Marhaenisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''Marhaenisme''' adalah [[ideologi]] yang menentang penindasan manusia atas manusia dan [[bangsa]] atas bangsa. Untuk masa sekarang, [[ideologi]] ini telah berkembang dan dikenal dengan nama [[Marhaenisme Kekinian]]. [[Ideologi]] ini dikembangkan dari pemikiran presiden pertama [[Indonesia]], [[Soekarno]]. Ajaran ini awalnya bermaksud mengangkat kehidupan rakyat/orang kecil. Orang kecil yang dimaksud adalah [[petani]] dan [[buruh]] yang hidupnya selalu dalam cengkeraman orang-orang kaya dan penguasa.
 
== Etimologi ==
Marhaenisme diambil dari seorang petani bernama Marhaen yang hidup di Indonesia dan dijumpai Bung Karno pada tahun 19201926-an1927.<ref>Soekarno menurut pengakuannya saat memberikan kuliah tentang ''Shaping and Reshaping Indonesia'' di Bandung, 3 Juli 1957</ref> Dalam versi yang berbeda, nama petani yang dijumpai [[Bung Karno]] di daerah Bandung, Jawa Barat itu adalah Aen. Dalam dialog antara Bung Karno dengan petani tersebut, selanjutnya disebut dengan panggilan Mang Aen. Petani tersebut mempunyai berbagai faktor produksi sendiri termasuk lahan [[pertanian]], [[cangkul]] dan lain-lain yang ia olah sendiri, namun hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana. Kondisi ini kemudian memicu berbagai pertanyaan dalam benak Bung Karno, yang akhirnya melahirkan berbagai dialektika pemikiran sebagai landasan gerak selanjutnya. Kehidupan, kepribadian yang lugu, bersahaja namun tetap memiliki semangat berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya inilah, maka nama petani tersebut oleh Bung Karno diabadikan dalam setiap rakyat Indonesia yang hidupnya tertindas oleh sistem kehidupan yang berlaku. Sebagai penyesuaian bahasa saja, nama Mang Aen menjadi Marhaen.
 
Istilah ini untuk pertama kalinya digunakan oleh Soekarno di dalam pleidoinya tahun 1930, [[:s:Indonesia Menggugat|''Indonesia Menggugat'']] untuk mengganti istilah [[proletar]].<ref name="mp">[http://www.academia.edu/3887132/MARHAENISME_PANCASILA_peraga Marhaenisme Pancasila]</ref>.
 
Dalam bukunya "''Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai''", Kol. (Inf.) Soegiarso Soerojo, seorang perwira intelijen pada masa Orde Baru, menyangsikan bahwa ada petani yang memiliki nama Marhaen, dan memberikan alternatif sumber lain dari nama tersebut, yaitu singkatan dari [[Karl Marx|Marx]]-[[Georg Wilhelm Friedrich Hegel|Hegel]]-[[Friedrich Engels|Engels]].<ref>Pour 2010, h. 457</ref><ref>Soerojo 1988</ref>. Di kemudian hari, Soekarno juga menyebutkan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kultur dan natur Indonesia.
 
== Ideologi ==
Marhaenisme pada esensinya adalah sebuah ideologi perjuangan yang terbentuk dari Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa versi [[Bung Karno]].
 
Menurut [[marhaenisme]], agar mandiri secara ekonomi dan terbebas dari eksploitasi pihak lain, tiap orang atau rumahtanggarumah tangga memerlukan faktor produksi atau modal. Wujudnya dapat berupa tanah atau mesin/alat. Dalam konteks modern, kendaraan, perangkat teknologi informasi, alat dapur dan barang elektronik bisa saja diberdayakan dengan tepat guna sebagai modal atau faktor produksi. Meskipun tidak besar, kepemilikan modal sendiri ini perlu untuk menjamin kemandirian orang atau rumahtangga itu dalam perekonomian.
 
Berbeda dengan [[kapitalisme]], modal dalam [[marhaenisme]] bukanlah untuk ditimbun atau dilipatgandakan, melainkan diolah untuk mencukupi kebutuhan hidup dan menghasilkan surplus. Petani menanam untuk mencukupi makan keluarganya sendiri, barulah menjual surplus atau kelebihannya ke pasar. Penjahit, pengrajin atau [[buruh]] memproduksi barang yang kelak sebagian akan dipakainya sendiri, walau selebihnya tentu dijual. Idealnya, syarat kecukupan-sendiri ini harus dipenuhi lebih dulu sebelum melayani pasar. Ini artinya ketika [[buruh]], pengrajin atau petani memproduksi barang yang tak akan dikonsumsinya sendiri, ia cuma bertindak sebagai faktor produksi bagi pihak lain, yang menjadikannya rawan untuk didikte oleh pasar atau dieksploitasi. Secara agregat (keseluruhan) dalam sistem ekonomi [[marhaenisme]], barang yang tidak/belum diperlukan tidak akan diproduksi, sebab setiap orang/rumahtangga tentu memastikan dulu profil dan taraf kebutuhannya sendiri sebelum membuat apapun. [[Inovasi]] kelahiran produk baru akan terjadi manakala kebutuhannya sudah kongkret betul.
 
Cara ini mendorong tercapainya efisiensi, sekaligus mencegah pemborosan sumberdayasumber daya serta sikap konsumtif. Dan karena hanya difungsikan sekadar menghasilkan surplus, modal yang tersedia juga mustahil ditimbun atau diselewengkan untuk menindas tumbuh-kembangnya perekonomian pihak lain.
 
Marhaenisme yang dimaksud Soekarno bisa dibandingkan dengan formulasi pendekatan teori [[kewirausahaan]] yang baru diperkenalkan pada tahun 70-an oleh David McCleland yaitu hampir 50 tahun kemudian. Bedanya, jika McCleland lebih menekankan opsi pada upaya penanaman virus N.ach (Need for Achievement) atau kehendak untuk maju dari kalangan rakyat atau pengusaha kecil, sehingga notabene didominasi oleh pendekatan fungsional, maka pendekatan Soekarno atas marhaen (petani dan pedagang kecil), justru bersifat struktural, yaitu melalui penanaman sikap progresif revolusioner.<ref name="mp" />
 
Dalam pidato di depan Sidang PBB, 30 September 1960, Sukarno tegas menyatakan, bahwa Pancasila (baca: Marhaenisme) pada hakekatnya adalah sublimasi dari Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan [[Amerika Serikat]]) dan Manifesto of Communism dari [[Uni Soviet]]. Artinya Pancasila justru merupakan alternatif ketiga dari kedua kubu yang bertentangan dalam [[Perang Dingin]] di antara Blok Barat dengan Blok Timur saat itu. Secara ideologis, pemikiran Soekarno mirip sekali dengan apa yang dirumuskan oleh Anthony Giddens 20 tahun kemudian, sebagai '"The Third Way''.<ref name="mp" />
 
==Referensi==
* Soekarno. 2000. ''Marhaenisme''. Penerbit: Promedia.
* Ign. Gatut Saksono. 2008. ''Marhaenisme Bung Karno''. Penerbit: Rumah Belajar Yabinkas.
* Julius Pour. 2010. Gerakan 30 September: pelaku, pahlawan & petualang
* Soegiarso Soerojo. 1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai
{{reflist}}
 
{{politik-stub}}