Nagasasra dan Sabukinten: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Billi46 (bicara | kontrib)
k wikifikasi
Billi46 (bicara | kontrib)
Baris 34:
 
==Ringkasan cerita==
Mahesa Jenar pergi mengembara meninggalkan Istana Demak karena perselisihan soal keyakinan agama (Mahesa Jenar adalah murid [[Syekh Siti Jenar]], seperti juga Ki Kebo Kenanga alias [[Ki Ageng Pengging]]) dan karena hilangnya pusaka-pusaka [[Kesultanan Demak]], di antaranya keris-keris Kiai Nagasasra dan Kiai Sabukinten. Keris-keris itu ternyata tengah menjadi rebutan tokoh-tokoh golongan hitam, karena dianggap bisa menjadi ''sipat kandel'' (Jawa: modal spiritual) bagi penguasa Tanah Jawa.
 
Sementara itu dalam perjalanannya menemukan kembali keris Nagasasra dan Sabukinten, Mahesa Jenar menemukan beberapa persoalan lain yang saling kait mengait. Menghilangnya ayah Rara Wilis, yang kemudian menjadi kepala gerombolan di Gunung Tidar. Sementara itu sahabatnya, Ki Ageng Gajah Sora yang menjadi Kepala Daerah Perdikan Banyu Biru, difitnah oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora, yang tamak ingin menguasai wilayah [[Banyubiru, Semarang|Banyu Biru]], dan pada akhirnya harus ditangkap dan ditahan di [[Demak]]. Dalam pada itu, semua gerombolan dari golongan hitam itu berdatangan menyerbu ke Banyu Biru, karena adanya isu keberadaan keris Nagasasra dan Sabukinten di daerah tersebut. Mahesa Jenar, dengan dibantu sahabat-sahabatnya, berupaya keras menyelamatkan Banyu Biru dari bencana, sambil mendidik Arya Salaka sebagai pewaris wilayah Banyu Biru di masa depan. Sedangkan keris-keris Nagasasra dan Sabukinten diselamatkan oleh seorang sakti yang selalu diliputi oleh rahasia, namun sangat dihormati oleh Baginda [[Sultan Trenggana]] dari Demak.