Suhardi Somomoeljono: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Fasya Frinanda (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Fasya Frinanda (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 26:
Yang pertama dan paling utama adalah persoalan studi. Kepada Suhardi, ayahnya sangat menekankan agar proses belajar harus selalu diutamakan. Bukan berarti hanya di dalam kelas melainkan juga di luar kelas. Sembari itu, kegiatan berorganisasi tidak boleh dikesampingkan karena ini adalah media bersosialisasi, belajar manajemen dan berbagai manfaat lainnya. Sementara untuk urusan cinta, harus diletakkan diurutan ketiga. Elemen keteiga ini mendapat penekanan khusus. Ayahnya tidak melarang, namun terlebih dulu memenuhi syarat. Boleh cari calon istri dalam posisi sudah selesai teori dan baru boleh menikah jika lulus kuliah. “Lebih baik kamu jadi aktivis daripada pacaran”, kata ayahnya.<br />
 
Nasehat ini diinsyafi dengan baik oleh Suhardi. Berbagai organisasi lalu ia ikuti, internal maupun organisasi ekternal kampus. Berbagai kegiatan organisasi pula ia jadikan pula sebagai tempat belajar lain, selain di bangku kuliah. Tercatat, Suhardi pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa, Wakil Ketua Senat Mahasiswa dan juga Sekretaris BKK. Sementara di eksternal, ia juga tercatat aktif di organisasi [[Himpunan Mahasiswa Islam]] (HMI).<br />
== Kehidupan Organisasi ==
Baris 35:
 
== Profesi Advokat ==
[[Berkas:21763.jpg|thumb|Suhardi Somomoeljono Dengan [[Euricco Gueterres]]]]
Tersemai sejak kecil ingin menjadi [[advokat]], Suhardi Somomoeljono mulai menapaki karir itu setelah menyelesaikan kuliahnya di UII pada tahun 1985. Banyak hal yang menginspirasi Suhardi menetapkan memegang teguh cita-cita menjadi advokat. Saat masih kecil, tepatnya kelas 3 SD, ia sempat melihat bagaimana kakek dan ayahnya menyelesaikan satu kasus pencurian. Pencurian dengan obyek 2 buah ketela itu dilakukan oleh seseorang yang disebabkan karena istrinya yang hamil besar dan mau melahirkan. Si pencuri sendiri adalah masyarakat dengan kondisi sangat miskin. Kakek Suhardi yang seorang Lurah dan berlatarbelakang pendidikan Belanda cukup keras terhadap si pencuri. Sebaliknya, meski seorang militer sang ayah justru membela si pencuri dengan mengemukakan berbagai argumen. Suhardi kagum melihat tindakan sang ayah. Setelah melalui perdebatan, akhirnya si pencuri tidak jadi dihukum. Hanya dimarahi dan diminta mengembalikan satu buah ketela, sedangkan satu lainnya boleh dibawa pulang.<br />