Orang Peranakan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (- jaman + zaman)
Relly Komaruzaman (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 11:
}}
{{Contains Chinese text}}
{{Chinese|t=峇峇娘惹|s=峇峇娘惹|p=Bābā-niangrě|poj=Bā-bā-niû-liá|j=|msa=Peranakan/[[CinaTionghoa Benteng]]/[[Kiau-Seng]]}}
 
'''Orang Peranakan''', '''Tionghoa Peranakan''' (atau hanya "'''Peranakan'''", dan "'''Baba-Nyonya'''" di [[Malaysia]]) adalah istilah yang digunakan oleh para keturunan imigran [[bangsa CinaTionghoa]] yang sejak akhir [[abad ke-15]] dan [[abad ke-16]] telah berdomisili di kepulauan [[Nusantara]] (sekarang [[Indonesia]]), termasuk [[Malaya Britania]] (sekarang [[Malaysia Barat]] dan [[Singapura]]). Di beberapa wilayah di Nusantara sebutan lain juga digunakan untuk menyebut orang Tionghoa Peranakan, seperti "'''[[CinaTionghoa Benteng]]'''" (khusus [[Suku Manchu|Tionghoa-Manchu]] di [[Tangerang]]) dan "'''Kiau-Seng'''" (di era kolonial [[Hindia Belanda]]).
 
Anggota etnis ini di [[Malaka]], Malaysia menyebut diri mereka sebagai "''Baba-Nyonya''". "Baba" adalah istilah sebutan untuk laki-lakinya dan "Nyonya" istilah untuk wanitanya. Sebutan ini berlaku terutama untuk populasi etnis Tionghoa dari [[Negeri-Negeri Selat]] di [[Malaya Britania|Malaya]] kala era kolonial, [[Pulau Jawa]] yang kala itu dikuasai Belanda, dan lokasi lainnya, yang telah mengadopsi kebudayaan [[Nusantara]] - baik sebagian atau seluruhnya - dan menjadi lebih berasimilasi dengan masyarakat [[pribumi]] setempat. Banyak etnis ini yang merupakan kaum elit [[Singapura]], lebih setia kepada Inggris daripada ChinaTiongkok. Sebagian besar telah tinggal selama beberapa generasi di sepanjang [[selat Malaka]] dan sebagian besar telah memiliki garis keturunan dari perkawinan dengan orang Nusantara pribumi dan Melayu. Etnis ''Peranakan'' biasanya merupakan pedagang, perantara antara Inggris dan ChinaTiongkok, atau ChinaTionghoa dan Melayu, atau juga sebaliknya karena mereka dididik dalam sistem Inggris. Karena itu, orang ''Peranakan'' hampir selalu memiliki kemampuan untuk berbicara dalam dua bahasa atau lebih. Dalam generasi selanjutnya, banyak yang telah kehilangan kemampuan untuk berbicara [[rumpun bahasa ChinaTionghoa]] karena mereka telah berasimilasi dengan budaya [[Semenanjung Malaya]] dan telah berbicara lancar [[Bahasa Melayu]] sebagai bahasa pertama atau kedua.
 
Istilah "''Peranakan''" paling sering digunakan di kalangan etnis Tionghoa bagi orang keturunan Tionghoa, di Singapura dan Malaysia orang keturunan Tionghoa ini dikenal sebagai '''Tionghoa Selat''' ({{lang|zh-Hant|土生華人}}; karena domisili mereka di [[Negeri-Negeri Selat]]), namun ada juga masyarakat ''Peranakan'' lain yang relatif kecil, seperti India Hindu Peranakan ([[Chetti]]), India Muslim Peranakan ([[Jawi Peranakan]] atau Jawi "''Pekan''") ([[Abjad Jawi]] menjadi tulisan Arab yang telah di-Jawa-kan,<ref name="ReferenceA">Sadaoh Nasution, ''Kamus Umum Lengkap: Inggris-Indonesia Indonesia-Inggris'', University of California: 1989: 562 pages</ref> "''Pekan''" adalah istilah sehari-hari yang telah mengalami kontraksi pengucapan dari "''Peranakan''"<ref name="ReferenceA"/>) dan Peranakan Eurasia ([[Bangsa Kristang|Kristang]]<ref name="ReferenceA"/>) (Kristang = Kristen).<ref name="ReferenceA"/><ref>http://www.peranakanmuseum.sg/themuseum/abtperanakans.asp</ref> Kelompok ini memiliki hubungan paralel dengan orang [[Hokkian Kamboja]], yang merupakan keturunan [[Orang Hokkian|Tionghoa Hoklo]]. Mereka mempertahankan sebagian budaya mereka meskipun bahasa asli mereka secara bertahap menghilang beberapa generasi setelah bermukim.<ref>[http://books.google.com/books?id=MWgKAQAAIAAJ&q=peranakan+in+cambodia&dq=peranakan+in+cambodia&lr=&ei=c5NuS_7hFY7glQSwlaSuDQ&cd=4 The Chinese in Cambodia By William E. Willmott]</ref> <!-- [[YANG Jin Fong]] D.Mus., Asisten Profesor dari [[National Cheng Kung University]], yang mengatakan, Bā-bā adalah pengucapan Taiwan untuk "Ayah", dan Niû-liá adalah pengucapan Taiwan untuk "Ibu". Niû-liá adalah dialek rendah, hanya sedikit orang tua yang menggunakannya, di Taiwan.-->
Baris 35:
''Baba Nyonya'' adalah subkelompok dalam masyarakat Tionghoa, dan adalah keturunan serikat Sino-pribumi (Tionghoa asli) di Melaka, Pinang, dan Indonesia. Adalah hal yang biasa bagi pedagang Tionghoa awal di Nusantara zaman dahulu untuk mengambil perempuan pribumi Nusantara dari Semenanjung Malaya / Sumatera / Jawa sebagai istri atau selir,<ref name="ReferenceB">Joo Ee Khoo; ''The Straits Chinese: a Cultural History'', Pepin Press,: 1996 ISBN 90-5496-008-6: 288 pages</ref> akibatnya ''Baba Nyonya'' memiliki campuran ciri-ciri budaya Tionghoa dan Nusantara.<ref name="ReferenceB"/>
 
Catatan tertulis dari awal abad ke-19 dan abad ke-20 menunjukkan bahwa pria Peranakan biasanya mengambil pengantin dari dalam komunitas ''Peranakan'' setempat. Keluarga Peranakan kadang-kadang mengimpor pengantin wanita dari ChinaTiongkok dan mengirim putri mereka ke ChinaTiongkok untuk mencari suami.
 
Beberapa sumber mengklaim bahwa Peranakan awal telah menikah-campur dengan penduduk Nusantara pribumi setempat; klaim ini mungkin berasal dari kenyataan bahwa beberapa pegawai yang menetap di Bukit CinaTionghoa yang melakukan perjalanan ke Malaka dengan Laksamana dari Yunnan adalah Muslim Tionghoa. Namun pakar lainnya, melihat kurangnya kemiripan fisik, sehingga mereka berpendapat bahwa etnis Tionghoa Peranakan telah hampir tidak bercampur dengan Pribumi Nusantara. Satu kasus penting untuk mendukung klaim tentang percampuran tersebut adalah dari masyarakat Peranakan di [[Tangerang]], Indonesia, yang dikenal sebagai ''[[CinaTionghoa Benteng]]''. Penampilan fisik mereka adalah [[Pribumi]] Nusantara, namun mereka mematuhi adat istiadat Peranakan, dan kebanyakan dari mereka adalah penganut [[Buddhisme]]. Beberapa Peranakan membedakan antara "''Baba-Peranakan''" (Peranakan dengan keturunan Melayu Semenanjung) dari "''Peranakan''" (mereka yang tanpa keturunan Melayu Semenanjung).
 
==Bahasa==
Baris 47:
==Sejarah==
[[berkas:Babas from the Straits Settlements, Shoemaker (Opium Eater) from Singapore.JPG|thumb|180px|right|Orang Peranakan di [[Negeri-Negeri Selat]] zaman dahulu.]]
Pada abad ke-15, beberapa negara-kota kecil di [[Semenanjung Malaya]] sering membayar upeti kepada berbagai kerajaan seperti [[Kaisar CinaTiongkok|Kekaisaran CinaTiongkok]] (sekarang [[ChinaRepublik Rakyat Tiongkok]]) dan [[Kerajaan Siam]] (sekarang [[Thailand]]). Hubungan dekat dengan Tiongkok dimulai pada awal abad ke-15 pada masa pemerintahan [[Parameswara]] ketika Laksamana [[Cheng Ho]], utusan Kaisar CinaTionghoa [[Yongle]], mengunjungi [[Malaka]] dan [[Jawa]]. Terdapat legenda bahwa di [[1459]] Masehi, Kaisar Tiongkok mengirimkan seorang putri, [[Hang Li Po]], kepada Sultan Malaka sebagai tanda penghargaan atas penghormatannya. Para bangsawan (500 putra menteri) dan pegawai yang menemani putri tersebut awalnya menetap di [[Bukit CinaTionghoa]] dan akhirnya berkembang menjadi kelas "Tionghoa Selat" (Tionghoa kelahiran [[Selat Malaka]]), namun legenda ini tidak didukung adanya bukti dari catatan Kekaisaran CinaTionghoa.
 
Kala itu karena kesulitan ekonomi di daratan Tiongkok, gelombang imigran datang dari negeri Tiongkok dan menetap di [[Semenanjung Malaya]] (sekarang [[Malaysia Barat]]), [[Pulau Ujong]] (sekarang [[Singapura]]), dan kepulauan [[Nusantara]] (sekarang [[Indonesia]]). Beberapa dari mereka kemudian berasimilasi dengan adat istiadat lokal, sementara masih mempertahankan beberapa tingkat budaya nenek moyang mereka, mereka kemudian juga dikenal sebagai kaum "Peranakan". Peranakan biasanya memiliki tingkatan darah [[pribumi]] Nusantara tertentu, yang dapat dihubungkan dengan fakta bahwa selama kekaisaran CinaTionghoa, sebagian besar imigran dari Tiongkok adalah laki-laki yang kemudian menikah dengan wanita pribumi setempat. Orang Peranakan di [[Tangerang]], Indonesia yang dikenal dengan sebutan [[CinaTionghoa Benteng]], mempunyai tingkatan darah pribumi yang tinggi sehingga mereka hampir tidak bisa dibedakan secara fisik dari penduduk pribumi. Penampilan orang Peranakan di Indonesia dapat bervariasi, antara berkulit sangat terang sampai berwarna kulit cokelat tembaga.
 
Pria Tionghoa di [[Malaka]] kala itu menikah dan menghasilkan keturunan dengan wanita-wanita budak dari [[orang Jawa|Jawa]], [[orang Batak|Batak]] dan [[orang Bali|Bali]]. Keturunan mereka pindah ke [[Penang]] dan Singapura selama [[Malaya Britania|pemerintahan kolonial Inggris]].<ref>Rodgers (1996), p. 57 {{Google books|YFIGVqZ9ZKsC|Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese|page=57}}</ref> Orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara era kolonial juga memperoleh istri wanita budak dari [[suku Nias|Nias]]. Orang-orang Tionghoa di Singapura dan Penang disediakan istri wanita budak dari [[suku Bugis|Bugis]], Batak, dan Bali.<ref>Klein (1993), p. 71 {{Google books|98Sep7MMVs0C|Breaking the Chains: Slavery, Bondage, and Emancipation in Modern Africa and Asia|page=71}}</ref> Inggris kala itu memperbolehkan perdagangan perempuan budak sebagai istri karena hal ini meningkatkan standar hidup bagi budak-budak tersebut dan memberikan kepuasan kepada penduduk laki-laki.<ref>Klein (1993), p. 72 {{Google books|98Sep7MMVs0C|Breaking the Chains: Slavery, Bondage, and Emancipation in Modern Africa and Asia|page=72}}</ref> Penggunaan budak perempuan sebagai istri oleh orang Tionghoa adalah sangat umum kala itu.<ref>Hussin (2007), p. 177 {{Google books|TRrd8EBOqxwC|The Chinese State at the Borders|page=177}}</ref>
 
<blockquote>Tidak bisa dipungkiri, bagaimanapun, bahwa keberadaan perbudakan di kuartal ini, pada tahun-tahun sebelumnya, adalah keuntungan besar untuk pengadaan populasi wanita di [[Pulau Pinang|Pinang]]. Dari [[Kabupaten Asahan|Assaban]] saja, sebelumnya ada kadang-kadang 300 budak, terutama perempuan, diekspor ke Malaka dan Pinang dalam setahun. Para perempuan itu menetap nyaman sebagai istri dari pedagang CinaTionghoa kaya, dan hidup dalam kenyamanan paling tinggi. Keluarga mereka melekatkan pria-pria itu dengan tanah mereka, dan banyak yang tidak pernah berpikir untuk kembali ke negara asal mereka. Populasi perempuan di Pinang masih jauh dari setara dengan [populasi] laki-laki; dan karena itu penghapusan perbudakan, telah menjadi pengorbanan besar untuk [[filantropi]] dan [[kemanusiaan]]. Karena kondisi para budak yang dibawa ke pemukiman Inggris, membaik secara materiil, dan karena mereka memberikan kontribusi begitu banyak untuk kebahagiaan penduduk laki-laki, dan kesejahteraan umum dari pemukiman, membuat saya untuk berpikir (meskipun saya membenci prinsip perbudakan seperti dengan siapa pun), bahwa kelanjutan sistem ini di sini, di bawah peraturan bijak yang berlaku untuk mencegah penyalahgunaan, tidak dapat telah menghasilkan banyak kejahatan. Perbudakan macam ini yang memang ada di pemukiman Inggris di kuartal ini, tidak ada yang salah dengannya kecuali namanya; karena kondisi para budak yang dibawa dari negara-negara sekitar, selalu terbantu dengan perubahan, mereka diberi makanan dan pakaian dengan baik; para perempuan menjadi istri orang CinaTionghoa yang terhormat; dan orang-orang yang berada di tingkat paling tidak rajin, mudah memperbaiki diri, dan banyak yang menjadi kaya. Kejahatan oleh majikan telah dihukum; dan, singkatnya, saya tidak tahu ras orang-orang apapun yang telah, dan memiliki setiap alasan untuk, sangat bahagia dan puas sebagai budak sebelumnya, dan debitur seperti yang disebut sekarang, yang datang dari pantai timur Sumatera dan tempat-tempat lain.<ref>Anderson (1826), p. 298 {{Google books|flvqWUGVD58C|Mission to the east coast of Sumatra: in M.DCCC.XXIII, di bawah pengarahan Pemerintah Pulau ''Prince of Wales'': termasuk sketsa historis dan deskriptif dari negara tersebut, kesaksian tentang perdagangan, populasi, dan adat penghuninya, dan sebuah kunjungan ke negeri kanibal Batta di dalamnya|page=298}}</ref> <ref>Anderson (1826), p. 299 {{Google books|flvqWUGVD58C|Misi ke pantai timur Sumatra: di M.DCCC.XXIII, di bawah pengarahan dari Pemerintah Pulau ''Prince of Wales'': termasuk sketsa historis dan deskriptif dari negara tersebut, kesaksian tentang perdagangan, populasi, dan adat penghuninya, dan sebuah kunjungan ke negeri kanibal Batta di dalamnya|page=299}}</ref>
</blockquote>
John Anderson - Agen Pemerintah Pulau ''Prince of Wales'' (nama kolonial Pulau Pinang / [[Penang]])
Baris 59:
Orang Peranakan sendiri kemudian bermigrasi di antara Malaysia, Indonesia dan Singapura, yang mengakibatkan tingginya tingkat kesamaan adat dan budaya di antara komunitas Peranakan di negara-negara tersebut. Alasan ekonomi atau pendidikan biasanya mendorong migrasi Peranakan di antara wilayah Nusantara (Malaysia, Indonesia dan Singapura), [[bahasa kreol]] mereka sangat dekat dengan bahasa asli negara-negara tersebut, yang membuat adaptasi mereka jauh lebih mudah.
 
Walaupun tidak sama, dalam perkembangannya karena alasan politik orang Peranakan dan Tionghoa Nusantara lainnya dikelompokkan sebagai satu kelompok etnis, yaitu [[Tionghoa]]. [[Tionghoa Singapura]] dan [[Tionghoa Malaysia]] menjadi semakin lebih menunjukkan budaya CinaTionghoa daratan, sedangkan [[Tionghoa Indonesia]] menjadi lebih terasimilasi dengan budaya Nusantara dalam budaya mereka. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan adanya "Kebijakan [[Bumiputera]]" dan Sekolah Kebangsaan CinaTionghoa di Malaysia; "Kebijakan Bahasa Ibu" ("''Mother Tongue Policy''") di Singapura; dan adanya larangan terhadap kesenian dan tradisi Tionghoa selama era administrasi [[Soeharto]] di Indonesia.
 
Di masa lalu orang Peranakan dijunjung tinggi oleh orang Pribumi Melayu. Beberapa orang Melayu di masa lalu mungkin telah mengambil kata "''Baba''", merujuk pada lelaki Tionghoa, dan memasukkannya ke dalam nama mereka, ketika nama ini masih digunakan.<ref>[http://www.sailanmuslim.com/news/wp-content/uploads/names-and-surnames-among-the-malays.pdf Nama dan nama keluarga Melayu]</ref><ref>[http://freedownload.is/pdf/names-and-surnames-among-the-malays-1495749.html Nama dan nama keluarga Melayu]</ref><ref>{{cite book |accessdate=14 December 2011|quote=|url=http://books.google.com/books?id=VmMVAAAACAAJ&dq=Cultural+Melaka&hl=en&sa=X&ei=u6fvTtG0OeLm0QHW3-DvCQ&ved=0CDUQ6AEwAA|title=Cultural Melaka|author=Donna Jeremiah|edition=|volume=|series= |year=2002 |location= |publisher=IKSEP|language= |isbn=983-2600-01-4|page= |pages= }}</ref> Hal ini tidak diikuti oleh generasi muda Melayu, dan [[Tionghoa Malaysia]] saat ini tidak memiliki status atau kehormatan yang sama seperti yang dimiliki orang Peranakan kala itu.
Baris 81:
|accessdate = 19 January 2013
}}
</ref> ''Kebaya encim'' biasanya dipakai oleh wanita Tionghoa di kota-kota pesisir Jawa yang mempunyai permukiman Tionghoa yang cukup besar. seperti [[Semarang]], [[Lasem]], [[Tuban]], [[Surabaya]], [[Pekalongan]] dan [[Cirebon]]. Busana kebaya ini berbeda dari kebaya Jawa dengan bordiran yang lebih kecil dan halus-nya, kain ringan dan warna yang lebih cerah. Mereka juga mengembangkan pola batik mereka sendiri, yang menggabungkan simbol dari ChinaTiongkok. ''Kebaya encim'' cocok dipakai dengan kain [[batik|batik Jawa pesisiran]] berwarna cerah, yang menggunakan simbol dan motif dari ChinaTiongkok, seperti [[naga]], [[feniks]], [[peony]] dan [[teratai]]. Para ''Baba'' biasanya akan mengenakan baju [[lokchuan]] (yang merupakan busana penuh orang-orang Tionghoa), namun generasi muda memakai hanya bagian atasannya yang merupakan jaket sutra lengan panjang dengan kerah Tionghoa, atau [[kemeja batik]].
 
===Agama===
[[berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Schilderingen in het voorportaal van de Chinese tempel te Makassar. TMnr 60008243.jpg|thumb|right|200px|[[Klenteng]] di [[Makassar]], antara 1900-1920.]]
Peranakan biasanya berkeyakinan Tionghoa: [[Taoisme]], [[Konfusianisme]] dan [[Buddhisme]] ChinaTiongkok ([[Mahayana]]), merayakan [[Tahun Baru Imlek]] dan [[Festival Lampion]], sembari mengadopsi adat istiadat tanah yang mereka tinggali, dan adat istiadat orang-orang penguasa kolonial. Telah ditemukan jejak-jejak kebudayaan Portugis, Belanda, Inggris, Melayu dan pengaruh Nusantara (Indonesia) dalam kebudayaan ''Baba'' Melayu.<ref name="ReferenceB"/> Sejumlah keluarga ''Baba Nyonya'' zaman dahulu adalah, dan masih merupakan penganut agama [[Katolik]]. Namun dalam masyarakat modern, banyak masyarakat Peranakan muda telah memeluk agama [[Kristen Protestan]]. Terutama di Indonesia, negara dengan jumlah Peranakan terbesar di dunia, di mana sebagian besar orang Tionghoa beragama Kristen. Namun terdapat pula kaum Peranakan yang memeluk agama [[Islam]] tersebar di Indonesia dan Malaysia.
 
===Masakan===
Baris 101:
Adalah hal biasa bagi pedagang Tionghoa awal dahulu untuk mengambil perempuan Melayu dari Semenanjung Malaya atau Sumatera sebagai istri atau selir.<ref name="ReferenceB"/> Akibatnya, Peranakan memiliki campuran yang sinergis dari ciri-ciri budaya Melayu-Tionghoa.<ref name="ReferenceB"/>
 
Catatan tertulis dari abad ke-19 dan awal abad ke-20 menunjukkan bahwa pria Peranakan biasanya mengambil pengantin dari dalam komunitas Peranakan setempat. Keluarga Peranakan kadang-kadang mendatangkan pengantin wanita dari ChinaTiongkok dan mengirim putri mereka ke ChinaTiongkok untuk mencari suami.
 
Perkawinan dalam masyarakat sama dan berstatus serupa adalah norma bagi Peranakan dahulu. Orang kaya akan dipersiapkan untuk menikah dengan ''chin choay'': Atau pernikahan matrilokal di mana suami pindah ke dalam keluarga istri.<ref name="ReferenceB"/>
Baris 117:
 
===Pertalian politik===
[[berkas:StraitsChinese Pottery Phoenix.JPG|thumb|Replika nampan teh enamel porselen dengan "''[[feniks|fenghuang]]''" (Feniks ChinaTiongkok) tradisional Peranakan.]]
 
Kaum Peranakan kala itu secara finansial lebih makmur daripada etnis Tionghoa [[totok]] kelahiran ChinaTiongkok. Kekayaan keluarga dan koneksi memungkinkan mereka untuk membentuk golongan elit Tionghoa-Selat, yang ketat kesetiaannya kepada Kerajaan Inggris atau Belanda.<ref name="ReferenceB"/> Karena kesetiaan yang ketat tersebut, kala itu kebanyakan dari mereka tidak mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia atau Malaysia sebelum paruh pertama abad ke-20.<ref name="ReferenceB"/>
 
Pada pertengahan abad kedua puluh, kebanyakan Peranakan adalah orang berpendidikan Inggris atau Belanda, sebagai akibat dari penjajahan bangsa Belanda di [[Hindia Belanda]] (Indonesia sekarang) dan Inggris di [[Malaya]]. Peranakan kala itu mudah memeluk budaya dan pendidikan Belanda atau Inggris sebagai sarana untuk memajukan perekonomian mereka, sehingga posisi-posisi administrasi dan pelayanan sipil sering diisi oleh Tionghoa Peranakan terkemuka. Banyak masyarakat Peranakan yang kemudian memilih untuk berpindah agama ke Kekristenan karena prestise yang dirasakan dan pilihan untuk kedekatan dengan Belanda dan Inggris.<ref name="ReferenceB"/>
 
Di [[Malaya Britania]], komunitas Peranakan kemudian menjadi sangat berpengaruh di Malaka dan Singapura dan juga dikenal sebagai '''CinaTionghoa Raja''' karena kesetiaan mereka kepada [[Kerajaan Inggris]]. Karena interaksi mereka dengan budaya dan bahasa yang berbeda, sebagian besar Peranakan adalah (dan masih) menguasai tiga bahasa, mampu berkomunikasi dalam [[bahasa Tionghoa lisan]], [[bahasa Melayu|Melayu]], dan [[bahasa Inggris|Inggris]] (atau [[bahasa Belanda|Belanda]] di Hindia-Belanda). Profesi mereka umumnya adalah sebagai pedagang, penjual, dan perantara umum antara ChinaTionghoa, Malaya dan bangsa Barat; di mana mereka sangat dihargai secara khusus oleh Belanda dan Inggris karena hal ini.
 
Banyak hal mulai berubah pada paruh pertama abad ke-20, dengan sebagian Peranakan mulai mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia dan Malaysia. Di Hindia-Belanda, tiga komunitas Peranakan mulai bergabung dan menjadi aktif dalam kancah politik perjuangan kemerdekaan. Kaum Peranakan juga adalah salah satu pelopor dari surat kabar Indonesia. Dalam perusahaan penerbitan yang masih muda, mereka menerbitkan ide-ide politik mereka sendiri bersama dengan kontribusi dari para penulis Indonesia lainnya. Pada bulan November 1928, ''[[Sin Po]]'' mingguan berbahasa Tionghoa (China[[Hanzi tradisional]]: 新報; pinyin: xīn bào) adalah makalah pertama yang secara terbuka mempublikasikan naskah lagu kebangsaan ''[[Indonesia Raya]]''. Mereka yang terlibat dalam kegiatan seperti ini dihadapkan pada risiko dipenjara atau bahkan kehilangan nyawa mereka, karena pemerintah kolonial Belanda melarang publikasi dan kegiatan nasionalis.
 
Kaum Peranakan dan Tionghoa juga aktif dalam mendukung gerakan kemerdekaan selama [[Masa Pendudukan Jepang]] tahun 1940-an, ketika "Asosiasi Tionghoa Perantauan", atau asosiasi penduduk keturunan Tionghoa (ChinaHanzi tradisional: 華僑中會; pinyin: Huáqiáo Zhōnghuì) dilarang oleh penguasa militer Jepang. Beberapa aktivis pro-kemerdekaan Indonesia yang terkenal adalah [[Siauw Giok Tjhan]], [[Liem Koen Hian]], dan [[Yap Tjwan Bing]], anggota [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia]] (PPKI).
 
==Status saat ini ==
Budaya Peranakan telah mulai menghilang di Malaysia dan Singapura. Tanpa dukungan kolonial Inggris terhadap netralitas ras mereka, kebijakan pemerintah di kedua negara setelah kemerdekaan dari Inggris telah mengakibatkan asimilasi budaya Peranakan kembali ke aliran umum budaya Tionghoa. Singapura kemudian mengklasifikasikan Peranakan sebagai etnis Tionghoa, sehingga mereka menerima instruksi formal dalam [[bahasa Mandarin]] alih-alih Melayu sebagai bahasa kedua (sesuai dengan "Kebijakan [[Bahasa Ibu]]"). Di Malaysia, standarisasi semua Melayu ke dalam [[Bahasa Melayu]] - yang diperuntukkan untuk semua kelompok etnis - telah menyebabkan hilangnya karakteristik unik dari para ''Baba Melayu''.
 
[[File: CinaTionghoa Benteng.JPG|thumb|left|Upacara pernikahan massal adat [[CinaTionghoa Benteng]] di Jakarta, 2012.]]
 
Di Indonesia, budaya Peranakan kehilangan popularitas dibandingkan [[budaya Barat]] modern, namun dalam beberapa tingkat kaum Peranakan mencoba untuk mempertahankan bahasa, masakan, dan adat istiadat mereka. Peranakan muda masih berbicara [[bahasa kreol]] mereka, meskipun banyak perempuan muda Peranakan tidak memakai ''kebaya''. Pernikahan biasanya mengikuti budaya barat karena kebiasaan tradisional Peranakan kehilangan popularitas. Tercatat hanya tiga komunitas peranakan yang masih menjunjung tinggi adat pernikahan tradisional Peranakan, yaitu: [[Tangerang]] (oleh orang [[CinaTionghoa Benteng]]), Peranakan Makassar dan Peranakan Padang. Dari tiga komunitas tersebut, orang CinaTionghoa Benteng adalah yang paling patuh terhadap budaya Peranakan, namun jumlah mereka semakin berkurang.<ref name="Pernikahan Peranakan">{{cite web |url=http://nasional.kompas.com/read/2008/02/05/18160273/Imlek.Prosesi.Pernikahan.China.Peranakan.Hanya.Bertahan.di.Tiga.Kota |title=Imlek, Prosesi Pernikahan China Peranakan Hanya Bertahan di Tiga Kota |deadurl=no |accessdate=10 July 2012}}</ref>
 
Orang CinaTionghoa Benteng biasanya hidup sebagai golongan ekonomi bawah, banyak dari mereka mencari peluang di bidang lain. Beberapa organisasi mencoba untuk meringankan beban hidup mereka.<ref name="CinaTionghoa Benteng Get Free Health Service">{{cite web |url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/15/cinaTionghoa-benteng-get-free-health-service.html |title=CinaTionghoa Benteng get free health service |deadurl=no |accessdate=10 July 2012}}</ref> Hingga Mei 2012, sekitar 108 keluarga CinaTionghoa Benteng terancam tergusur dari rumah tradisional mereka. Alasan dari pemerintah Tangerang adalah bahwa daerah tersebut sebenarnya dimaksudkan sebagai lahan hijau untuk kota. Hal ini menimbulkan masalah karena kebanyakan dari mereka adalah orang-orang berpenghasilan rendah dan tidak tahu di mana untuk berpindah, sedangkan pemerintah juga tidak memberikan uang kompensasi yang cukup untuk membeli rumah baru. Beberapa upaya penggusuran di 2010 dan 2011 yang berakhir dengan kekerasan, telah menyebabkan trauma bagi mereka.<ref name="CinaTionghoa Benteng Vows Fight Upcoming Eviction">{{cite web |url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/19/cinaTionghoa-benteng-vows-fight-upcoming-eviction.html |title='CinaTionghoa Benteng' vows to fight upcoming eviction |deadurl=no |accessdate=10 July 2012}}</ref>
 
Migrasi dari banyak keluarga Peranakan, khususnya yang berkecukupan, telah menyebabkan terciptanya diaspora Peranakan kecil di negara-negara tetangga, dari [[Vietnam]]<ref name="Vietnamese diaspora">{{cite web |url=http://www.colorq.org/MeltingPot/Asia/MalayChinese.htm |title=Chinese/Native intermarriage in Austronesian Asia |publisher=Color Q World |accessdate=10 July 2012}}</ref> ke [[Australia]].<ref name="Australian diaspora">{{cite web |url=http://www.theswanker.com/macammacam/2005/04/babas_and_nonya.html |title=babas_and_nonya.html |publisher=theswanker.com}}{{dead link|date=July 2012}}</ref> Namun, komunitas ini sangat kecil, dan dengan meningkatnya penggunaan berbagai bahasa di negara masing-masing, penggunaan bahasa Peranakan Melayu atau ''Baba Melayu'' telah semakin tidak terlihat.
Baris 144:
 
==Dalam budaya populer==
Seiring bergulirnya [[Sejarah Indonesia (1998-sekarang)|Era Reformasi]] di [[Indonesia]] dan dihilangkannya pelarangan terhadap kebudayaan Tionghoa, pada tahun 1999, penulis Indonesia [[Remy Sylado]] merilis sebuah novel berjudul ''[[Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa]]'' yang mengangkat kebudayaan dan sejarah orang Peranakan di Indonesia. Novel ini diadaptasi menjadi sebuah film berjudul ''[[Ca-bau-kan]]'' oleh [[Nia Dinata]] pada tahun 2002. Sebuah novel yang mengangkat sejarah dan kebudayaan orang [[CinaTionghoa Benteng]] berjudul ''[[Bonsai: Hikayat Satu Keluarga CinaTionghoa Benteng]]'' yang ditulis [[Pralampita Lembahmata]] diterbitkan oleh [[Gramedia]] pada 2011.
 
==Tokoh-tokoh peranakan==