Asep Sunandar Sunarya: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-ditahun +pada tahun) |
k Bot: Penggantian teks otomatis (- jaman + zaman) |
||
Baris 31:
“Setiap kali jika saya selesai pagelaran, ''Abah ''selalu mengatakan ''“goréng” ''(jelek) terhadap apa yang saya lakukan. Abah itu orang tua yang pelit sekali untuk tertawa, anehnya hanya ketika saya mendalang dengan lawakan, dan Abah menyaksikan, Beliau tertawa. Bagi saya sepedas apapun kritikan Beliau, saya jadikan pupuk dan cambuk sehingga memacu kreativitas dan inovasi. Saya menjadi sekarang ini berkat adanya hari kemarin, ujar Asep.
Lebih jauh Asep mengatakan: ''“Kuring kudu ngahaturkeun nuhun ka sing saha waé'' ''anu geus ngritik, rék didasaran ku ngéwa atawa nya’ah, p''é''k t''é''h teuing. Sajaba ti ''é''ta, meureun perlu og''é'' kuring nendeskeun y''é''n naon rupa kr''é''ativitas jeung inovasi anu ku kuring dilakukeun, dina raraga tarékah sangkan seni Sunda wayang golék anu mibanda ajén adi luhung, tetep bisa hirup disagala
== Dari Asep Sukana Menjadi Asep Sunandar Sunarya ==
Baris 59:
Karena sang Bayi tidak bernama tentu ada kekhawatiran pada diri Ma Jaja jika tetangganya menanyakan perihal nama Bayi tersebut. Untuk menyiasatinya maka Ma Jaja berfikir keras hingga muncul ide Sukana yakni semacam akronim dari Bahasa Sunda yang berarti sa suka na (sesukanya). kemudian Sukana menjadi semacam "nama" bagi Bayi tersebut. Ide ini datang sebagai "jalan tengah" atau solusi jitu sebab dengan cara seperti itu Ma Jaja tidak melanggar apa yang diamanatkan oleh sang Kaka.
Salah satu sebutan untuk laki-laki dikalangan masyarakat Sunda adalah Asep (disamping Encep atau Ujang). Jadilah kemudian sang bayi terbiasa disebut Asep Sukana. Hampir seperti kebanyakan anak-anak lainnya pada
Pada diri Asep mengalir darah seni dari Ayahnya. Diawali sejak usia 7 tahun ( kelas 1 SD) minat Asep terhadap wayang golek sudah mulai tumbuh. Selain karna faktor turunan juga memang pada zaman itu pagelaran seni Wayang Golek masih digandrungi oleh masyarakat. Juga, pada saat itu belum ada "saingan" dari jenis seni lainnya sebagaimana terjadi pada zaman sekarang. Bakat Sukana kecil ia perlihatkan dengan kegemarannya membuat wawayangan dari ranting-ranting pohon yang jatuh, tanah liat, dan daun singkong.
|