D. Djajakusuma: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 106:
| footer = Djajakusuma mempromosikan modernisasi [[wayang wong|wayang orang]] (atas) dan revitalisasi [[lenong]].
}}
Setelah akhir masanya dengan Perfini, Djajakusuma kembali aktif dalam kesenian tradisional. Ia menyempatkan sebagian besar waktu untuk mempromosikan wayang. Pada 1967, ia
Pada 1967, ia menyutradarai sebuah film yang terinspirasi dari wayang berjudul ''Bimo Kroda'' pada Pantja Murti Film,{{sfn|Hoerip|1995|p=47}} yang menggunakan penggambaran [[Pandawa]] – orang-orang bersaudara dalam epik Hindu ''[[Mahabharata|Mahābhārata]]'' – untuk mewakili penculikan dan serangkaian pembunuhan lima jenderal tentara saat [[Gerakan 30 September]] pada 1965.{{sfn|Marselli 1987, Mengenang D. Djajakusuma}} Keterlibatan Djajakusuma dengan wayang berlanjut sampai awal 1970an; ia mengatur dua Wayang Mingguan, pada 1970 dan 1974, serta festival wayang nasional pada 1977.{{sfn|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}} Lebih lanjut, ia mendirikan dua kelompok [[wayang wong|wayang orang]], Jaya Budaya (1971) dan Bharata (1973), dengan harapan agar kebudayaan tersebut tetap bertahan dari arus modernisasi.{{sfn|Hoerip|1995|pp=32, 106}}
Djajakusuma membantu mempromosikan jenis-jenis kesenian seperti [[lenong]] dari [[suku Betawi]] dan [[ludruk]] dari [[suku Jawa]] selama beberapa tahun.<ref>{{harvnb|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}}; {{harvnb|Kadarjono|1970|p=25}}</ref> Secara khusus, ia memutuskan untuk merevitalisasikan lenong.{{efn|Sarjana kebudayaan Indonesia S. M. Ardan menganggap Djajakusuma sebagai pasukan penyetir di belakang revitalisasi lenong {{harv|Ardan 1987, Djaduk Djajakusuma}}, dan pakar biografi Satyagraha Hoerip mendedikasikan beberapa halaman untuk keterlibatan Djajakusuma pada lenong, sebuah tingkat detail yang dapat dilihat selain peran Djajakusuma dalam memodernisasikan wayang orang. Menurut Ardan, ia mengkredit Djajakusuma dengan revitalisasi; tidak seperti Ardan, ia menyatakan bahwa dua tokoh kebudayaan lainnya (Soemantri Sastro Suwondho dan Ardan) membantu menyelamatkan bentuk kesenian drama tersebut {{harv|Hoerip|1995|pp=69–73}}.}} Pada permulaan 1968, Djajakusuma tampil di televisi sebagai seorang advokat lenong, yang biasanya hanya terhadap di pedesaan dan terancam punah. Ia kemudian mengajarkan pengetahuan populer tentang kesenian serta memberi upah kepada pemain pertunjukan tersebut.{{sfn|Hoerip|1995|pp=69–71}} Pada 1970an, ''lenong'' ditampilkan di [[Taman Ismail Marzuki]] untuk memukaukan para penonton,<ref>{{harvnb|Ardan 1987, Djaduk Djajakusuma}}; {{harvnb|Hoerip|1995|p=71}}</ref> dan beberapa pemain lenong mendapatkan pengakuan utama pada industri film.{{sfn|Loven|2008|pp=78–79}}
Djajakusuma juga mempromosikan aktifitas kebudayaan non-tradisional yang modern dan luar negeri. Pada 1968, ia menjadi kepala Dewan Kesenian Jakarta, posisi tersebut ia pegang sampai 1977,{{sfn|Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma}} dan pada 1970, ia mengadakan festival musik [[keroncong]].{{sfn|Dharyono 1987, Selamat Jalan Djadug Djajakoesoema}} Berawal dari pendirian sebuah sekolah pada 1970, ia menjadi pengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, kemudian Institut Kesenian Jakarta atau IKJ sebagai pengajar sinematografi. Demi lebih mendalami dunia teater, pada 1977, ia pergi ke Jepang dan Tiongkok untuk mempelajari tradisi mereka.{{sfn|Hoerip|1995|p=69}} Ia kemudian mengenalkan para muridnya berbagai pertunjukan panggung, yang meliputi ''[[noh]]'' yang diadaptasi dari Jepang dan [[opera Tiongkok]];{{sfn|Hoerip|1995|p=32}} beberapa diantaranya ditampilkan di Taman Ismail Marzuki.{{sfn|JCG, Djaduk Djajakusuma}} Pada 1970an, Djajakusuma memegang berbagai posisi dalam organisasi-organisasi film, meliputi anggota Dewan Film (1974–76), anggota Badan Pengawas Penyiaran Radio dan TV (1976), dan anggota Biro Pengembangan Film Nasional (1977–78).{{sfn|Hoerip|1995|pp=106–107}}
|