Purwodadi, Barat, Magetan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k clean up, replaced: Beliau → Ia (3), beliau → ia (25) using AWB
sejarah desa Purwodadi
Baris 1:
Pada zaman dahulu desa Purwodadi sebenarnya adalah sebuah hutan , dan didirikanlah sebuah pemukiman penduduk hingga berdiri sebuah Kadipaten yang megah pada saat itu,
Purwodadi adalah nama salah satu desa yang terletak di Kecamatan Barat, Kabupaten Magetan, Jawa timur, Indonesia. Letak yang sangat strategis membuat Purwodadi menjadi dikenal di daerah-daerah disekitarnya. Saat ini desa Purwodadi dipimpin oleh seorang Kepala Desa perempuan yang bernama Suci Minarni, ia adalah lurah perempuan pertama desa ini. Bu Suci, begitulah masyarakat sekitar memanggil dan menyapa ia. Kepala Desa perempuan yang hebat dan memiliki jiwa sosial maupun kepeduliaan terhadap masyarakat yang tinggi. Wajah manis dan senyuman ramah tiap pagi yang khas saat ia masuk kerja di kantor Kepala Desa Purwodadi dengan mengendarai sepeda motor dinasnya. Wanita kelahiran pada rabu wage tanggal 5 Juni 1970 ini merupakan calon kepala desa tunggal desa ini yang kemenangannya mutlak ia dapatkan. Ia juga cucu dari Kromorejo atau Mbah Gong yang merupakan lurah pertama desa ini.
bangunan Kadipaten yang dengan luas kurang lebih sekitar 4 hektar. Berdirinya
Kadipaten ini menunjukan bahwa Purwodadi pada waktu itu memiliki peran penting
terhadap Kabupaten Magetan pada masa Perang Diponegoro berlangsung. Sebuah desa
yang terletak di perbatasan Kecamatan Barat dan Kecamatan Karangrejo, dan
memiliki letak lapangan yang sangat strategis yang dahulunya ini adalah sebuah
alun-alun kota pada saat Kadipaten Purwodadi masih aktif.
 
Semenjak
Mbah Gong menjadi lurah pertama Desa Purwodadi yang langsung ditunjuk oleh Raden Mas Arya ( R.M.A ) Kertohadinegoro yang terkenal di masyarakat Magetan dengan sebutan Gusti Ridder. Ia mendapat julukan Mbah Gong karena dahulu ia satu-satunya masyarakat di daerah sini yang memiliki Gong pertama kali dan menjadi penguasaha gamelan jawa yang sangat terkenal pada waktu itu. Usahanya pun bermacam-macam dan bisa dibilang ia merupakan pengusaha sukses. Saat penunjukan Mbah Gong menjadi lurah pertama yang ditunjuk langsung oleh Gusti Ridder, waktu itu ia sedang berada di pasar hewan karena bisnis ia tidak hanya gamelan jawa saja melainkan juga memiliki peternakan maupun perkebunan yang luas dengan puluhan buruh-buruh yang setia mengabdi kepada ia. Gusti Ridder yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Magetan langsung turun sendiri dan mencari Mbah Gong di pasar hewan. Disitu pun terjadi perjanjian antara Mbah Gong dan Gusti Ridder, yakni Mbah Gong bersedia ditugaskan sebagai lurah desa Purwodadi asalkan ia tidak meninggalkan semua bisnis-bisnisnya karena menurut ia menjadi lurah ini adalah sebuah pengabdian dimana ia bertanggung-jawab penuh terhadap masyarakat Purwodadi. Saat itu pun Mbah Gong menjadi lurah tidak mendapat bayaran, ia membayar pamong-pamongnya mengguanakan uang pribadi. Tidak heran jika Mbah Gong sangat disegani oleh masyarakat disekitarnya. Mbah Gong memiliki empat orang isteri yang membuat keluarga Mbah Gong menjadi keluarga besar.
kedatangan para priyayi dari Puro Mangkunegaran yang bernama ''Raden Ahmad'', daerah hutan tersebut
dirubahnya menjadi sebuah pemukiman penduduk. Beliau adalah seorang bangsawan
dari Praja Mangkunegaran yang kalah perang dengan kompeni Belanda, karena pada
saat itu daerah Jawa Tengah telah menjadi daerah yang rawan serangan kompeni
Belanda. Raden Ahmad mendapat saran dari Adipati Semarang untuk pergi ke daerah
Gunung Lawu, akhirnya beliau dan para pengikutnya menerima masukan tersebut dan
pergi ke arah Gunung Lawu ditemani dengan ''Raden
Damar'' putra dari Adipati Semarang, setelah sampai disekitaran Gunung Lawu,
Raden Damar memberi saran kepada Raden Ahmad untuk berhenti dan mendirikan sebuah
pemukiman di daerah tersebut. Seiring berjalannya waktu pemukiman semakin hari
semakin ramai dan kedatangan rombongan bangsawan dari Yogyakarta dan meminta
izin untuk menidirikan sebuah Kadipaten di daerah ini karena telah dibaginya
sistem pemerintahan di Magetan menjadi 7 daerah kekuasaan oleh Belanda.
Bangsawan tersebut bernama ''Pangeran
Dipokusumo/R.M Dipokusumo/R.M Dipoatmodjo'', beliau datang bersama dengan
para pengikutnya dan menjadi Adipati sebelum diangkatnya ''R. Ng Mangunnegoro'' sebagai Adipati di Kadipaten Purwodadi setelah
“Perjanjian Sepreh”, karena R.M Dipokusumo yang harus mengikuti perang di
berbagai daerah bersama dengan ayahnya Pangeran Diponegoro melawan kompeni
Belanda. Pangeran Dipokusumo adalah anak kedua dari ''B.P.H Diponegoro/Pangeran Diponegoro/R.M Ontowirjo/Sultan Erujtokro Sayidin''
''Panatagama ''dari isteri pertamanya ''R. Ay Retno Madubrongto''. Kadipaten
tersebut diberi nama Kadipaten Purwodadi, nama Purwodadi berasal dari kata ''“Purwo”'' yang berarti ''“wiwitan”'' dan ''“dadi”'' yang berarti ''“dumadi”'',
dengan maksut awal berdirinya sebuah Kadipaten.
 
Politik
Bu Suci selain menjadi lurah perempuan pertama desa ini, kebetulan ia adalah cucu dari Mbah Gong. Ia adalah cucu dari garis trah isteri kedua Mbah Gong yang bernama Tukinem dan memiliki 8 orang anak. Wanita hebat yang merupakan anak dari Hardjo Lamidi ini bekerja keras menjadi tulang punggung keluarganya semenjak sakit dan meninggalnya suami tercinta ia yang bernama Agus Prayitno pada tahun 2010. Bekerja keras untuk anak-anak dan mengabdi kepada masyarakat adalah kegiatan keseharian ia saat ini semenjak terpilihnya menjadi Kepala Desa Purwodadi. Selain itu ia juga memiliki tiga orang anak yang sedang menempuh pendidikan, ini merupakan tanggung jawab yang besar, tugas, amanat kepada ia untuk menjadikan sosok wanita yang kuat dan tegar. Dimana ia selain mengurus keluarganya seorang diri, juga bertanggung jawab untuk mengabdi kepada masyarakat desa Purwodadi. Rasa bahagia terasa saat dimana diumumkannya ia menjadi Kepala Desa Purwodadi dan dilantik oleh Bupati Magetan bapak K.R.A Sumantri Notohadinagoro pada tanggal 20 Desember 2013.
devide et impera Hindia Belanda, menghasilkan sebuah Perjanjian “Perjanjian
Sepreh” pada tanggal 3-4 Juli 1830 atau tanggal 12-13 bulan suro 1758 tahun Je.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang dipimpin oleh Raad Van Indie Mr.Pieter
Markus, Ridder Van de Orde Van de Nederlandsche leeuw, Commisaris ter Regelling
de Vorstenlanden dalam rangka mengatur daerah-daerah Mancanegara Timur
Kasunanan Surakarta atau Kasultanan Yogyakarta.
Pertemuan itu diikuti oleh semua bupati se-wilayah Mancanegara Wetan, pertemuan
dilaksanakan di Desa Sepreh, Kabupaten Ngawi. Pada Pertemuan itu Hindia Belanda
mengharuskan semua bupati Mancanegara Wetan untuk menolak kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Susuhunan Surakarta dan harus
tunduk kepada pemerintah Belanda di Batavia.
 
Dan
Pada tanggal 4 Juli 1830 atau 3 Sura tahun Je 1758, Belanda mengadakan konferensi di desa Sepreh (Ngawi), dengan mengundang semua Bupati Mancanegara wetan. Ketetapan konferensi itu bahwa semua Bupati Mancanegara wetan harus menolak kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Susuhunan Surakarta dan mulai saat itu harus tunduk kepada Belanda di Batavia.
akhirnya, pertemuan tersebut  menghasilkan sebuah “Perjanjian Sepreh Tahun
1830” yang ditandatangani dengan teraan-teraan cap dan bermaterai oleh 23
Bupati dari residensi kediri dan residensi Madiun, dengan disaksikan oleh Raad
Van Indie, Komisaris yang mengurus daerah-daerah keraton serta tuan-tuan Van
Lawick Van Pabst dan J.B. de Solis, residen Rembang. Berdasarkan persetujuan
tersebut mulai saat itu Nederlandsch Gouverment melaksanakan pengawasan
tertinggi dan menguasai daerah-daerah mancanegara.
 
''Sejak tahun
Sejak tahun 1830 Kabupaten Magetan menjadi daerah jajahan Belanda. Pada masa itu yang menjabat Bupati Magetan adalah R.T. Sasrawinata (wafat tahun 1837). Kabupaten Magetan dipecah menjadi 7 daerah Kadipaten , yaitu :
1830 Kabupaten Magetan menjadi daerah jajahan Belanda. Pada masa itu yang
menjabat Bupati Magetan adalah R.T. Sasrawinata (wafat tahun 1837). Kabupaten
Magetan dipecah menjadi 7 daerah Kabupaten , yaitu :''
 
''1.      KadipatenKabupaten Magetan I (kota) dengan
Bupati R.T. Sasrawinata''
 
''2.      KadipatenKabupaten Magetan II (Plaosan) dengan
Bupati R.T. Purwawinata''
 
''3.      KadipatenKabupaten Magetan III (Panekan) dengan
Bupati R.T. Sastradipura''
 
''4.      KadipatenKabupaten Magetan IV (Goranggareng
Genengan) dengan Bupati R.T. Sasraprawiro yang berasal dari Madura.''
 
''5.      KadipatenKabupaten Magetan V (Goranggareng Ngadirejo)
dengan Bupati R.T. Sastradirya''
 
''6.      KadipatenKabupaten Maospati (setelah
ditinggalkan oleh Bupati wedana R. Ronggo Prawiradirja), Bupatinya R.T.
Yudaprawiro.''
 
''7.     
7. Kadipaten Purwodadi, Bupatinya R. Ngabehi Mangunprawiro (sejak tahun 1825 disebut R. Ngabehi Mangunnagara).
Kabupaten Purwodadi, Bupatinya R.
Ngabehi Mangunprawiro (sejak tahun 1825 disebut R. Ngabehi Mangunnagara).''
 
Pada
Pada tahun 1837 Kadipaten Magetan II dan Magetan III dihapuskan dan dijadikan satu dengan Kadipaten Magetan I. Pada tahun 1866 Kadipaten Goranggareng dihapuskan. Pada tahun 1870 kadipaten Purwodadi dihapuskan.
tanggal 31 Agustus 1830, atau hampir dua bulan setelah Perjanjian Sepreh,
pemerintahan Hindia Belanda mulai mengadakan penataan-penataan /
pengaturan-pengaturan atas kabupaten-kabupaten
yang telah berada dibawah pengwaasan dan kekuasaanya. Tentang penataan ini
dapat dilihat dalam surat pemerintahan Hindia Belanda Y1.La.A.No.1, Semarang,
31 Agustus 1830, yang berisikan tentang hasil konperensi dari Gubernur Jendral
dengan komisaris-komisaris yang mengurus / mengatur daerah-daerah keraton.
 
''Dari hasil konferensi tersebut, kemudian keluar satu
Desa Purwodadi memiliki banyak sejarah dan ikut andil dalam kepemerintahan Kabupaten Magetan. Dahulu kala di desa ini berdiri Kadipaten yang megah yang bernama “Kadipaten Purwodadi”. Berikut adalah 5 Adipati yang menjabat di Kadipaten Purwodadi :
keputusan tentang rencana dari Pemerintah Hindia Belanda, yang antara lain
menerangkan bahwa:''
 
''Pertama : Menentukan bahwa daerah mancanegara
- R.Ng. Mangunprawiro alias R.Ng. Mangunnagara
bagian timur akan terdiri dari dua residensi,  yaitu Residensi Kediri dan Residensi
Madiun''
 
''Kedua        
- R.T. Ranadirja
<nowiki>:</nowiki> Bahwa Residensi Madiun akan terdiri dari kabupaten-kabupaten: Magetan,
Poerwodadie,  Toenggoel, Magetan, Gorang-gareng, Djogorogo, Tjaruban dan
kabupaten Kecil di   wilayah  sekitar Madiun lainnya. baik batas dari
kabupaten-kabupaten maupun distrik  juga akan diatur  kemudian.''
 
''Ketiga          :
- R.T Sumodilaga
Bahwa Residensi Kediri akan terdiri dari kabupaten-kabupaten :Kedirie,
Kertosono,  Ngandjoek, Berbek, Ngrowo dan Kalangbret. Dan selanjutnya dari
Distrik-dastrik Blitar, Trenggalek, Kampak dan yang lebih ke Timur sampai dengan
batas-batas dari Malang: baik batas dari Kabupaten-kabupaten maupun
Distrik-distrik juga akan diatur kemudian.''
 
Pada tahun 1870 kabupaten Purwodadi
- R.T Surakusumo, dan
dihapuskan. ''Berturut-turut yang menjabat
Bupati di Purwodadi setelah ”Perjanjian Sepreh” adalah :''
 
·        
- R.M.T Sasranegara ( Gusti Papak ).
''R. Ng. Mangunprawiro alias R. Ng.
Mangunnagara''
 
·        
Pada tahun 1870 Kadipaten Purwodadi dihapuskan dan dijadikan satu dengan Kadipaten Magetan. Semenjak itu Kadipaten Purwodadi tidak aktif dan bangunan pendopo didalamnya dibongkar untuk dipindahkan ke kantor Residen waktu itu. Setelah semua bangunan kosong didalamnya bekas kadipaten ini diambil alih oleh Mbah Gong. Dahulu ia menemui langsung Kanjeng Sultan agar bekas tanah kadipaten ini dikelola oleh ia. Melalui beberapa perjanjian dengan Sultan, akhirnya setelah Gusti Papak tidak menjabat sebagai Adipati disini, Mbah Gong yang mengambil alih bekas Kadipaten ini. Saat itu Mbah Gong sempat meminta ijin kepada Kanjeng Sultan untuk mendirikan bangunan lagi semenjak dibongkarnya pendopo untuk dijadikan Kantor Residen di Madiun, namun Kanjeng Sultan tidak menghendaki dan disuruhnya untuk menanami tanaman yang bisa dimakan oleh masyarakat. Yang boleh memiliki tanah ini pun harus masih keluarga dan keturunan dari Mbah Gong, karena menurut mitos dan perjanjian dengan leluhur jaman dahulu kalau bukan keluarga biasanya tidak kuat untuk memiliki tanah bekas Kadipaten Purwodadi ini.
''R. T. Ranadirja''
 
·        
Pada zaman penjajahan Jepang, Jepang memiliki akal busuk untuk memanfaatkan batu bata bekas Kadipaten ini untuk dibuat bangunan Bandara di Surabaya. Karena waktu itu yang memegang alih bekas Kadipaten ini adalah Mbah Gong, Jepang pun meminta ijin kepada Mbah Gong. Dengan rasa berat hati, ia pun memberi ijin Jepang untuk membawa batu bata pagar dari Kadipaten ini karena Jepang memintanya dengan paksaan. Namun setelah dibawa oleh Jepang, dalam perjalanannya pun menurut cerita dari buruh-buruh Jepang ada hal-hal keanehan yang terjadi. Sesampainya batu bata ini di Surabaya, banyak dari buruh-buruh dan penjajah Jepang sendiri yang meninggal misterius. Mereka banyak yang meninggal dengan perut buncit dan akhirnya mbledos (istilah jawanya). Banyak dari mereka yang bermimpi aneh yang menyuruh untuk mengembalikan batu bata ini kepada Mbah Gong. Dalam mimpi mereka konon kalau batu bata ini tidak dikembalikan ke Mbah Gong atau ke asalnya di desa Purwodadi, maka tempat yang dibangun dengan menggunakan batu bata ini akan menjadi tempat yang wingit atau angker dan memakan banyak korban sampai meninggal dunia. Batu bata ini adalah batu bata bekas Ratu atau Adipati yang tidak sembarangan orang bisa memilikinya, jadi batu bata maupun lahan didalamnya meiliki nilai mistis maupun aura tersendiri. Sesuai dengan kesepakatan dan perjanjian Mbah Gong dengan Kanjeng Sultan yang tidak boleh bekas Kadipaten ini dimiliki oleh darah lain karena dikhawatirkan tidak kuat untuk memilikinya.
''R. T.
Sumodilaga''
 
·        
Suatu ketika pun Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerahkan kembali batu bata bekas Kadipaten Purwodadi ini kepada Mbah Gong. Pagar sebelah utara yang sudah dibongkar oleh Jepang ditata kembali oleh masyrarakat atas perintah dari Mbah Gong. Masyarakat Purwodadi pun dengan penuh semangat dan kebersamaan menata kembali pagar Kadipaten ini. Pada waktu itu Jepang benar-benar merasa ketakutan akan hal ini dan mereka tidak mau mengambil resiko yang lebih parah karena saat itu sudah memakan banyak korban nyawa. Setelah ditatanya kembali seperti semula, Mbah Gong pun menjadikan tanah bekas Kadipaten ini dengan perkebunan pribadi ia dan diberi nama kebon jero ( bonjero ), kira-kira tanah bekas Kadipaten ini memiliki luas sekitar 4 hektar. Kebon berarti kebun dan jero berarti dalam, tanah ini diberi nama “bonjero” karena lahan yang berada didalam tanah bekas Kadipaten ini dimanfaatkan untuk perkebunan, jadi kebun yang terletak didalam pagar bekas Kadipaten Purwodadi. Sampai saat ini pun tanah bekas Kadipaten ini dikelola oleh keluarga keturunan dari Mbah Gong.
''R. T.
Surakusumo''
 
·        
Masyarakat sering menyebutnya dengan nama bonjero dalam bahasa halusnya adalah kebondalem. Pihak keluarga dari Mbah Gong juga memanfaatkan tanah didalamnya untuk bercocok tanam. Dahulu pada waktu Mbah Gong masih sugeng, banyak tanaman yang tumbuh didalamnya. Saat musim panen sudah tiba, tanah bonjero menjadi lahan yang kosong dan luas. Biasanya masyarakat sekitar terutama anak-anak kecil banyak yang bermain layang-layang disini, mereka ingin beristirahat dan menenangkan fikiran dengan merasakan angin sepoi-sepoi didalam bonjero.
''R. M. T.
Sasranegara (1856-1870)''
 
Pada waktu permulaan perang Diponegoro di daerah Madiun, para Bupati
Desa Purwodadi memiliki letak lapangan yang strategis dan ini membuat lapangan Purwodadi sering digunakan untuk acara-acara besar. Pada saat pemerintahan Kadipaten Purwodadi masih aktif, dahulu lapangan ini sebenarnya adalah alun-alun kota milik Kadipaten Purwodadi. Para Adipati yang menjabat, abdi dalem beserta masyarakat sering juga menggunakan alun-alun ini untuk acara-acara besar. Semenjak tahun 1870 yang menghapuskan Kadipaten Purwodadi, maka alun-alun utama diubah menjadi lapangan milik desa Purwodadi. Sebelah utara dari bekas alun-alun ini dahulu juga merupakan pasar yang ramai karena memiliki letak yang strategis. Dimana ada alun-alun pasti ada Masjid Agung, letak Masjid Agung berada disebelah barat alun-alun, yaitu di desa Kauman. Pada umumnya nama dari daerah dimana disitu terletak Masjid Agung yang di sebelah barat alun-alun, maka daerah tersebut diberi nama Kauman. Saat ini bekas dari Masjid Agung digunakan untuk makam keluarga dari Raden Abdullah Mustofa yang pada jaman dahulu ia merupakan seorang Asistan Wedono. Masyarakat sekitar sering menyebutnya dengan makam Eyang Penghulu. Nenek dari Bu Suci sendiri juga dimakamkan dimakam keluarga ini, karena disitu letak makam keluarga dari lurah pertama desa Keras. Selain cucu dari lurah pertama desa Purwodadi, Bu Suci juga merupakan cucu lurah pertama desa Keras dari garis trah keluarga ibunda Bu Suci yang bernama Warsini. Istri lurah pertama desa Keras dimakamkan di makam keluarga Raden Abdullah Mustofa atau Eyang Penghulu dan suaminya di makamkan desa Keras. Sedangkan makam dari Mbah Gong berada di makam cungkup desa Purwodadi.
di wilayah Madiun yang memimpin perang sebagai Panglima daerah adalah sebagai
berikut :
 
''- Raden Mas Tumenggung
Prawirodirjo ( saudara sepupu Pangeran Diponegoro )''
 
''- Raden Mas Tumenggung
Prawirosentiko, Bupati kepala II di Tunggul/ Wonokerto''
 
''- Raden Mas Tumenggung
Surodirjo, Bupati Keniten''
 
''- Raden Mas Tumenggung
Yudoprawiro, Bupati Maospati''
 
''- Raden Mas Tumenggung
Yudokusumo, Bupati Muneng''
 
''- Raden Mas Tumenggung
Surodiwiryo, Bupati Bagi''
 
''- Raden Ngabehi
Mangunprawiro, Bupati Purwodadi''
 
'' ''
 
Pemimpin peperangan
yang berasal dari Madiun ada dua orang yaitu : ''Mas Kartodirjo dan Raden Ngabehi
Mangunprawiro'', putra ''Raden Tumenggung
Mangunnegoro'' yang telah gugur dalam medan perang, selaku panglima perang
Pangeran Diponegoro. Awal perang terjadi di Kota Ngawi, Kawuh, Gerih dan Kudur
Bubuk semuanya di perbatasan Kabupaten Madiun.
 
Kemudian, setelah Kadipaten Purwodadi dihapuskan,
Purwodadi menjadi daerah kademangan yang dipimpin oleh seorang ''“Demang”'' yang bernama ''R. Madijosentono''. Oleh demang R.
Madijosentono, Purwodadi dibaginya menjadi 2 
desa yang bernama :
 
1. Temulus, yang dipimpin oleh ''Sastro Gatok''
 
2. Purwodadi, yang dipimpin oleh ''Marto Ikromo''
 
Setelah beberapa bulan menjabat kedua kepala desa
tersebut meninggal dunia dan digantikan oleh ''Riwuk'' untuk desa Purwodadi dan ''Martowidjojo
''untuk desa Temulus. Tidak lama kemudian Riwuk mengundurkan diri dan
digantikan oleh ''R.M Kromoredjo ( Mbah
Gong )'' yang ditunjuk langsung oleh ''R.M.A
Kertohadinegoro ( Gusti Ridder )'' seorang bupati Magetan, sedangkan kepala
desa Temulus meninggal dunia dan digantikan oleh ''Pontjoredjo.'' R.M Kromoredjo adalah cucu dari ''R.M Dipokusumo'' dari puteranya yang bernama ''R.M Dipokromo''. Beliau menjabat sebagai lurah desa Purwodadi dari
tahun 1902 sampai 1920. Pada masa kepemimpinannya datanglah seorang bangsawan
dari Yogyakarta yang bernama ''R.M Papak (
Gusti Papak )'' yang ingin mendiami bangunan bekas Kadipaten Purwodadi.
Beliau merupakan cucu dari Nyi Ageng Serang dan sama-sama sentono dalem ''Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
''yang membantu dalam proses perang Diponegoro. Namun niat tersebut
digagalkan oleh R.M Kromoredjo/Mbah Gong, kemudian bangunan pendopo ageng
beserta bangunan-bangunan lainya didalam tembok Kadipaten Purwodadi dibongkar
dan dibawa Belanda untuk menambahi sebuah bangunan di kantor Residensi Madiun. Tidak
hanya itu, pada zaman penjajahan Jepang, Jepang
memiliki akal tidak baik dan ingin memanfaatkan batu bata bekas kadipaten ini
untuk dibuat bangunan Bandara di Surabaya. Karena waktu itu yang memegang alih
bekas Kadipaten ini adalah R.M Kromoredjo/Mbah Gong, Jepang pun meminta ijin
kepada Mbah Gong. Dengan rasa berat hati, beliau memberi ijin penjajah Jepang
untuk membawa batu bata pagar dari bekas kadipaten ini karena Jepang memintanya
dengan paksaan. Namun setelah dibawa oleh penjajah Jepang, dalam perjalanannya
menurut cerita dari para pegawai Jepang ada beberapa hal keanehan yang terjadi.
Sesampainya batu bata di Surabaya, banyak dari pekerja dan penjajah Jepang yang
meninggal misterius. Mereka banyak yang meninggal dengan keadaan perut buncit
dan akhirnya meledak. Banyak dari mereka yang bermimpi aneh yang menyuruh untuk
mengembalikan batu bata ini ke asalnya. Dalam mimpi mereka konon kalau batu
bata ini tidak dikembalikan ke asalnya di desa Purwodadi, maka tempat yang
dibangun dengan menggunakan batu bata ini akan menjadi tempat yang angker dan
memakan banyak korban sampai meninggal dunia. Setelah berakhirnya
jabatan Mbah Gong sebagai kepala desa Purwodadi, keluarlah sebuah peraturan
yang menerangkan bahwa kedua desa tersebut digabungkan menjadi satu dan
dipimpin oleh lurah yang bernama ''Toredjo''.
Pada tahun 1953 lurah Toredjo menngundurkan diri karena sudah berusia lanjut
dan digantikan oleh ''R. Losodihardjo''.
Tahun 1968 lurah desa Purwodadi meninggal 
dan diadakan pemilihan kepala desa, kemudian dimenangkan oleh ''R. Karmo''. Beliau menjabat sebagai kepala
desa sampai tahun 1990, dan diadakanlah pemilihan kepala desa yang dimenangkan
oleh ''R. Latianto''. Setelah 8 tahun
menjabat, diadakanlah pemilihan kepala desa pada tahun 1998 dan dimenangkan
oleh ''R. Didik Diarto'', beliau menjabat
kepala desa selama dua periode sampai tahun 2013. Pada tanggal 20 Oktober 2013
diadakan pemilihan kepala desa dan dimenangkan oleh ''R. Ngt Suci Minarni'' yang merupakan kepala desa perempuan pertama di desa Purwodadi.