Wahdatul Wujud: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Suntingan 222.124.209.4 (Pembicaraan) dikembalikan ke versi terakhir oleh Shiyama |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 2:
'''Wahdatul Wujud''' mempunyai pengertian secara awam yaitu; ''bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci''. Pengertian sebenarnya adalah ''merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya''. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud. Yaitu '''Wahdatul Syuhud'''. Pengertiannya yaitu; ''Kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Allah''.
Jadi keduanya berpengertian, kita dapat bersatu dengan dzat Allah. Dalam penggambaran karya-karya suluk di jawa yang
'''Wahdatul Wujud''' sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya.
Dalam dunia [[tasawuf]], sering terdapat perbedaan antara ilmu syariat dan ilmu ma'rifat. Sebagai orang islam tentu saja diharuskan menguasai ilmu syariat. Dan ilmu ma'rifat atau ilmu tashawuf dengan kata lain ilmu hikmah, sangat ditekankan untuk mengambil sebuah hikmah.
Dalam penggambaran awal tersebut sudah ditunjukan betapa susahnya memahami ilmu ma'rifat dengan ilmu syariat. Penggambarannya adalah seperti pertemuan antara daratan dan lautan. Dimana Musa diberitahukan, ia akan menemukan orang yang lebih pandai darinya disaat ikan yang dibawanya hilang. Ikan mati tersebut hidup kembali di suatu tempat ketika Nabi Musa dan pembantunya beristirahat. Hal itu merupakan penggambaran ilmu yang sangat susah sekali dimana ikan mati dapat hidup kembali, seperti Nabi Musa yang tidak dapat bersabar melihat perilaku Nabi Khidir yang dilihat secara syariat sangat bertentangan. Tetapi hal tersebut dilakukan Nabi Khidir dari petunjuk Allah yang penuh dengan hikmah. Jadi tentu saja hal-hal ma'rifat hanya dapat dipahami secara pribadi bagi orang yang diturunkan kepadanya secara langsung.
Meskipun ilmu ma'rifat terlihat sangat bertentangan dengan ilmu syariat, tetapi sebenarnya tidak. Jadi ilmu tersebut dapat dikatakan ilmu tinggi yang digali dari perjalanan pikir para wali dan tidak untuk disebarluaskan. Hal tersebut seperti terjadi pada Syekh Siti Jenar yang mendengarkan wejangan yang diberikan oleh [[Sunan Ampel]] kepada orang yang akhirnya menjadi seorang wali, yaitu [[Sunan Bonang]]. Siti Jenar adalah orang awam yang salah tangkap menerima wejangan tersebut.
Selain perseteruan pendapat konsep wahdatul wujud dan wahdatul syuhud di jawa, hal itu juga terjadi pada kaum [[Syi'ah]] [[Isma'iliyah]] pada masa Al Hallaj. Hal yang berbeda pengertian terjadi dari definisi kaum syi'ah tentang zina, puasa, dan sabar. Mereka
Ilmu syariat dan ilmu ma'rifat akan selalu menemui
[[Kategori:Sufi]]
|