Jawanisasi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 24:
Hegemoni atau dominasi budaya Jawa ini bisa terwujud dalam berbagai aspek. Seperti fisik melalui penyebaran permukiman diaspora Jawa di luar tanah air tradisional mereka di Jawa. Dalam aspek spiritual dan perilaku, proses Jawanisasi meliputi penerapan budaya dan nilai-nilai Jawa; seperti obsesi akan kehalusan dan keanggunan (Jawa:''alus''), sopan santun, ketidaklangsungan, enggan berterus terang, pengendalian emosional dan perhatian akan status sosial seseorang. Nilai-nilai Jawa menjunjung tinggi keselarasan dan keteraturan tatanan sosial, mereka membenci konflik langsung dan perselisihan. Nilai-nilai Jawa ini sering disebarkan melalui ekspresi budaya Jawa, seperti [[tari Jawa]], [[gamelan]], [[wayang]] dan [[batik]] sebagai kebudayaan nasional Indonesia. Hal ini juga yang diperkuat melalui kepatuhan terhadap [[adat]] Jawa seperti menerapkan adat Jawa dalam upacara pernikahan.
Dalam aspek bahasa, seperti penggunaan [[Bahasa Jawa|bahasa]], istilah, idiom, dan kosakata Jawa di luar wilayah bahasa tradisional Jawa. Misalnya, kini lazim bagi warga Indonesia menggunakan istilah Jawa untuk menyapa orang lain, seperti ''Mas'' (terhadap laki-laki sebaya atau yang sedikit lebih tua) atau ''Mbak'' (untuk perempuan). Hal ini lazim di ibukota [[Jakarta]]. Tetapi fenomena ini menimbulkan kekhawatiran di ranah ber[[bahasa Melayu]] dan [[bahasa Minangkabau|Minang]] di [[Sumatera]] yang menganggapnya sebagai bentuk Jawanisasi dan penjajahan budaya.
Dalam sosial dan politik, contoh Jawanisasi dirasakan seperti [[Presiden Indonesia]] yang selalu berasal dari [[Suku Jawa]] (dengan pengecualian [[BJ Habibie]]). Juga tuduhan atas dominasi politik Jawa dalam tubuh administrasi pemerintahan, pegawai negeri sipil, [[TNI]] dan Polri, serta sifat-sifat Jawa dalam budaya politik Indonesia.
|