Maulana Rahmat Ali: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 11:
Tidak lama kemudian Maulana Rahmat Ali berangkat menuju [[Kota Padang|Padang]], ibukota [[Sumatra Barat]]. Di Padang, ia tidak tinggal diam bertabligh kemana-mana menyampaikan Ahmadiyah sampai ke daerah-daerah [[Kota Bukittinggi | Bukitinggi]], [[Padangpanjang]] dan [[Payakumbuh]] yang berakibat dakwahnya selain mendapat reaksi penentangan, juga simpati. Dari situ kaum intelektual, ulama Islam dan tokoh-tokoh masyarakat sepakat mendirikan sebuah komite yang bernama "Komite Mencari Hak" yang dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat bernama Tahar Sutan Marajo. Tujuan komite ini adalah untuk mempertemukan Muballigh Ahmadiyah Maulana Rahmat Ali dengan Ulama Minangkabau. Pada awal tahun [[1926]] Komite tersebut telah berusaha mengundang para alim ulama Minangkabau dan Muballigh Ahmadiyah, bertempat di Pasar Gadang, pada sebuah gedung pertemuan milik Bagindo Zakaria. Pada waktu yang sudah ditentukan untuk mengadakan perdebatan antara Muballigh Ahmadiyah dan para alim ulama Minangkabau itu ternyata yang disebut belakangan tidak muncul dan hanya diwakilli oleh murid-murid mereka saja. Setelah peristiwa di Pasar Gadang tersebut, "Komite Mencari Hak" dengan serta merta membubarkan diri dan bersamaan dengan peristiwa tersebut berdirinya Ahmadiyah sebagai suatu jemaat atau [[Organisasi|organisasi]] di Padang, dengan beranggotakan seluruh anggota Komite dan simpatisan lainnya sebanyak 15 orang termasuk antara lain Muhammad Tahar Sutan Marajo, Daud gelar Bangso Dirajo dan juga Bagindo Zakaria seorang pengusaha terkemuka di Padang asal Pariaman.<ref>Subjek "Mengundang Ahmadiyah ke Indonesia - Ahmadiyah di Tanah Minangkabau, Diskusi Sdr.Nadri Saaduddin http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/09/23/0069.html</ref>
Pada tahun [[1931]] Maulana Rahmat Ali berangkat menuju [[Jakarta]], [[Ibu kota|ibukota]] Indonesia. Melalui diskusi-diskusi perorangan yang ingin mengetahui tentang Ahmadiyah maupun diskusi secara terbuka, dakwah Ahmadiyah di tanah jawa mendapat perhatian yg luar biasa. Perdebatan resmi terjadi antara Ahmadiyah dan ulama Islam di kota jakarta, bogor, bandung, sampai kota garut. Dalam tahun [[1933]] telah terjadi tiga kali perdebatan Jemaat
Pada tahun [[1931]] Maulana Rahmat Ali berangkat menuju [[Jakarta]], [[Ibu kota|ibukota]] Indonesia. Dan perkembangan Ahmadiyah semakin cepat, banyak kaum intelektual, orang terpelajar, tokoh-tokoh terkenal dan masyarakat ningrat masuk ke dalam Ahmadiyah. Di kota Jakarta pula, tepatnya di masa perjuangan kemerdekaan RI beberapa tokoh perjuangan seperti [[Soekarno|Ir. Sukarno]], [[Sutan Syahrir]], dan [[Tan Malaka]] pernah mendatangi Maulana Rahmat Ali untuk mendiskusikan berbagai hal di antaranya mengenai [[Islam]], [[Nasionalisme]] dan Tatanan Dunia Baru. Juga di masa lalu [[Agus Salim|Haji Agus Salim]] sering merekomendasikan orang-orang yang ingin mendalami Islam agar datang ke [[masjid|mesjid]] Gang Gerobak. Disebut mesjid Gang Gerobak, karena di masa itu gang di mana mesjid ini berada selalu penuh dengan berbagai macam gerobak. tempat itu sekarang dikenal dengan alamat Jalan Balikpapan I/10.<ref>Subjek "Apa kata orang lain tentang Ahmadiyah", Diskusi Sdr. Nadri Saaduddin http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/10/01/0031.html]</ref> <ref>http://www.ahmadiyya.or.id/page/index.php/file_download/82</ref>▼
Ahmadiyah dengan pihak Pembela Islam dari organisasi Persis (Persatuan Islam) yang dipimpin oleh A. Hassan yang lebih dikenal dengan "Hassan Bandung" guru dari Almarhum Mohammad Natsir mantan Ketua Rabithah Alam Islami dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang terkenal. Diawali surat menyurat diskusi Ahmadiyah dan "Pembela Islam" yang merupakan media Persis waktu itu, yang selanjutnya menimbulkan kesepakatan diantara kedua belah pihak untuk mengadakan suatu pertemuan yang ketika itu disebut "Openbare Debatvergadering (Pertemuan Debat Terbuka) yang pertama kalinya diadakan pada bulan April tahun 1933, bertempat di gedung Sociteit "Ons Genoegen" Naripanweg, Bandung.
▲
== Rujukan ==
|