer di Indonesia yang sentimen, di karenakan beberapa menginginkan perjungan menggunakan senjata, dan yang lain lebih memilih menggunakan cara pendekatan yang lebih beralasan. Beberapa pemimpin seperti [[Tan Malaka]] menyebarkan gagasan bahwa ini adalah perjuangan revolusioner untuk dipimpin dan dimenangkan oleh pemuda Indonesia. Soekarno dan Hatta, sebaliknya, lebih tertarik dalam perencanaan sebuah pemerintah dan lembaga untuk mencapai kemerdekaan melalui diplomasi. Pro-Revolusi melakukan demonstrasi yang berlangsung di kota-kota besar, termasuk salah satu yang dipimpin oleh Tan Malaka di Jakarta dengan lebih dari 200.000 orang, yang akhirnya berhasil dipadamkan oleh Soekarno dan Hatta, karna takut akan kekerasan yang terjadi.
 
Pada September 1945 banyak pemuda Indonesia yang memplokamirkan diri, siap mati untuk "100% kemerdekaan" karna tidak dapat sabar. Hal itu umum bagi etnis 'diluar-kelompok' - interniran Belanda, Eurasia, Ambon dan Cina - dan siapa saja akan dianggap sebagai mata-mata, menjadi sasaran intimidasi, penculikan, perampokan, dan kadang-kadang pembunuhan, bahkan pembantaian terorganisir. Serangan tersebut akan terus sampai batas tertentu untuk jalannya revolusi. Akhirnya tingkat kekerasan meningkat di seluruh negeri, Soekarno dan Hatta menyerukan kepada pemuda agar dapat tenang. Namun, pemuda yang mendukung perjuangan bersenjata melihat pimpinan yang lebih tua seperti mengkhianati revolusi, yang akhirnya sering menyebabkan konflik di kalangan masyarakat Indonesia.
Para pemimpin Republik berjuang untuk dapat berdamai dengan orang-orang populer di Indonesia yang sentimen, di karenakan beberapa menginginkan perjungan menggunakan senjata, dan yang lain lebih memilih menggunakan cara pendekatan yang lebih beralasan. Beberapa pemimpin seperti [[Tan Malaka]] menyebarkan gagasan bahwa ini adalah perjuangan revolusioner untuk dipimpin dan dimenangkan oleh pemuda Indonesia. Soekarno dan Hatta, sebaliknya, lebih tertarik dalam perencanaan sebuah pemerintah dan lembaga untuk mencapai kemerdekaan melalui diplomasi. Pro-Revolusi melakukan demonstrasi yang berlangsung di kota-kota besar, termasuk salah satu yang dipimpin oleh Tan Malaka di Jakarta dengan lebih dari 200.000 orang, yang akhirnya berhasil dipadamkan oleh Soekarno dan Hatta, karna takut akan kekerasan yang terjadi.
 
== Kekacauan internal ==