Politik Minangkabau: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Jayrangkoto (bicara | kontrib)
Jayrangkoto (bicara | kontrib)
Baris 10:
Tokoh legendaris lainnya Datuk Perpatih Nan Sebatang, menyusun [[Lareh Bodi Caniago|sistem adat Bodi Caniago]] dengan filosofinya "membersit dari bawah" (''mambasuik dari bawah''). Sistem ini merupakan anti-tesis dari konsep Koto Piliang yang hierarkis. Konsep Bodi Caniago lebih mengedepankan konsep berdasarkan [[Musyawarah|musyawarah mufakat]]. Dalam nagari-nagari yang menerapkan sistem Bodi Caniago, kedudukan semua penghulu memiliki derajat yang sama. Filosofinya "duduk sehamparan berdiri sepematang, duduk sama rendah berdiri sama tinggi" (''duduak sahamparan tagak sapamatang, duduak samo randah tagak samo tinggi'').<ref>Sangguno Diradjo, Dahler Abdul Madjid, Radjo Mangkuto (Datuk); Mustika Adat Alam Minangkabau‎; Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1979</ref>
 
Karena adanya pertentangan dari dua sistem adat dan politik di Minangkabau itu, maka timbulah suatu ''[[sintesis]]'' politik yang mengambil corak kedua-duanya itu. Sehingga dalam perkembangannya, politik Minangkabau bisa menerapkan sistem Koto Piliang yang ''hierarkis'' beserta sistem Bodi Caniago yang ''egaliter''. Ketegangan diantara dua kubu sistem politik itu merupakan salah satu ''[[dikotomi]]'' yang memelihara keseimbangan di masyarakat.<ref name="Kahin">Audrey R. Kahin, Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity, 1926-1998; 1999</ref>
 
Untuk konsep kepemimpinan politik, masyarakat Minangkabau tidak memposisikan pemimpinnya sebagai orang yang di''[[Kultus individu|kultus]]''kan. Sehingga ketika pemimpin itu tidak amanah atas jabatannya ia bisa disanggah ataupun diganti melalui dewan adat. Hal ini berdasarkan kepada filosofi Minangkabau yang menempatkan pemimpin itu "ditinggikan seranting didahulukan selangkah" (''ditinggikan sarantiang didahulukan salangkah''). Dengan filosofi kepemimpinan politik seperti ini, Minangkabau kemudian banyak melahirkan pemimpin sejati yang rendah hati dan penuh pengabdian karena ia memahami bahwa ia hanya ditinggikan seranting serta didahulukan selangkah oleh masyarakatnya.<ref name="kompas.com">[http://nasional.kompas.com/read/2014/06/26/1617120/Ilusi.Pemimpin.Besar "Ilusi Pemimpin Besar"] ''[[Hamdi Muluk]], [[Kompas.com]]'', 26-06-2014. Diakses 27-12-2014.</ref> Atau juga berdasarkan kepada filosofi "raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah" (''rajo adia rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah''). Adanya dewan adat yang terdiri dari para penghulu dan ninik mamak di seluruh nagari, menciptakan sistem ''check and balances'' dalam politik Minangkabau.
 
Sejak masuknya [[Islam]] ke [[Pulau Sumatera|Sumatera]], sistem politik Minangkabau diperkuat oleh tiga unsur (''triumvirat'') yang disebut ''Tigo Tungku Sajarangan''. Triumvirat ini terdiri dari tiga unsur masyarakat yang mencakup kaum adat, kaum cerdik pandai, dan kaum ulama.
Baris 22:
*''Kaum Cerdik Pandai'' diwakili oleh orang-orang yang dianggap punya pengetahuan yang luas, pintar dan pandai, tapi juga tidak memegang posisi dalam struktur adat.
 
Ketiga unsur ini saling ber''[[interaksi]]'', ber''[[dialektika]]'', bahkan juga ber''[[konflik]]'' dalam suatu sistem politik yang diwadahi oleh suatu lembaga Kerapatan Adat Nagari. Di dalam lembaga inilah dimusyawarahkan segala sesuatu permasalahan yang ada dalam suatu nagari sehingga dapat ditemukan solusi yang disepakati oleh semua pihak demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Keputusan lembaga ini bersifat ''otonom'' tanpa harus meminta persetujuan dari ''[[otoritas]]'' politik yang lebih tinggi seperti raja atau gubernur.<ref>Azyumardi Azra, Mambangkik Batang Tarandam dalam Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa, Jakarta, 2008</ref>
 
==Sejarah==
=== Zaman Pra-Kerajaan ===