Politik: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Aladdin Ali Baba (bicara | kontrib)
Aladdin Ali Baba (bicara | kontrib)
Baris 161:
 
Dalam pancaran sinar kesadaran itu, penting mengenang pernyataan intelektual aktivis asal Polandia Adam Mitchnik, ketika ia membangkitkan kesadaran politik demokratik pada warga Polandia yang tertindas oleh rejim totalitarianisme komunis di sana, dengan berseru “menjadi realis adalah berani untuk membayangkan dan memperjuangkan apa yang terlihat mustahil untuk dilakukan!”
 
Ada sebuah buku yang ditulis Ignas Kleden tentang negeri dengan segudang mimpi, berjudul Indonesia sebagai Utopia: Menulis Politik. Bagi Ignas Kleden, selama ini masyarakat Indonesia telah biasa hidup dengan utopia. Dengan utopia itulah bangsa ini mengarungi masa depan yang tidak pasti. Dari rezim ke rezim, beberapa proyek utopis coba ditawarkan pemimpin negeri.
 
Ketika Soekarno menjadi presiden pertama Indonesia, ia menawarkan suatu utopia yang dapat menggerakkaan seluruh bangsa dan masyarakat Indonesia ke arah yang dikehendakinya. Utopia yang ditawarkan adalah utopia pembentukan karakter bangsa yang khas sehingga mendapatkan pengakuan dan bahkan penghormatan dari bangsa-bangsa lainnya di dunia.
 
Era Soeharto, mitos yang dikembangkan adalah pembangunan nasional. Utopia ini mengandung banyak janji akan suatu kehidupan yang lebih baik, menarik, baik yang menyangkut kemiskinan, peningkatan taraf hidup yang dimungkinkan oleh pertumbuhan ekonomi maupun modernisasi cara hidup dan demokratisasi sistem politik. Utopia demikian, nyaris membunuh sikap kritis dan kreativitas masyarakat, meskipun mereka menikmatinya juga. Sedangkan era Habibie, Gus Dur, dan Megawati nuansanya lain. Mereka lebih bekerja dalam tataran kongkrit. Reformasi membuka borok dari slogan dan proyek utopis sebelumnya sehingga apa yang ditawarkan ketiga pemimpin ini ibarat angin lalu. Habibie yang membangun legitimasinya dengan memberikan angin keterbukaan masing-masing komunitas (termasuk daerah-daerah) untuk menuntut hak-hak mereka yang selama ini dirampas Orde Baru justru gagal. Kasus Timor-Timur menjadi preseden buruk bagi legitimasinya. Gus Dur yang ingin membuka keran investasi di tengah krisis yang masih melanda Indonesia, dituding cuma plesir sana-sini. Bahkan, Megawati lebih nahas karena dicap sebagai tukang jual aset negara. Mereka tidak bisa memberikan utopia baru yang dapat dibandingkan dengan utopia kebangsaan dan pembangunan karakter era Soekarno dan utopia pembangunan nasional era Soeharto.
 
Keadaan bertambah kompleks akibat utopia menjadi sekedar permainan wacana ideologis. Hal ini turut mengubah jati diri dan identitas bangsa. Padahal, dalam pandangan Ignas Kleden, masyarakat Indonesia tidak bisa hidup tanpa utopia yang jelas. Utopia menjadi bayaran mahal yang harus diberikan oleh penguasa untuk mendapatkan legitimasinya. Tidak adanya utopia berbuntut melahirkan krisis kepercayaan kepada pemerintah. Bahkan, kecenderungan pemerintah yang hadir saat ini terkesan tidak peduli lagi dengan apa kata rakyatnya. Yang penting mampu meraih kekuasaan dengan jalan dan cara apa pun. Utopia yang ditawarkan masih semu.
 
Ada dua makna utopia semua, yang pertama adalah utopia berdasarkan gagasan lama tentang suatu masyarakat ideal yang tidak akan pernah terwujud. Yang lahir dari utopia ini adalah obsesi untuk menghancurkan yang sudah ada untuk membangun yang baru. Utopia kedua adalah utopia yang dipropagandakan para kapitalis dalam arti memuaskan hasrat. Bahkan masyarakat digiring untuk menyadari dan melayani hasrat itu. Utopia sejati bukanlah semacam imajinasi bebas. Utopia politik adalah persoalan membangun ruang baru sebagai jalan keluar paling mendesak ketika situasi di sekeliling kita tidak memungkinkan menghasilkan solusi untuk segala persoalan yang ada, apalagi dengan cara-cara yang sudah ada.
 
==Filsafat politik==