Bahasa Palembang Alus: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
KiagusAdrian (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
KiagusAdrian (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 15:
 
Baso Palembang Alus hampir menyerupai [[Bahasa Jawa]], oleh sebab itu banyak orang berasumsi bahwa bahasa Palembang berasal dari [[Jawa]]. Namun pada dasarnya tidaklah demikian. Bahkan sebaliknya, Bahasa Palembang Alus lah yang mempengaruhi bahasa Jawa Kuno sehingga menjadi bahasa Jawa yang dikenal sekarang, Bahasa Palembang Alus pun juga dipengaruhi bahasa Jawa.
Namun, Pendapat ini disangkal oleh pendapat lain yang menyatakan bahwa Etnis Palembang masih serumpun dengan Etnis Jawa dan Sunda. Hal ini dapat dibuktikan karena Kebudayaan (termasuk bahasa) Palembang dan Jawa juga Sunda terlihat kemiripan antara satu dengan yang lainnya.
Bahasa ini sangat erat kaitannya dengan sejarah perkembangan [[Kesultanan Palembang]].
 
Menurut sumber sejarah lokal, [[Kesultanan Palembang]] muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan erat dengan kerajaan-kerajaan besar di Pulau [[Jawa]], seperti [[Kerajaan Majapahit]], [[Kerajaan Demak]], [[Kerajaan Pajang]], dan [[Kerajaan Mataram]]. [[Palembang]] (Melayu/ [[Sriwijaya]] ) pada masa lalu adalah cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan di Pulau [[Jawa]]. Dalam manuskrip sejarah [[Palembang]] diceritakan:
 
Al kisah tersebutlah dalam satu masa di [[Bukit Siguntang]] duduk memerintah seorang raja bernama [[Raja Sulan]] yang mempunyai dua orang putra, masing-masing bernama Alim dan Mufti, Alim menjadi [[sultan]] setelah ayahandanya wafat, sedangkan Mufti menjadi sultan di Gunung Meru. Setelah [[Sultan Alim]] wafat ia digantikan oleh putranya tanpa melalui musyawarah dengan pamannya [[Sultan Mufti]].
 
Karena itu [[Sultan Mufti]] bermaksud untuk menurunkan putera [[Sultan Alim]] dari kedudukannya sebagai Sultan di [[Bukit Siguntang]]. Mendengar cerita tersebut maka putra Sultan Alim beserta seluruh rakyat dan pasukannya meninggalkan [[Bukit Siguntang]] menuju [[Indragri]]. Mereka menetap di suatu daerah yang mereka pagari dengan ujung sebagai tempat pertahanan. Kemudian tempat tersebut bernama [[Pagaruyung]] ([[Padang]], Sumatera Barat). Setelah Sultan Mutfi wafat, ia digantikan oleh puteranya dengan pusat pemerintah di Lebar Daun bergelar Demang Lebar Daun hingga tujuh turun lebih.
Demang Lebar Daun ini mempunyai seorang saudara kandung bergelar Raja Bungsu.
Kemudian Raja Bungsu tersebut hijrah ke tanah [[Jawa]], di negeri [[Majapahit]], bergelar [[Prabu Anom Wijaya]] atau [[Prabu Wijaya]]/Brawijaya sampai tujuh turun pula.
Brawijaya yang terakhir memiliki putera bernama [[Aria Damar]] atau [[Aria Dilah]] dikirim ke tanah asal nenek moyangnya yaitu [[Palembang]], ia dinikahkan dengan anak Demang Lebar Daun dan diangkat menjadi raja (1445-1486). Ia juga mendapat kiriman seorang putri Cina yang sedang hamil, yakni isteri ayahnya yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya, Sang puteri ini melahirkan seorang putra yang diberi nama [[Raden Fatah]] atau bergelar Panembahan [[Palembang]], yang kemudian menjadi raja pertama di Demak.
 
Pada saat [[Raden Fatah]] menjadi raja Demak (1478-1518), ia berhasil memperbesar kekuasaannya dan menjadikan Demak kerajaan [[Islam]] pertama di [[Jawa]].
Akan tetapi kerajaan Demak tidak mampu bertahan lama karena terjadinya perang saudara, Setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran, muncullah [[Kesultanan Pajang]]. Penyerangan Kesultanan Pajang ke Demak mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan diri ke [[Palembang]].
 
Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 orang dikepalai oleh [[Ki. Sedo Ing Lautan]] (1547-1552) menetap di Palembang Lama ([[1 Ilir]]) yang saat itu Palembang di bawah pimpinan Dipati [[Karang Widura]], keturunan Demang Lebar Daun. Mereka mendirikan istana Kuto Gawang dan [[masjid]] di Candi Laras (PUSRI sekarang). Pengganti Pangeran Sedo Ing Lautan adalah anaknya, [[Ki. Gede Ing Suro]] (1552-1573), setelah wafat diganti oleh Kemas Anom Adipati Ing Suro/Ki. Gede Mudo (1573-1590). Kemudian diganti saudaranya [[Sultan Jamuluddin Mangkurat II Madi Alit]] (1629-1630), kemudian [[Sultan Jamaluddin Mangkurat III Sedo Ing Puro]] (1630-1639), [[Sultan Jamaluddin Mangkurat IV Sedo Ing Kenayan]] (1639-1950), [[Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sedo Ing Peserean]] (1651-1652), [[Sultan Jamaluddin Mangkurat VI Sedo Ing Rejek]] (1652-1659), [[Sultan Jamaluddin VII Susuhunan Abdurrahman Candi Walang]] (1659-1706), [[Sultan Muhammad Mansur]] (1706-1714), [[Sultan Agung Komaruddin]] (1714-1724), [[Sultan Mahmud Badaruddin I]] (1724-1757), dst.
 
Pada abad ke 16 di [[Palembang]] mulai terbentuk dan tumbuh suatu pemerintahan yang bercorak Islam. Pangeran Aria Kesumo (Kemas Hindi) pada tahun 1666 memproklamirkan Palembang menjadi negara Kesultanan beliau bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam berkuasa (1659-1706). Dengan demikian [[Islam]] telah menjadi agama [[Kesultanan Palembang|Kesultanan Palembang Darussalam]] dan pelaksanaan hukum Islam berdasarkan ketentuan resmi hingga berakhirnya Kesultanan Palembang pada tahun 1823.
 
 
 
== Kamus Bahasa Palembang Alus ==