Student Hidjo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Farras (bicara | kontrib)
Farras (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 44:
''Student Hidjo'' ditulis dalam [[bahasa Melayu]]. Saat novel ini ditulis, pemerintah kolonial Belanda sedang melakukan standardisasi bahasa Melayu. Bentuk standar tersebut dianggap terlalu kaku oleh Hendrik Maier, dosen [[Universitas Leiden]]. Akan tetapi, Kartodikromo tidak mau mengikuti standar tersebut. Menurut Meier, tidak seperti penulis yang memakai bahasa Melayu standar seperti [[Armijn Pane]] dan [[Haji Abdul Malik Karim Amrullah]] dengan nada "sedih", bahasa di ''Student Hidjo'' hanya menunjukkan "kebahagiaan, kesenangan, ketegangan" sang penulis yang "dipenuhi kemarahan".{{sfn|Maier|1996|p=192}}
 
Tsuyoshi Kato, pakar sastra Indonesia dari Jepang, melihat bahwa Kartodikromo, seperit penulis Jawa lainnya, memilih untuk memakai kata "saya" saat menulis dari sudut pandang orang pertama, berbeda dengan penulis [[suku Minangkabau|Minangkabau]] yang memilih "hamba". Ia menulis bahwa "saya" lebih diutamakan ketimbang kata [[bahasa Jawa|Jawa]] karena kata tunjuk orang pertama memiliki beragam tingkatan kesopanan. Ia menulis bahwa melalui karya-karya seperti ''Student Hidjo'' dan ''Rasa Merdika'' (1924; karya Soemantri), penulis Jawa semakin memopulerkan kata ini. Kato berpendapat "saya" lebih aktif daripada "hamba" namun lebih "kontemplatif dan mencerminkan diri" ketimbang kata tunjuk "aku" dalam bahasa Jawa ''ngoko''.{{sfn|Kato|2003|pp=103-104}}
 
==Tema==
Baris 51:
Novel ini menggambarkan kaum muda Indonesia sebagai orang-orang yang mengerti bahasa Belanda.{{efn|name=A}} Maier menulis bahwa pemahaman ini tidak terbatas pada bahasa yang digunakan, tetapi juga tindakan. Tindakan tersebut mencakup berpegangan tangan di depan umum dan minum [[air limun]], aktivitas yang tidak pernah dilakukan masyarakat tradisional Indonesia.{{sfn|Maier|1996|p=190}} ''Student Hidjo'' juga memperbandingkan orang Belanda dan Jawa.{{sfn|Maier|1996|p=197}} Maier menemukan bahwa melalui peralihan peristiwanya, novel ini menunjukkan bahwa bangsa Belanda dan suku Jawa tidak bisa saling melengkapi. Maier menyimpulkan bahwa "orang Jawa tidak merasa nyaman di Belanda, [dan] orang Belanda tidak merasa nyaman di Jawa."{{sfn|Maier|1996|p=198}} Menurut Maier, novel ini menganggap celah antara kedua budaya ini "tidak terjembatani".{{sfn|Maier|1996|p=204}}
 
Maier menulis bahwa novel ini menyertakan tema cinta: Cinta Hidjo untuk Woengoe, Betje, dan Biroe bersinggungan dengan cinta Walter untuk Roos, Woengoe, dan Betje. Ia juga melihat keberadaan tema [[mobilitas sosial]], yaitu ketika hubungan Hidjo dengan perempuan bangsawan didukung oleh ayahnya agar keluarganya mendapat posisi sosial yang lebih tinggi. [[Harga mempelai]] juga diangkat di novel ini; eemenelemen tersebut menunjukkan bahwa seseorang bisa menjadi bangsawan melalui pernikahan jika ia memiliki uang yang cukup. Ia melihat bahwa menjelang akhir novel, cinta dijelaskan sebagai sesuatu yang hanya dapat ditemukan orang-orang berpendidikan Belanda, sedangkan makna sosial-finansial dalam pernikahan masih mendominasi orang Jawa tradisional.{{sfn|Maier|1996|p=197}} Tokoh-tokohnya, meski semuanya tidak menikah karena cinta, pada akhirnya bahagia dengan pasangan mereka dan memiliki kehidupan yang nyaman.{{sfn|Kato|2003|p=96}}
 
==Rilis dan tanggapan==