Purwodadi, Barat, Magetan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot menambahkan: kode pos |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
Purwodadi adalah nama salah satu desa yang terletak
di Kecamatan Barat, Kabupaten Magetan, Jawa timur, Indonesia. Letak yang sangat
strategis membuat Purwodadi menjadi dikenal di daerah-daerah disekitarnya. Saat
ini desa Purwodadi dipimpin oleh seorang Kepala Desa perempuan yang bernama
Suci Minarni, beliau adalah lurah perempuan
pertama desa ini. Bu Suci, begitulah masyarakat sekitar memanggil dan
menyapa beliau. Kepala Desa perempuan yang hebat dan memiliki jiwa sosial
maupun kepeduliaan terhadap masyarakat yang tinggi. Wajah manis dan senyuman
ramah tiap pagi yang khas saat beliau masuk kerja di kantor Kepala Desa
Purwodadi dengan mengendarai sepeda motor dinasnya. Wanita kelahiran pada rabu
wage tanggal 5 Juni 1970 ini merupakan calon kepala desa tunggal desa ini yang
kemenangannya mutlak beliau dapatkan. Beliau juga cucu dari Kromorejo atau Mbah
Gong yang merupakan lurah pertama desa ini.
Mbah Gong menjadi lurah pertama Desa Purwodadi yang
langsung ditunjuk oleh Raden Mas Arya ( R.M.A ) Kertohadinegoro yang terkenal
di masyarakat Magetan dengan sebutan Gusti Ridder. Beliau mendapat julukan Mbah
Gong karena dahulu beliau satu-satunya masyarakat di daerah sini yang memiliki
Gong pertama kali dan menjadi penguasaha gamelan jawa yang sangat terkenal pada
waktu itu. Usahanya pun bermacam-macam dan bisa dibilang beliau merupakan
pengusaha sukses. Saat penunjukan Mbah Gong menjadi lurah pertama yang ditunjuk
langsung oleh Gusti Ridder, waktu itu beliau sedang berada di pasar hewan
karena bisnis beliau tidak hanya gamelan jawa saja melainkan juga memiliki
peternakan maupun perkebunan yang luas dengan puluhan buruh-buruh yang setia
mengabdi kepada beliau. Gusti Ridder yang pada waktu itu menjabat sebagai
Bupati Magetan langsung turun sendiri dan mencari Mbah Gong di pasar hewan.
Disitu pun terjadi perjanjian antara Mbah Gong dan Gusti Ridder, yakni Mbah
Gong bersedia ditugaskan sebagai lurah desa Purwodadi asalkan beliau tidak
meninggalkan semua bisnis-bisnisnya karena menurut beliau menjadi lurah ini
adalah sebuah pengabdian dimana beliau bertanggung-jawab penuh terhadap
masyarakat Purwodadi. Saat itu pun Mbah Gong menjadi lurah tidak mendapat
bayaran, beliau membayar pamong-pamongnya mengguanakan uang pribadi. Tidak
heran jika Mbah Gong sangat disegani oleh masyarakat disekitarnya. Mbah Gong
memiliki empat orang isteri yang membuat keluarga Mbah Gong menjadi keluarga
besar.
Bu Suci selain menjadi lurah perempuan pertama desa
ini, kebetulan beliau adalah cucu dari Mbah Gong. Beliau adalah cucu dari garis
trah isteri kedua Mbah Gong yang bernama Tukinem dan memiliki 8 orang anak.
Wanita hebat yang merupakan anak dari Hardjo Lamidi ini bekerja keras menjadi
tulang punggung keluarganya semenjak sakit dan meninggalnya suami tercinta
beliau yang bernama Agus Prayitno pada tahun 2010. Bekerja keras untuk
anak-anak dan mengabdi kepada masyarakat adalah kegiatan keseharian beliau saat
ini semenjak terpilihnya menjadi Kepala Desa Purwodadi. Selain itu beliau juga memiliki
tiga orang anak yang sedang menempuh pendidikan, ini merupakan tanggung jawab
yang besar, tugas, amanat kepada beliau untuk menjadikan sosok wanita yang kuat
dan tegar. Dimana beliau selain mengurus keluarganya seorang diri, juga
bertanggung jawab untuk mengabdi kepada masyarakat desa Purwodadi. Rasa bahagia
terasa saat dimana diumumkannya beliau menjadi Kepala Desa Purwodadi dan
dilantik oleh Bupati Magetan bapak K.R.A Sumantri Notohadinagoro pada
tanggal 20 Desember 2013.
Pada tanggal 4 Juli 1830 atau 3 Sura
tahun Je 1758, Belanda mengadakan konferensi di desa Sepreh (Ngawi), dengan
mengundang semua Bupati Mancanegara wetan. Ketetapan konferensi itu bahwa semua
Bupati Mancanegara wetan harus menolak kekuasaan Sultan Yogyakarta dan
Susuhunan Surakarta dan mulai saat itu harus tunduk kepada Belanda di Batavia.
Sejak tahun 1830 Kabupaten Magetan
menjadi daerah jajahan Belanda. Pada masa itu yang menjabat Bupati Magetan
adalah R.T. Sasrawinata (wafat tahun 1837). Kabupaten Magetan dipecah menjadi 7
daerah Kadipaten , yaitu :
1. Kadipaten
Magetan I (kota) dengan Bupati R.T. Sasrawinata
2. Kadipaten
Magetan II (Plaosan) dengan Bupati R.T. Purwawinata
3. Kadipaten
Magetan III (Panekan) dengan Bupati R.T. Sastradipura
4. Kadipaten
Magetan IV (Goranggareng Genengan) dengan Bupati R.T. Sasraprawiro yang berasal
dari Madura.
5. Kadipaten
Magetan V (Goranggareng Ngadirejo) dengan Bupati R.T. Sastradirya
6. Kadipaten
Maospati (setelah ditinggalkan oleh Bupati wedana R. Ronggo Prawiradirja),
Bupatinya R.T. Yudaprawiro.
7.
Kadipaten
Purwodadi, Bupatinya R. Ngabehi Mangunprawiro (sejak tahun 1825 disebut R.
Ngabehi Mangunnagara).
Pada tahun 1837 Kadipaten Magetan II dan Magetan III
dihapuskan dan dijadikan satu dengan Kadipaten Magetan I. Pada tahun 1866 Kadipaten
Goranggareng dihapuskan. Pada tahun 1870 kadipaten Purwodadi dihapuskan.
Desa Purwodadi memiliki banyak sejarah dan ikut
andil dalam kepemerintahan Kabupaten Magetan. Dahulu kala di desa ini berdiri
Kadipaten yang megah yang bernama “Kadipaten Purwodadi”. Berikut adalah 5
Adipati yang menjabat di Kadipaten Purwodadi :
-
R.Ng. Mangunprawiro alias R.Ng.
Mangunnagara
-
R.T. Ranadirja
-
R.T Sumodilaga
-
R.T Surakusumo, dan
-
R.M.T Sasranegara ( Gusti
Papak ).
Pada
tahun 1870 Kadipaten Purwodadi dihapuskan dan dijadikan satu dengan Kadipaten
Magetan. Semenjak itu Kadipaten Purwodadi tidak aktif dan bangunan pendopo
didalamnya dibongkar untuk dipindahkan ke kantor Residen waktu itu. Setelah
semua bangunan kosong didalamnya bekas kadipaten ini diambil alih oleh Mbah
Gong. Dahulu beliau menemui langsung Kanjeng Sultan agar bekas tanah kadipaten
ini dikelola oleh beliau. Melalui beberapa perjanjian dengan Sultan, akhirnya
setelah Gusti Papak tidak menjabat sebagai Adipati disini, Mbah Gong yang
mengambil alih bekas Kadipaten ini. Saat itu Mbah Gong sempat meminta ijin
kepada Kanjeng Sultan untuk mendirikan bangunan lagi semenjak dibongkarnya
pendopo untuk dijadikan Kantor Residen di Madiun, namun Kanjeng Sultan tidak
menghendaki dan disuruhnya untuk menanami tanaman yang bisa dimakan oleh
masyarakat. Yang boleh memiliki tanah ini pun harus masih keluarga dan
keturunan dari Mbah Gong, karena menurut mitos dan perjanjian dengan leluhur
jaman dahulu kalau bukan keluarga biasanya tidak kuat untuk memiliki tanah
bekas Kadipaten Purwodadi ini.
Pada
zaman penjajahan Jepang, Jepang memiliki akal busuk untuk memanfaatkan batu
bata bekas Kadipaten ini untuk dibuat bangunan Bandara di Surabaya. Karena
waktu itu yang memegang alih bekas Kadipaten ini adalah Mbah Gong, Jepang pun
meminta ijin kepada Mbah Gong. Dengan rasa berat hati, beliau pun memberi ijin
Jepang untuk membawa batu bata pagar dari Kadipaten ini karena Jepang
memintanya dengan paksaan. Namun setelah dibawa oleh Jepang, dalam
perjalanannya pun menurut cerita dari buruh-buruh Jepang ada hal-hal keanehan
yang terjadi. Sesampainya batu bata ini di Surabaya, banyak dari buruh-buruh
dan penjajah Jepang sendiri yang meninggal misterius. Mereka banyak yang
meninggal dengan perut buncit dan akhirnya mbledos (istilah jawanya). Banyak
dari mereka yang bermimpi aneh yang menyuruh untuk mengembalikan batu bata ini
kepada Mbah Gong. Dalam mimpi mereka konon kalau batu bata ini tidak
dikembalikan ke Mbah Gong atau ke asalnya di desa Purwodadi, maka tempat yang
dibangun dengan menggunakan batu bata ini akan menjadi tempat yang wingit atau
angker dan memakan banyak korban sampai meninggal dunia. Batu bata ini adalah
batu bata bekas Ratu atau Adipati yang tidak sembarangan orang bisa memilikinya,
jadi batu bata maupun lahan didalamnya meiliki nilai mistis maupun aura
tersendiri. Sesuai dengan kesepakatan dan perjanjian Mbah Gong dengan Kanjeng
Sultan yang tidak boleh bekas Kadipaten ini dimiliki oleh darah lain karena
dikhawatirkan tidak kuat untuk memilikinya.
Suatu
ketika pun Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerahkan kembali batu bata
bekas Kadipaten Purwodadi ini kepada Mbah Gong. Pagar sebelah utara yang sudah
dibongkar oleh Jepang ditata kembali
oleh masyrarakat atas perintah dari Mbah Gong. Masyarakat Purwodadi pun dengan
penuh semangat dan kebersamaan menata kembali pagar Kadipaten ini. Pada waktu
itu Jepang benar-benar merasa ketakutan akan hal ini dan mereka tidak mau
mengambil resiko yang lebih parah karena saat itu sudah memakan banyak korban
nyawa. Setelah ditatanya kembali seperti semula, Mbah Gong pun menjadikan tanah
bekas Kadipaten ini dengan perkebunan pribadi beliau dan diberi nama kebon jero
( bonjero ), kira-kira tanah bekas
Kadipaten ini memiliki luas sekitar 4 hektar. Kebon berarti kebun dan jero
berarti dalam, tanah ini diberi nama “bonjero” karena lahan yang berada didalam
tanah bekas Kadipaten ini dimanfaatkan untuk perkebunan, jadi kebun yang
terletak didalam pagar bekas Kadipaten Purwodadi. Sampai saat ini pun tanah
bekas Kadipaten ini dikelola oleh keluarga keturunan dari Mbah Gong.
Masyarakat
sering menyebutnya dengan nama bonjero dalam bahasa halusnya adalah kebondalem.
Pihak keluarga dari Mbah Gong juga memanfaatkan tanah didalamnya untuk bercocok
tanam. Dahulu pada waktu Mbah Gong masih sugeng, banyak tanaman yang tumbuh
didalamnya. Saat musim panen sudah tiba, tanah bonjero menjadi lahan yang
kosong dan luas. Biasanya masyarakat sekitar terutama anak-anak kecil banyak
yang bermain layang-layang disini, mereka ingin beristirahat dan menenangkan
fikiran dengan merasakan angin sepoi-sepoi didalam bonjero.
Desa
Purwodadi memiliki letak lapangan yang strategis dan ini membuat lapangan
Purwodadi sering digunakan untuk acara-acara besar. Pada saat pemerintahan
Kadipaten Purwodadi masih aktif, dahulu lapangan ini sebenarnya adalah
alun-alun kota milik Kadipaten Purwodadi. Para Adipati yang menjabat, abdi
dalem beserta masyarakat sering juga menggunakan alun-alun ini untuk
acara-acara besar. Semenjak tahun 1870 yang menghapuskan Kadipaten Purwodadi,
maka alun-alun utama diubah menjadi lapangan milik desa Purwodadi. Sebelah
utara dari bekas alun-alun ini dahulu juga merupakan pasar yang ramai karena
memiliki letak yang strategis. Dimana ada alun-alun pasti ada Masjid Agung,
letak Masjid Agung berada disebelah
barat alun-alun, yaitu di desa Kauman. Pada umumnya nama dari daerah dimana
disitu terletak Masjid Agung yang di sebelah barat alun-alun, maka daerah tersebut
diberi nama Kauman. Saat ini bekas dari Masjid Agung digunakan untuk makam
keluarga dari Raden Abdullah Mustofa yang pada jaman dahulu beliau merupakan
seorang Asistan Wedono. Masyarakat sekitar sering menyebutnya dengan makam
Eyang Penghulu. Nenek dari Bu Suci sendiri juga dimakamkan dimakam keluarga
ini, karena disitu letak makam keluarga dari lurah pertama desa Keras. Selain
cucu dari lurah pertama desa Purwodadi, Bu Suci juga merupakan cucu lurah
pertama desa Keras dari garis trah keluarga ibunda Bu Suci yang bernama
Warsini. Istri lurah pertama desa Keras dimakamkan di makam keluarga Raden
Abdullah Mustofa atau Eyang Penghulu dan suaminya di makamkan desa Keras.
Sedangkan makam dari Mbah Gong berada di makam cungkup desa Purwodadi.
|