Loram Kulon, Jati, Kudus: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: BP2014 |
Tag: BP2014 |
||
Baris 26:
* '''Tradisi Nganten Mubeng Gapuro/Kirab Nganten'''
Di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kudus,hingga kini ada tradisi Nganten Mubeng di Masjid Wali. Tradisi ini mewajibkan para pengantin baru melewati pintu Barat dan Timur masjid yang berupa gapura klasik batu bata merah bercorak Hindu setelah prosesi ijab qobul. Pada masa itu, karena banyaknya yang menikah, untuk mempersingkat waktu maka Tjie Wie Gwan berpetuah pada para pengantin yang telah sah, mengelilingi gapura lalu akan di doakan dari depan Masjid dan disaksikan oleh warga setempat. Tradisi Nganten Mubeng tersebut merupakan upaya mengingatkan dan mendekatkan cikal bakal keluarga baru agar selalu dekat dengan Allah. Tradisi yang menjadi ciri khas umat Islam yang tinggal di sekitar [[Masjid]] Wali (Masjid at-Taqwa), tidak terlepas dari sejarah Masjid Wali atau At-Taqwa. Masjid yang terletak sekitar dua kilometer dari Jalan Raya Kudus-Semarang, didirikan pada 1596-1597 pada masa peralihan Hindu-Buddha ke Islam. Masjid ini dibangun Tjie Wie Gwan, seorang pengembara Muslim dari Campa, China, yang mendarat di Jepara semasa pemerintahan [[Ratu Kalinyamat]]. Waktu itu, Jepara masih di bawah Kerajaan Demak. Seiring berjalannya waktu, Wie Gwan yang menjadi orang kepercayaan Sultan Hadirin (suami Ratu Kalinyamat), dipercaya menyebarkan agama Islam di Kudus. Bersama Sultan Hadirin yang juga menantu Sunan Kudus, Wie Gwan membuat masjid dengan gapura menyerupai pura di Bali. Bangunan masjid yang terbuat dari kayu jati, dilengkapi menara, sumur tempat wudlu, dan beduk. Berkat jasanya tersebut, Ratu Kalinyamat menganugerahi Wie Gwan nama baru, Sungging Badar Duwung.
* '''Tradisi Sedekah Nasi
Saat penyebaran agama islam, salah satu warga ada yang ingin bersedekah tetapi belum mengetahui caranya. Sehingga beliaupun berpesan kepada warga silahkan selamatan dengan nasi kepel 7 bungkus dan lauk bothok 7 bungkus. 7 ini maksudnya dalam basa jawa berarti pitu, yang mempunyai arti filsafat Pitulung (pertolongan), Pitutur (nasihat), Pituduh (petunjuk) dalam menjalani hidup di dunia. Diharapkan dengan nasi kepel dan bothok berjumlah 7 tersebut tidak memberatkan warga yang tidak mampu, tetapi ingin bersedekah.
* '''Tradisi Ampyang Maulid'''
|