Sangha Agung Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Okkisafire (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Okkisafire (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 2:
|name=Sangha Agung Indonesia
|image_border=Logo Sagin.jpg
|size=120px220px
|caption=
|type=
Baris 30:
Indonesia membutuhkan banyak [[Bhikkhu]]. Untuk menahbiskan bhikkhu baru, tahun 1959 [[Ashin Jinarakkhita]] mengundang 13 Bhikkhu dari luar negeri, yaitu Y.A. Mahasi Sayadaw dari [[Myanmar]], Y.A. Mahathera Narada, dan 6 Bhikkhu lain dari [[Sri Lanka]], 3 Bhikkhu dari [[Thailand]], dan 2 Bhikkhu dari [[Kamboja]]. Menurut [[Vinaya]] atau peraturan Sanggha, penahbisan Bhikkhu (''upasampada'') dapat dilakukan dengan syarat paling kurang dihadiri oleh 5 Bhikkhu senior.<ref name="mbi4">Lembaga Litbang Majelis Buddhayana Indonesia 2005. [http://www.buddhayana.or.id/spirit.php?page=4 Sejarah Buddhayana, Halaman 4].</ref> Pada tahun yang sama, setelah jumlah [[Bhikkhu]] di Indonesia mencapai lima orang, [[Ashin Jinarakkhita]] membentuk '''Sangha Sutji Indonesia''' yang beranggotakan para [[Bhikkhu]] dan [[Samanera]] yang ditahbiskan secara [[Theravada]].<ref name="mbisby"/>
 
Pada tahun 1963, umat Buddha di Indonesia manyambut sepuluh tahun pengabdian (''Dasa Vassa'') [[Ashin Jinarakkhita]]. Pada tahun yang sama, Sangha Sutji Indonesia diubah menjadi '''Maha Sangha Indonesia''' yang beranggotakan para Bhikkhu aliran [[Theravada]] dan [[Mahayana]]<ref name="mbisby"/>, yaitu [[Ashin Jinarakkhita|Bhikkhu Jinarakkhita]], Bhikkhu Jinapiya, Samanera Jinagiri, Samanera Jinarathana, Samanera Jinakumar, dan Samaneri [[Jinakumari]].<ref name=nurjaman>Nurjaman (1111032100056). [http://ridwanzein.blogspot.com/2013/06/nichiren-syosyu-di-indonesia.html Nichiren Syosyu di Indonesia].</ref> Dalam upaya mengembangkan [[agama Buddha]] di Indonesia, [[Ashin Jinarakkhita]] menekankan kepada anggota Sangha agar menggunakan pendekatan secara luwes, dengan memberikan keleluasaan sepenuhnya kepada umat untuk menentukan sesuai minatnya masing-masing, apakah sesuai dengan Theravada atau Mahayana. Pendekatan seperti ini, di negara-negara barat dikenal sebagai Buddhayana atau Ekayana.<ref name="mbisby"/>
 
Dipandu pemahaman [[Buddhayana]], Maha Sangha Indonesia mendorong umat Buddha agar terus menggali warisan ajaran Buddha yang sudah tertanam di Indonesia semenjak zaman sebelum [[Majapahit]]. Secara kultural, ajaran Buddhis pernah membawa zaman keemasan pada masa [[Sriwijaya]] dan [[Majapahit]] sehingga akan lebih bisa diterima oleh bangsa Indonesia.<ref name="mbisby"/>
 
Ketika tahun 1966 [[Ashin Jinarakkhita|Bhikkhu Jinarakkhita]] membentuk kelompok Sangha Agung yang bertujuan untuk melebur seluruh mazhab Agama Buddha, hal ini ditolak oleh sebagian kelompok Mazhab Theravada. Maka sebagian anggota Maha Sangha Indonesia tradisi Mazhab Theravada membentuk Sangha Indonesia tahun 1968, yang terdiri dari Bhikkhu Jinapiya, Bhikkhu Sumanggalo, Bhikkhu Girirakhitto, Bhikkhu Jinaratana, Bhikkhu Aggabalo, dan Bhikkhu Subhato. Pada tahun 1968, PUUI menyatakan keluar dari PERBUDHI dan berganti nama menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI) dengan menyatakan dukungan penuh kepada Maha Sangha Indonesia kelompok Sangha Agung.<ref name=nurjaman/>
 
===Pembentukan Sangha Agung Indonesia===
Awal tahuntanggal 12 Januari 1972, Bhikkhu [[Girirakkhito]] bersama empat Bhikkhu Therawada lain memisahkan diri dari Maha Sanggha Indonesia dan membentuk Sanggha Indonesia. Untuk mengatasi perpecahan, diPada tahun 1972,yang atas prakarsa Sekjen Golkar Brigjen Saparjosama, sejumlahSangha pertemuanIndonesia diadakanyang danmendapatkan menghasilkandukungan ikrarpenuh wadahdari tunggal:Federasi BuddhisUmat Indonesia, MUBSI, Gabungan TridharmaBuddha Indonesia (GTI), Persaudaraan Umat Buddha Salatiga, Perbudhi, dan MUABI melebur dengan nama '''Buddha Dharma Indonesia''' (Budhi). Di samping itu, dibentuk Majelis Buddha Dharma Indonesia yang anggotanya terdiri dari pemuka agama Buddha dan cendekiawan dari berbagai sekte. Dalam praktiknya, ikrar ini baru terwujud tahun 1975. Organisasi ini mengganti nama menjadi Majelis Upasaka-Pandita Agama Buddha Indonesia di tahun 1976PERBUDHI.<ref name="mbi4"nurjaman/>
 
Untuk mengatasi perpecahan, di tahun 1972, atas prakarsa Sekjen Golkar Brigjen Saparjo, sejumlah pertemuan diadakan dan menghasilkan ikrar wadah tunggal: Buddhis Indonesia, MUBSI, Gabungan Tridharma Indonesia (GTI), Persaudaraan Umat Buddha Salatiga, Perbudhi, dan MUABI melebur dengan nama '''Buddha Dharma Indonesia''' (Budhi).<ref name="mbi4"/>
 
Atas Prakarsa dan Mediator Gde Puja, MA. Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Maha Sangha Indonesia (kelompok Sangha Agung) dan Sangha Indonesia (kelompok Mazhab Theravada) mengabungkan diri pada tahun 1974 dengan membentuk Sangha Agung Indonesia dengan landasan bahwa setiap Bhikkhu akan melaksanakan Vinaya sesuai dengan sektenya masing-masing. Hasil Konsensus ini tidak pernah terwujud karena kedua kelompok tidak dapat menyepakati stuktur dan fungsi organisasi Sangha Agung Indonesia.<ref name=nurjaman/> Akhirnya dibentuk Majelis Buddha Dharma Indonesia yang anggotanya terdiri dari pemuka agama Buddha dan cendekiawan dari berbagai sekte. Dalam praktiknya, ikrar ini baru terwujud tahun 1975. Organisasi ini mengganti nama menjadi Majelis Upasaka-Pandita Agama Buddha Indonesia di tahun 1976.<ref name="mbi4"/>
 
[[Ashin Jinarakkhita]] merasa perlu kembali menekankan konsep Buddhayana yang merupakan Wahana agama Buddha bagi Wahana Kecil ([[Theravada]]), Wahana Besar ([[Mahayana]]), dan Wahana Intan ([[Vajrayana]]).<ref name="mbisby"/> Pada tahun 1974 atas prakarsa Dirjen Bimas Hindu dan Buddha (Gde Puja, M.A.) organisasi Sanggha (Maha Sangha Indonesia) dipersatukan kembali dengan memakai nama baru, yaitu '''Sangha Agung Indonesia'''.<ref name="mbi4"/>