Filsafat Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 26:
Yang dimaksud dengan ‘Filsafat Timur’ adalah tradisi filsafat yang dikembangkan oleh orang-orang ‘Timur’, sebagai kebalikan dari orang ‘Barat’. Istilah ini jelas saja diberikan oleh bangsa Barat untuk bangsa Timur. Pada kenyataannya, tidak semua bangsa Timur filsafatnya dikenal baik oleh bangsa Barat. Yang tradisi filsafatnya dikenal baik hanya sebagian saja, yakni, ‘Filsafat [[Cina]]’, ‘Filsafat [[Jepang]]’, dan ‘Filsafat [[India]]’.
====Filsafat Tionghoa====
‘Filsafat Cina’ baru-baru ini saja dipelajari dengan serius oleh filsuf Indonesia, walaupun nyatanya orang Cina sudah menetap di Indonesia lebih dari 30 abad yang lalu! ‘Filsafat Cina Klasik’, seperti Filsafat [[Lao Tzu]] ([[605 SM|605]]-[[531 SM]]), [[Konfusius]] ([[551 SM|551]]-[[479 SM]]), dan Chuang Tzu (w.360 SM), kini dengan penuh antusias dikaji-ulang dan ditafsir-ulang. Indra Widjaja mengkaji Filsafat Chuang Tzu dalam karyanya ''Filsafat Perang Sun Tzu'', sedangkan Anand Krishna menafsir-ulang Filsafat Lao Tzu untuk dipahami secara modern dalam karyanya ''Mengikuti Irama Kehidupan: Tao Teh Ching bagi Orang Modern''. Soejono Soemargono membuat ikhtisar sejarah Filsafat Cina dalam karyanya yang pionir ''Sejarah Ringkas Filsafat Tiongkok''.
‘Filsafat China Modern’ sudah mulai dikaji oleh filsuf Indonesia sejak [[abad ke-19]]. Sun Yat-Senisme telah dikaji oleh [[Kwee Kek Beng]] ([[1900]]-[[1974]]) lewat terjemahan karya [[Sun Yat Sen]] ''Djalan Ke Kemerdekaan'' dari bahasa Cina ke bahasa Melayu, Filsafat Anti-Konfusianisme dikaji oleh Kwee Hing Tjiat (1891-1939), Filsafat Marxisme-Leninisme dan Maoisme dikaji oleh Oey Gee Hoat dan Siauw Giok Tjhan, Tan Ling Djie, Wang Jen Shu, Ong Eng Djie, Lie A Tjong, Lien Tiong Hien, Lie Wie Tjung, dll. Namun, karya Leo Suryadinata yang berjudul ''Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien'' (Jakarta: LP3ES, 1990) dan ''Politik Tionghoa Peranakan di Jawa'' (Jakarta: Sinar Harapan, 1994) memuat dengan jenial ikhtisar sejarah filsafat politik Cina Modern yang dipahami filsuf Indonesia dari [[Tionghoa-Indonesia|etnik China]].
====Filsafat India====
‘Filsafat [[India]]’ juga masih sedikit yang mengkaji. Dari survei, hanya ada satu karya saja yang ditemukan dan mengkaji ‘Filsafat India Klasik’, itupun hanya sebatas ikhtisar sejarah, seperti karya Harun Hadiwidjono yang berjudul ''Sari Filsafat India''. Sedangkan yang mengkaji ‘Filsafat India Modern’ sudah cukup banyak, di antaranya ialah R. Wahana Wegig yang mengkaji Filsafat Etika dari Mahatma Gandhi dalam karyanya ''Dimensi Etis Ajaran Gandhi''.
Baris 36 ⟶ 38:
Raja [[Dharmawangsa]] ([[991]]-[[1006]]) pernah memerintahkan penerjemahan ''[[Mahabharata]]'' ke bahasa Jawa Kuno—tindakan yang memungkinkan masuknya alam pikiran primitif Jawa ke dalam wiracarita Hinduisme-India itu. Juga raja Jayabaya ([[1130]]-[[1160]]), yang memerintahkan penyaduran ''[[Kakawin Bharatayudha]]'' versi India menjadi versi Jawa, untuk menggambarkan perang saudara antara Jayabaya (sebagai [[Pandawa]]) dengan sepupunya Jenggala (sebagai Kurawa). Bahkan, raja Indra (782-812) dari Sailendra membangun Candi [[Borobudur]] yang bertingkat 9, untuk memuja arwah 9 keluarga moyangnya dalam perjalanan mereka menuju Nirvana.
====Filsafat Jepang====
‘Filsafat Jepang’ masih jarang dikaji. Hanya dua karya ditemukan yang ditulis filsuf Indonesia mengenai cabang filsafat ini: pertama, karya Tun Sri Lanang yang berjudul ''Busido'', dan kedua, karya Irmansyah Effendi yang berjudul ''Rei Ki: Teknik Efektif untuk Membangkitkan Kemampuan Penyembuhan Luarbiasa Secara Seketika''.
|