Stoikisme: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
PT35Krista (bicara | kontrib) |
PT35Krista (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 21:
==Inti-inti Ajaran Stoikisme==
Orang-orang Stoik percaya bahwa emosi yang menghancurkan dihasilkan dari keputusan yang salah, dan bahwa seorang [[Sage]] atau [[Sophos]], atau orang yang memiliki "kesempurnaan moral dan intelektual," tidak akan pernah mengalami emosi-emosi yang merusak kebahagiaan, misalnya marah berlebihan, panik berlebihan, sedih berlebihan, dsb.<ref name="Stoicism">[http://plato.stanford.edu/entries/stoicism/ Stoicism], Stanford Encyclopedia of Philosophy.</ref> Seorang Stoik, seperti kata Epictetus hendaknya tidak banyak bicara tentang ide-ide besar, apalagi kepada orang-orang awam, melainkan bertindak selaras dengan apa yang dipikirkannya tentang kebaikan.<ref name="Wibowo">{{en}} A. Setyo Wibowo., Stoikisme,Jakarta: Jurnal Filsfat Driyarkara: Senat Mahasiswa STF Driyarkara, 2013 </ref> Hal ini dibedakan dengan istilah filsuf atau filosof (pecinta kebijaksanaan) yang hanya menyukai ide-ide kebijaksanaan, namun biasanya gagal melakukan ide-ide kebijaksanaan itu (sophia).<ref name="Wibowo"></ref> Stoikisme adalah cara hidup yang menekankan dimensi internal manusia, seorang Stoik dapat hidup bahagia ketika ia tidak terpengaruh oleh hal-hal di luar dirinya.<ref name="Wibowo"></ref> Di mata kaum Stoa, ''Logos'' Universal (Sang Ilahi) adalah yang menata alam semesta ini dengan rasional, senegatif apa pun kejadian yang menimpa, seorang Stoa yang bijak akan melihat kejadian tersebut sebagai bagian dari tenunan indah Logos.{{fact}} Ia akan menyesuaikan kodrat rasional dirinya sebagai manusia dengan rasionalitas Alam Semesta.<ref name="Wibowo"></ref>
Ajaran Stoa berpijak pada tiga elemen yang meminjam cara berfilsafat aliran filsafat sekolah milik Aristoteles, [[Akademia]], yakni logika atau rasio, materi atau [[fisika]], dan etika
Ajaran Stoa yang paling menonjol adalah bagaimana manusia bertindak menurut keteraturan hukum alam yang diselenggarakan yang Ilahi.<ref name="Sandbach"></ref><ref name="Audi"></ref>
Baris 37:
==Etika Katekontik==
Menurut para Stoik, manusia adalah binatang bernalar, nalar (''reason'') itu didapatinya dari Yang Ilahi, dan dengan nalar itu, manusia menjadi elemen terpenting bagi Sang Ilahi untuk menyelenggarakan keteraturan dunia.<ref name="Audi"></ref> Namun, manusia bukan satu-satunya elemen, ia hanya bagian dari keseluruhan, ia hanya salah satu organ saja.<ref name="Audi"></ref> Eksistensi manusia selalu terkait dengan eksistensi pihak lain, merusak tatanan sama dengan merusak atau mengancam eksistensi manusia itu sendiri.<ref name="Audi"></ref> Seorang sophis sejati -orang yang hidupnya selaras dengan ide-ide yang ia pelajari-, hendaknya dalam hidupnya yang harus mencari pemenuhan kebutuhan, tidak melupakan relasinya terhadap pihak lain, termasuk Yang Ilahi sebagai penyelenggara tunggal dunia.<ref name="Audi"></ref> Seorang sophis harus sadar bahwa ia hanya bagian dari rangkaian tak terpisahkan keteraturan dunia, bahwa ia setara posisinya dengan ciptaan lain, dan kepentingan dirinya harus terintegrasi terhadap kepentingan orang atau pihal<!--perhatikan ketelitian penulisan--> lain itu.<ref name="Rowe et al"></ref>
Perspektif kosmik harusnya membayangi kehidupan pribadi, walau tidak menggantikannya secara keseluruhan.<ref name="Rowe et al"></ref>
Rasio atau nalar manusia harus terintegrasi terhadap penyelenggaraan kosmis Ilahi.<ref name="Audi"></ref> Jika seseorang bertindak selaras (''katekontik'' sebagai tindakan yang sejati atau ''katorthomata'' sebagai tindakan yang tepat), ia akan merasa bahagia, merdeka, bertindak secara tepat dalam kebaikan, dan hidup dalam harmoni yang sempurna. <ref name="Audi"></ref>
==Stoikisme dan Politik Yunani==
Tokoh-tokoh Stoa atau para Stoik, dalam sikap politik terbagi dalam dua golongan, yang anti-politik atau menjauhi keterlibatan politik, dan yang terlibat aktif dalam politik.<ref name="Rowe et al"></ref> Kedua kelompok tersebut memiliki pandangan yang berbeda.<ref name="Rowe et al"></ref> Para Stoik awal, Zeno, Chrisipus, Cleanthes jelas menjauhi dunia politik.{{fact}} Alasannya, mereka masih sangat dipengaruhi oleh aliran [[Sinisme]] yang sangat membenci dunia [[politik]].{{fact}} Seperti kutipan Plutarch (Moralia, 329A), dari [[Politeia]] karya Zeno<ref name="Sandbach"></ref>,
{{cquote|Kita seharusnya hidup tidak dalam kota-kota atau wilayah yang terorganisasi, masing-masing kelompok dibedakan oleh pandangan kebaikan sendiri, tetapi seharusnya berpikir semua orang adalah warga dan anggota, dan seharusnya ada satu jalan hidup dan satu tatanan, seperti segerumbul rumput menyatu di padang|4=[[Zeno]] dari [[Citium]]}}
Alasannya sederhana, para Stoik awal menolak sistem pemerintahan kala itu, pemerintahan yang sangat tirani.<ref name="Rowe et al"></ref> Para Stoik
Sedangkan para Stoik yang kemudian, misalnya Cicero, Seneca, dan Markus Aurelius justru terlibat dalam kancah politik, Cicero adalah salah satu anggota dewan Kota, Seneca pernah jadi penasihat Kaisar Nero, dan Marcus Aurelius adalah seorang Kaisar.<ref name="Rowe et al"></ref> Jadi, Stoa memang memiliki paradoks ajaran dalam berpolitik, ada yang anti-politik, dan ada pula yang justru dalam lingkaran politik.<ref name="Rowe et al"></ref>
Baris 53:
==Etika Stoikisme==
'''Etika Stoikisme''' berpijak pada prinsip bahwa kebajikanlah yang baik, selebihnya mewakili buruk.<ref name="Audi"></ref> Hal-hal lain sifatnya netral saja (Inggris: ''indifferent'', Yunani: ''adiaphora''), walaupun beberapa di antaranya, misalnya [[kesehatan]], [[kemakmuran]], [[kehormatan]] secara alamiah dianjurkan, sedangkan yang berseberangan dari itu tidak dianjurkan.<ref name="Audi"></ref> Misalnya, kepemilikan pribadi sama sekali tidak dianjurkan karena tidak selaras dengan prinsip manusia yang ingin bahagia.<ref name="Audi"></ref> Jika manusia tidak sadar terhadap godaan hal-hal yang netral itu, ia dapat terjebak pada tindakan menghalalkan cara untuk mencapai hal-hal yang netral, atau ia justru tidak bahagia ketika diperalat hal-hal yang netral itu.<ref name="Audi"></ref> Misalnya, seseorang yang mengejar harta benda terus menerus, sesungguhnya ia tak lagi dapat bahagia, karena dirinya telah dikuasai hal-hal yang seharusnya tidak merintanginya untuk berbahagia.<ref name="Audi"></ref> Pertarungan paling sengit adalah mengenai kebijaksanaan dan pengendalian diri manusia melawan kesenangan pribadi.<ref name="Stumph"></ref> Manusia tidak perlu takut terhadap kematian, peristiwa-peristiwa buruk yang akan mengganggu kebahagiaan, sebab kebahagiaan diperoleh dari cara menghadapi peristiwa-peristiwa tersebut, sebab kita tidak dapat mengendalikan semua peristiwa di tangan kita, melainkan kita mampu mengendalikan perilaku kita dalam menghadapinya.<ref name="Stumph"></ref> Ketakutan ketika menghadapi peristiwa-peristiwa yang tidak kita harapkan sebenarnya lebih besar daripada akibat-
Etika Stoa mendasarkan diri pada moralitas. Jika manusia di dunia diibaratkan sedang melakoni drama, setiap orang tidak dapat memilih perannya sendiri-sendiri, sebab perannya sudah ditentukan oleh Sang Sutradara (Yang Ilahi).<ref name="Stumph"></ref>
|