Wikipedia:Bak pasir: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 4:
----
Cerita
Kuasa Menurut Beberapa Filsuf
Konsep kuasa diartikan dan digunakan secara berbeda-beda oleh setiap orang. Filsuf-filsuf Barat, sekurang-kurangnya sejak Plato yang menyatakan kepada Thrasymachus bahwa “keadilan ialah kepentingan orang yang lebih kuat” dalam karyanya The Republic, termasuk juga Niccolo Machiavelli, Thomas Hobbes dan pemikir-pemikir Italia awal abad keduapuluh yang digelari Neo-Machiavellian, telah menekankan pentingnya memaksa, menekan (force) dalam setiap laku politik. Ajektif Machiavellian pun terlanjur dimaknai ‘licik’ dan ‘culas’.
 
Tak ayal, Karl Marx dan Max Weber adalah tokoh yang terkadang dianggap begitu saja sebagai ‘pendukung’ pemikiran bahwa kuasa adalah tindakan mendominasi (herrschaft), meskipun gagasan mereka mengenai kuasa tidaklah sederhana. Definisi Weber tentang kuasa, yakni sebagai kemampuan untuk, dalam relasi sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, adalah definisi yang barangkali paling diterima luas di kalangan sosiolog, dan seringkali diposisikan sebagai canon para penganut mazhab realisme politik.
 
Machiavelli, tokoh yang paling terkenal, atau setidaknya dikenal karena pemikiran ‘negatif’-nya soal kuasa dan politik, sebetulnya yang terutama menginspirasikan kaum realis tentang bagaimana politik dijalankan. Ia menyatakan perlunya dicintai dan juga ditakuti untuk mempertahankan kuasa para pangeran, sang penguasa. Akan tetapi, seperti yang ia tulis dalam Il Principe atau Sang Pangeran (1513), ia lebih menekankan bahwa ditakuti adalah yang lebih esensial bagi keberlanjutan kekuasaan.
 
Thomas Hobbes, sementara itu, mendefinisikan kuasa sebagai “sarana-sarana yang dimiliki seseorang sekarang ini untuk keinginan-keinginannya yang nyata di masa mendatang.” Sedangkan Bertrand Russel mengartikan kuasa sebagai “pembuatan dampak-dampak yang diinginkan.” Baik Hobbes maupun Russel membatasi definisinya pada kuasa yang dimiliki manusia, dan, karenanya, relevan bagi ilmu-ilmu sosial.
 
Michel Foucault adalah filsuf yang mengkritik pandangan arus utama tentang kuasa. Ia tidak memandang kuasa sebagai suatu milik yang bisa dikuasai dan digunakan oleh kelas tertentu untuk mendominasi dan menindas kelas yang lain, seperti dikatakan Marx. Bukan pula kemampuan subyektif untuk mempengaruhi orang lain seperti pandangan Weber. Kuasa tidak sekadar terkonstentrasi di tangan para penguasa struktur-struktur yang menonjol seperti negara, perusahaan dan organisasi agama.
 
Dalam The Will to Know: History of Sexuality I (1976) Foucault memaknai kuasa sebagai “nama yang diberikan kepada situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu.” Dalam hubungan itu, kata Foucault, tentu saja ada pihak yang di atas dan di bawah, di pusat dan di pinggir, di dalam dan di luar. Tetapi ini tidak berarti kuasa terletak di atas, di pusat, dan di dalam. Sebaliknya, kuasa menyebar, terpencar, dan hadir di mana-mana seperti jaring yang menjerat kita semua.
 
Menurut Foucault, Marx dan Weber bertanggung jawab atas ide bahwa kuasa merupakan dominasi. Apa yang dilakukan gerakan sosial baru memunculkan fakta bahwa perempuan, buruh, kaum homoseksual, suku-suku minoritas dan kaum terjajah pada akhirnya memberontak. Kuasa dari bawah ke atas dengan demikian juga sama dengan yang dari atas ke bawah. Kuasa yang dominan tak punya pilihan lain kecuali mengatur praktek-praktek seks.
 
Wajah-wajah Kuasa
Kata-kata kunci yang didapat dari beragam pandangan para filsuf di atas, meski akan sangat menyederhanakan dan bahkan mendistorsi, ialah bahwa kuasa merupakan kemampuan, strategi setiap orang, dalam konteks relasi sosial, yang kerapkali sebagai upaya ‘mempengaruhi’ orang lain.
 
Upaya mempengaruhi setidak-tidaknya terjadi dalam tiga cara yang menjadikan kuasa memiliki tiga ‘wajah’. Pertama ialah kuasa sebagai pembuatan keputusan. Wajah kuasa ini meliputi tindakan-tindakan ‘telanjang’, tampak, atau sadar, yang dalam beberapa cara mempengaruhi isi suatu keputusan. Wajah kuasa seperti ini dibahas dalam buku Robert A Dahl, Who Governs? Democracy and Power in an American City (1961). Dalam buku tersebut Dahl mengidentifikasi pelaku-pelaku yang memiliki kuasa dengan cara menganalisa keputusan-keputusan yang dibuat sejalan dengan pilihan-pilihan yang sudah diketahui dari para pelaku yang terlibat dalam pembuatan keputusan itu.
 
Dalam hal bagaimana mempengaruhi satu keputusan, Keith Boulding dalam Three Faces of Power (1989) membahas dengan membedakan antara penggunaan pemaksaan atau intimidasi (the stick), pertukaran produktif yang saling menguntungkan (the deal), dan penciptaan kewajiban, loyalitas dan komitmen (the kiss).
 
Sementara itu, wajah kedua kuasa ialah sebagai penyusunan agenda. Wajah ini, seperti dinyatakan oleh Peter Bachrach dan Morton S Baratz dalam “The Two Faces of Power” (1962), ialah kemampuan mencegah dibuatnya suatu keputasan yang akibatnya ialah ‘tiadanya pembuatan keputusan’. Hal ini mencakup kemampuan membuat atau mengendalikan agenda politik, dengannya mencegah suatu isu atau proposal kebijakan terakses publik dan menjadi wacana publik.
 
Misalnya, para pengusaha mungkin menggunakan kuasa mereka baik dengan berkampanye untuk menolak undang-undang mengenai perlindungan buruh yang diajukan (wajah pertama), dan dengan melobi partai-partai dan para politisi untuk mencegah masalah hak-hak buruh tersebut didiskusikan secara publik (wajah kedua). Wajah kedua kuasa selalu beroperasi di wilayah yang tak tampak.
 
Wajah ketiga kuasa ialah sebagai kendali pemikiran. Wajah kuasa ini ialah kemampuan mempengaruhi orang lain dengan mempengaruhi apa yang ia pikirkan, yang ia mau, atau butuhkan. Kuasa dengan wajah ini diekspresikan sebagai indoktrinasi ideologi atau kontrol psikologis. Satu contoh tentang hal ini ialah kemampuan industri periklanan, atas pesanan pengusaha, untuk menggeser tekanan undang-undang perlindungan konsumen yang ‘merugikan’ pengusaha dengan mengelabui konsumen bahwa kepentingan mereka telah diperhatikan pengusaha dalam bentuk, misalnya, produk-produk ramah lingkungan, bakti sosial, pendidikan bagi penduduk lokal, dll. Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) akhir-akhir ini kerap menjadi leksikon bagi hubungan masyarakat (public relations) banyak perusahaan, namun sebetulnya tak mereka laksanakan.
 
Dalam kehidupan politik, pengujian bentuk kuasa dengan wajah ketiga ini terlihat dalam penggunaan propaganda dan, lebih umumnya, dalam efek-efek ideologi oleh negara seperti yang dahulu dilakukan rejim Orde Baru. Max Stirner dalam The Ego and His Own (1845) menyebutkan bahwa “...tujuan negara selalu saja sama, yaitu membatasi individu, menjinakkannya, mensubordinasikannya, menaklukkannya.”
 
Namun, pada zaman ketika negara dirangsek pasar, tentu pasar sedikit-banyak telah merebut ‘peran’ negara. Seperti yang dikemukakan banyak aktivis dan pengamat ekonomi-politik, segelintir mega-korporasi yang menguasai perekonomian dunia telah mampu, melalui instrumen-instrumennya, memikat penduduk bumi dengan mempengaruhi apa yang mereka pikirkan, yang mereka mau, dan yang mereka butuhkan...
 
Wajah kuasa ketiga ini, yang dewasa ini kerap diperankan perusahaan-perusahaan multinasional, sepertinya hanya mampu disingkap, tetapi terlalu raksasa untuk dilawan, kecuali dengan melakukan upaya tandingan: dengan mempengaruhi apa yang menjadi pikiran mereka, yang menjadi keinginan mereka, dan yang menjadi kebutuhan mereka. Tetapi upaya ini, jika saja bisa dilakukan, sepertinya cuma akan melahirkan duel antara kapitalisme versus ‘kapitalisme’, sehingga wajah kuasa menjadi kian rumit untuk disingkap.