Teater Gapit: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Jagawana (bicara | kontrib)
k ~kat
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''Teater Gapit''' adalah sebuah [[teater]] ber[[bahasa Jawa]] yang anggotanya berasal dari mahasiswa dan dosen [[ISI Surakarta|Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta]] dan berkiprah penuh pada saatTahun 1980-1990-an. Kala itu kampusnya masih menggunakanmenumpang bangunandi [[Sasonomulyo]], sebuah bangunan milik [[Kasunanan Surakarta|Keraton Surakarta]], dan dipergunakandi tepat inilah sebagaiTetater tempatGapit latihanberlatih. Anggota teater ini setiap hari harus melewati [[lawang]]/pintu [[gapit]] untuk memasuki tempat latihan sehingga dinamakanlah Teater Gapit.
 
Teater ini mengangkat masalah-masalah masyarakat pinggiran yang hidupnya susah; juga realitas kehidupan sekeliling tembok keraton, seperti ''[[magersari]]'', penggusuran, atau [[penembakan misterius]] dan lainnya. Sejumlah lakon yang sering dipentaskan adalah ''Leng'' (baca /ləŋ/, berarti "liang" atau "lubang"), ''Rèh'', ''Dor'', serta ''Dom'' ("Jarum"). Tidak jarang, sebelum pertunjukan dimulai tokoh sebenarnya dalam masyarakat diperkenalkan kepada penonton; misalnya pada lakon ''Reh'', Romli seorang tukang jahit, Wongso seorang tukang tambal ban, Soleman seorang calo, Bismo seorang penjual sumbu kompor dan karet kolor yang gila akan wayang, Mbah Kawit seorang nenek tua yang ketakutan menghadapi kematian, dan sebagainya.
 
Sutradara dan penulis lakon yang produktif serta merangkap pimpinan teater adalah [[Kenthut]]. Penata gendhingnya Dedek Wahyudi, sedangkan penata lampunya Hengky dan Iyeh. Para pemain di antaranya Djarot, Trisno Santoso (Pelok), Wahyudiato, Pamardi, Wahyu (Inong), Budi, sertamenik, Endang Widyaningsih dan lainnya. Pemain Teater Gapit selalu berubah karena adanya mahasiswa yang lulus dan munculnya pemain baru, kecuali untuk dosen dan karyawan tetap. Teater Gapit bersifat revivalis dan kreatif, selalu menggunakan konsep teater tradisional Jawa dalam pementasannya, sehingga sangat khas. Ia selalu menggunakan gamelan untuk musik pengiringnya. Lantunan gending dan tembang Jawa sangat dominan dalam mengiringi pementasan.
 
Semenjak Kenthut meninggal, teater ini lumpuh total dan sampai saat ini jarang manggung lagi, karena tidak ada yang mengambil alih pimpinan.