Budaya Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 24:
Bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan lahan. Dalam hal ini, ada lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni Panglima Uteuen yang dibawahi beberapa struktur adat lainnya seperti Petua Seuneubôk, Keujruen Blang, Pawang Glé, dan sebagainya.
 
Sistem pengelolaan hutan sebagai lahan bercocok tanam, fungsi Petua Seuneubôk tak dapat dinafikan. Seuneubôk sendiri maknanya adalah suatu wilayah baru di luar gampông yang pada mulanya berupa hutan. Hutan tersebut kemudian dijadikan ladang. Karena itu, pembukaanpembukaaeperti lahantikus, seuneubôkrusa, harusbabi, selalumonyet, memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubôkgajah, dan lingkungan hidup itu sendiri. Maka fungsi Petua Seuneubôk menjadi penting dalam menata bercocok tanam, di samping kebutuhan terhadap Keujruen Blangsebagainya.
 
== Budaya Membuka Lahan Perkebunan ==
Bagi masyarakat Aceh terdapat sejumlah aturan yang sudah hidup dan berkembang sejak zaman dahulu. Kearifan masyarakat Aceh juga terdapat dalam larangan menebang pohon pada radius sekitar 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100 meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50 meter dari tepi anak sungai (alue).
 
== Pamali atau Pantangan ==
Selain itu, dalam adat Aceh dikenal pula sejumlah pantangan saat membuka lahan di wilayah seuneubôk. Pantangan itu seperti peudong jambô (mendirikan gubuk). Jambô atau gubuk tempat persinggahan melepas lelah sudah tentu ada di setiap lahan. Dalam adat meublang (bercocok tanam), jambô tidak boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas atau tempat-tempat yang diyakini ada makhluk halus penghuni rimba. Bahan yang digunakan untuk penyangga gubuk juga tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan akar (uroet), karena ditakutkan a
 
Ada pula pantang daruet yang maksudnya anggota seuneubôk dilarang menggantung kain pada pohon, mematok parang pada tunggul pohon, dan menebas (ceumeucah) dalam suasana hujan. Hal ini karena ditakutkan dapat mendatangkan hama belalang (daruet).
 
Selain itu, di dalam kebun (hutan) juga dilarang berteriak-teriak atau memanggil-manggil seseorang saat berada di hutan/kebun. Hal ini ditakutkan berakibat mendatangkan hama atau hewan yang dapat merusak tanaman, seperti tikus, rusa, babi, monyet, gajah, dan sebagainya.
 
Disebutkan pula bahwa dalam adat Aceh terdapat pantangan masuk hutan atau hari-hari yang dilarang. Karena orang Aceh kental keislamannya, hari yang dilarang itu biasanya berkaitan dengan “hari-hari agama”.