Tole Iskandar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Masdiko (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Masdiko (bicara | kontrib)
Baris 42:
Saat itu, senjata yang dimiliki Barisan Keamanan ini hanya empat pucuk carabine Jepang. Itu pun hasil rampasan dari polisi Jepang yang bertugas di Depok. Kolonel Samuan, salah satu tim penyusun sejarah perjuangan di Bogor, ke 21 orang ini diberi nama Kelompok 21. Pada [[15 Oktober]] 1945, di Bogor dibentuk [[BKR]] resimen II membawahi empat batalion, yaitu Batalion I Depok, Batalion II Leuwiliang, Batalion III [[Cileungsi, Bogor|Cileungsi]], dan Batalion IV Kota Bogor.
 
Laskar Rakyat Depok (kelompok 21) yang dipimpin oleh Tole Iskandar langsung meleburkan diri ke dalam Batalion I Depok. Setelah batalion masuk di Depok, berpuluh-puluh pemuda Islam setempat mendaftarkan diri menjadi [[TKR]]. Mereka berkali-kali menyerang pasukan Inggris di [[Pasar Minggu, Jakarta Selatan|Pasar Minggu]] dan markas mereka di pabrik [[Sepatu Bata]] Jalan Kalibata Raya.
 
Saat terjadi pertempuran dengan tentara Belanda di perkebunan Cikasindu, Tole Iskandar gugur setelah sebelumnya melakukan penyerbuan di Bojonggede, melawan pasukan [[Gurkha]] di di Citayam dan Pabuaran. Begitu hebatnya perjuangan Tole Iskandar, hingga ketika ia gugur merupakan pukulan berat bagi rekan-rekannya yang bertahun-tahun berjuang bersama.
 
Pada tanggal [[16 Juni]] [[1946]], Depok diserang secara besar-besaran oleh tentara gabungan Inggris dan Belanda. Perjanjian Renville, [[17 Januari]] [[1948]], Jawa Barat harus dikosongkan pejuang. Pasukan Siliwangi hijrah ke [[Jawa Tengah]]. Untuk mengisi kekosongan pejuang di Jawa Barat, [[Jenderal Sudirman]] dan [[Tan Malaka]] berunding. Hasilnya, dibentuklah pasukan rahasia yaitu Devisi [[Bambu runcing|Bambu Runcing]] (BR) dibawah pimpinan Sutan Akbar (mahasiswa kedokteran yang mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia (API) bersama pemuda yang mondok di asrama menteng 31 sekarang Gedung Juang).
 
[[11 Oktober]] [[1949]], Bambu Runcing mengeluarkan maklumat yang menentang seluruh perundingan dengan Belanda karena menilai seluruh hasil dari perundingan-perundingan tersebut hanya merongrong dan menggerogoti cita-cita kemerdekaan. Mereka menginginkan kemerdekaan 100 %. Mau tak mau mereka berhadap-hadapan dengan republik yang masih seumur jagung. Seteru semakin menjadi-jadi menyusul pemberlakuan Restrukturisasi dan Rasionalisasi (RERA) di tubuh [[angkatan bersenjata]].
Baris 58:
[[Berkas:Jalan_Tole_Iskandar.jpg|thumb|280px|Jalan Tole Iskandar Kota Depok]]
 
Bagi masyarakat Depok, khususnya warga [[Depok Dua Tengah]] dan [[Depok Dua Timur]], Jalan Tole Iskandar bukan lah nama asing. Sebab, sebelum Jalan Merdeka dan Jalan Keadilan dibuka, Jalan Tole Iskandar merupakan akses satu-satunya menuju [[Stasiun Depok]] maupun Terminal Depok. Setiap hari jalan itu dilintasi warga untuk menuju ke [[Jakarta]]. Baik oleh pengguna jasa angkutan kereta api, bus, angkot, maupun kendaraan pribadi. Aneh rasanya kalau warga [[Depok Dua Tengah]] dan [[Depok Dua Timur]] tak kenal dengan nama jalan itu. Namun, bukan berarti setiap orang yang melintas di Jalan Tole Iskandar mahfum dengan si pemilik nama tersebut.
 
Apalagi dulu Jalan Proklamasi dan Jalan Merdeka di Depok II belum ada. Akses ke Jakarta saat itu hanya melalui Jalan Tole Iskandar menuju [[Jalan Raya Bogor]]. Bukan Jalan [[Margonda]] Raya seperti saat ini. Letak Jalan Tole Iskandar sekitar dua kilometer dari Jalan Pemuda melintasi jembatan Vanus peninggalan Belanda. Nama Tole Iskandar dikukuhkan dalam [[Peraturan Daerah (Indonesia)|Peraturan Daerah]] Nomor 1/1999 tentang hari jadi dan lambang Kota Depok. Dia salah satu pahlawan perjuangan Kota Depok selain Margana atau lebih dikenal dengan Margonda. <ref name="Kisah Tole Iskandar">[http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/04/15/mlam0y-kisah-margonda-dan-tole-iskandar Kisah Margonda dan Tole Iskandar] republika.co.id,Diakses 15 April 2013</ref>