Filsafat Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 19:
===1. Mazhab Etnik.===
‘Filsafat Etnik’ adalah filsafat orisinil dari [[Indonesia]], yang diproduksi oleh ''local genius'' primitif sebelum kedatangan pengaruh filsafat asing. Di era neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM, penduduk Indonesia asli telah membentuk komunitas berupa desa-desa kecil yang telah mengenal sistem pertanian, sistem irigasi sederhana, sistem peternakan, pembuatan perahu, sistem pelayaran sederhana, dan seni bertenun. Mereka juga sudah mulai berspekulasi mengenai segala yang mereka perhatikan dari alam, sehingga merekapun sudah memproduksi [[filsafat]], sekalipun dalam bentuk yang sangat sederhana. [[Mitologi]]-mitologi filosofis yang diproduksi suku-suku etnis Indonesia kini sudah banyak yang dibukukan, sehingga para peneliti Filsafat Indonesia kini dapat membacanya, baik dalam Bahasa Indonesia maupun dalam bahasa asing. Misalnya, mitologi filosofis suku Dayak-Benuaq telah dibukukan dan diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Michael Hopes, Madras & Karaakng dengan judul ''Temputn: Myths of The Benuaq and Tunjung Dayak'' (Jakarta: Puspa Swara & Rio Tinto Foundation, 1997).
 
====Filsafat 'Asli' Indonesia====
Kajian ‘Filsafat Etnik’ telah banyak dilakukan oleh filosof Indonesia. M. Nasroen adalah orang pertama yang memelopori kajian ‘Filsafat Etnik’ pada dasawarsa [[1960-an]], lalu Sunoto, yang melakukan kajian serius tentang Filsafat Etnik Jawa. R. Pramono mengkaji Filsafat Etnik Jawa, Batak, Minangkabau, dan Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya ''Arkeologi Budaya Indonesia'' dan ''Mencari Sukma Indonesia'', membahas Filsafat Etnik Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, dan lain-lain. Franz Magnis-Suseno juga mengkaji Filsafat Etnik Jawa, seperti karya-karyanya yang berjudul ''Kita dan Wayang'' (Jakarta, 1984), ''Etika Jawa dalam Tantangan'', dan ''Etika Jawa: sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa''. [[P.J. Zoetmulder]] mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari segi kesusastraannya dalam buku ''Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang'' dan ''Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa''. Nian S. Djoemena mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari tradisi luriknya dalam buku ''Lurik: Garis-garis Bertuah (The Magic Stripes)''. Soewardi Endraswara mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari tradisi peribahasanya dalam buku ''Mutiara Wicara Jawa''. Purwadi mengkaji Filsafat Etnik Jawa terutama kearifan tokoh Semar dalam pewayangan Jawa dalam karyanya ''Semar: Jagad Mistik Jawa'' dan Woro Aryandini mengkaji kearifan tokoh Bima dalam karyanya ''Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa''. Suwardi Endraswara membahas Filsafat Hidup yang dipahami khas orang Jawa dalam karyanya ''Filsafat Hidup Jawa'', dan masih banyak lagi filosof Indonesia yang mengkaji Filsafat Etnik, bahkan hingga detik ini.