Bharatayuddha: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: menghilangkan bagian [ * ]
SamanthaPuckettIndo (bicara | kontrib)
Membalikkan revisi 8229395 oleh 114.79.29.252 (bicara)
Baris 37:
 
Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di [[Kerajaan Wirata]]. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Sebenarnya Yudhistira (Saudara sulung dari Pandhawa), hanya menginginkan 5 desa saja untuk dikembalikan ke pandhawa. Tidak utuh satu Amarta yang dituntut. tetapi Korawa pun tidak sudi memberikan satu jengkal tanah pun ke pandhawa. Akhirnya keputusan diambil lewat perang Baratayuda yang tidak dapat dihindari lagi.
 
==Kitab Jitapsara==
Dalam [[wayang|pewayangan]] [[Jawa]] dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi ''[[Mahabharata]]''. Kitab tersebut bernama ''Jitabsara'' atau ''Jitapsara'', yang berisi kurang lebih skenario ([[bahasa Jawa|Jw.]]: ''pakem'') jalannya peperangan dalam Baratayuda, termasuk urutan siapa saja yang akan menjadi korban. Kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, sebagai juru catat atas apa yang dibahas oleh [[Batara Guru]], raja kahyangan, dengan [[Batara Narada]] mengenai skenario tadi.
 
[[Kresna]], raja [[Kerajaan Dwarawati]] yang menjadi penasihat pihak [[Pandawa]], berhasil mencuri dengar pembicaraan dan penulisan kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih (Jw: ''Klanceng Putih''). Ketika tiba pada bagian [[Prabu Baladewa]] diperhadapkan dengan [[Antareja]], Klanceng Putih lalu menumpahkan tinta yang dipakai, sehingga bagian atau bab itu batal ditulis.
 
Klanceng Putih kemudian menjelma menjadi Sukma Wicara, yakni bentuk halus (sukma) dari Batara Kresna. Sukma Wicara memprotes diperhadapkannya Prabu Baladewa, yang adalah kakak Prabu Kresna, dengan Antareja, anak dari [[Bimasena]]; karena Baladewa pasti akan kalah dari Antareja. Selain itu, Sukma Wicara meminta agar diperbolehkan memiliki Kitab Jitapsara itu.
 
Batara Guru merelakan kitab Jitapsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta bersedia menukarnya dengan Kembang Wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Di samping itu, Batara Guru juga meminta Kresna untuk mengatur penyelesaian soal Baladewa dan Antareja. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Kitab Jitapsara yang telah ditakdirkan oleh dewata. Kelak, Kresna juga akan meminta Baladewa untuk bertapa di [[Grojogan Sewu]] selama perang Baratayuda, dan meminta kesediaan Antareja untuk kembali ke alam abadi, sehingga pertempuran di antara kedua ksatria itu tidak terjadi.<ref>Bagian Penerangan Panitia Baratajuda 1958. t.t. ''Babak ke II: Kresna Gugah''. N.V. Badan Penerbit Kedaulatan Rakjat, Jogyakarta. 18 hal.</ref>
 
== Aturan Peperangan ==