Kesultanan Palembang Darussalam: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
KiagusAdrian (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
KiagusAdrian (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 56:
 
Dalam perang tersebut VOC membumihanguskan Kuto Gawang. Akibatnya, Raja Palembang saat itu, Pangeran Seda Ing Rajek, melarikan diri ke Inderalaya (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Ogan Kumering Hilir). Sepeninggal Pangeran Seda Ing Rajek, tampuk kepemimpinan di Kerajaan Palembang diserahkan kepada Ki Mas Hindi Pangeran Arya Kesuma (Retno Purwanti, 2004:20).
 
=== Kuto Gawang ===
Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya [[Ki Gede ing Suro]], bangsawan pelarian dari [[Kesultanan Demak]] akibat kemelut politik setelah mangkatnya [[Sultan Trenggana]]. Pada masa ini pusat pemerintahan di daerah sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah [[Sungai Musi]].
Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang yang bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batangnya. Kota berbenteng yang di kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan Portugis berdiam berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi.
Kota berbenteng ini sebagaimana dilukiskan pada tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya ber¬batasan dengan Sungai Buah. Dalam gambar sketsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak berdiri megah bangunan keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing ditempatkan/ber¬mukim di sebe¬rang sungai sisi selatan Musi, di sebelah barat muara sungai Komering (sekarang daerah Seberang Ulu, Plaju).
 
=== Beringin Janggut ===
Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran). Sayang data tertulis maupun gambar sketsa mengenai keberadaan, bentuk, dan ukuran keraton ini hingga saat ini tidak ada.
Daerah sekitar Keraton Beringin Janggut diba¬tasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan. Kawasan keraton di¬batasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai Rendang/Sungai Karang Waru di sebelah timur. Sungai Penedan merupakan sebuah kanal yang menghubungkan Sungai Kemenduran, Sungai Kapuran, dan Sungai Kebon Duku. Karena sungai-sungai ini saling berhubungan, penduduk yang mengadakan perjalanan dari Sungai Rendang ke Sungai Tengkuruk, tidak lagi harus keluar melalui Sungai Musi. Dari petunjuk ini dapat diperoleh gambaran bahwa aktivitas sehari-hari pada masa itu telah berlang¬sung di darat agak jauh dari Sungai Musi.
 
=== Kuto Tengkuruk ===
Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektare dengan batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya di areal tanah yang luasnya sekitar 50 hektare ini hanya terdapat bangunan Kuto Batu atau Kuto Tengkuruk dan Masjid Agung dengan sebuah menara yang atapnya berbentuk kubah. Pada saat ini batas kota Palembang kira-kira di sebelah timur berbatasan dengan Kompleks PT. Pusri, di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Lambidaro (36 Ilir), dan di sebelah utara hingga sekitar Pasar Cinde.
 
=== Kuto Besak ===
Pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Bahaudin (1776-1803), dibangun Keraton Kuto Besak. Letaknya di sebelah barat Keraton Kuto Tengkuruk. Kuto ini mempunyai ukuran panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99 meter, dan tebal dinding 1,99 meter membujur arah barat-timur (hulu-hilir Musi). Di setiap sudutnya terdapat bastion. Bastion yang terletak di sudut baratlaut bentuknya berbeda dengan tiga bastion lain, sama seperti pada bastion yang sering ditemukan pada benteng-benteng lain di Indonesia. Justru ketiga bastion yang sama itu merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak. Di sisi timur, selatan, dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut lawang kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi. Pintu masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua, tetapi yang masih tersisa hanya sebuah di sisi barat.
Perang Palembang 1821 dan dibubarkannya institusi Kesultanan pada 7 Oktober 1823, bangunan Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto Tengkuruk, atas perintah van Sevenhoven kemudian dibangun rumah Regeering Commissaris yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
 
Perang antara Kerajaan Palembang – VOC pada tahun 1659 di Kuto Gawang pada tahun 1659.
Baris 128 ⟶ 144:
 
Silsilah para pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam sebagai berikut:
 
- Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659 – 1706 M)
- * Sultan MuhammadAbdurrahman MansyurKholifatul JayoMukminin IngSayidul LagoIman (1706165917141706 M)
-* Sultan Muhammad SultanMansyur AgungJayo KomaruddinIng Sri TrunoLago (1714170617241714 M)
* Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714 – 1724 M)
- * Sultan Anom Alimudin (Meskipun menjadi sultan tetapi tidak memerintah)
- Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Badaruddin I) (1724 – 1758 M)
-* Sultan Mahmud SultanBadaruddin AhmadJayo NajamuddinWikramo (Sultan Badaruddin I) (1758172417761758 M).
-* Sultan Ahmad SultanNajamuddin Muhammad BahauddinI (1776175818041776 M).
-* Sultan Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M)
* Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II)(1804 – 1821)
- * Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin (1813 – 1817)
- * Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 – 1821)
- * Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823)
- * Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III)(2003 – sekarang)
- * Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006 – sekarang)
 
== Sistem Pemerintahan ==
Menurut Hanafiah (1995), selama memerintah, Sultan Abdurrahman telah meletakkan tata kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang kuat. Dalam bidang pemerintahan, ia menerapkan sistem perwakilan di daerah pedalaman atau dikenal dengan istilah raban dan jenang. Undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuatnya dituangkan dalam bentuk piagem (piagam), yang harus dilaksanakan oleh setiap daerah yang masuk dalam pengaruh kekuasaan Palembang, seperti Bangka, Belitung, sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang Bawang/Mesuji) (Hanafiah, 1995:197-200).
Baris 188 ⟶ 206:
Dari wilayah Sumatra Selatan, wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam meluas ke beberapa daerah seperti Bangka, Belitung, sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang Bawang/Mesuji). Perluasan wilayah ini sebagian besar terjadi ketika Kesultanan Palembang Darussalam berada di bawah pemerintahan Sultan Abdurrahman (Hanafiah, 1995:197-200).
 
== Ekonomi ==
Kesultanan Palembang berada kawasan yang strategis dalam melakukan hubungan dagang terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga berkuasa atas wilayah kepulauan Bangka Belitung yang memiliki tambang timah dan telah diperdagangankan sejak abad ke-18.<ref>{{cite book |last=Ricklefs |first=M.C. |authorlink=Merle Calvin Ricklefs |title=A history of modern Indonesia since c. 1300 |page= 139}}</ref>
 
== Peperangan ==
{{Further|Perang Menteng}}
Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara [[Belanda]] yang berada di Palembang, namun ia menolak bekerja sama dengan [[Inggris]], sehingga [[Stamford Raffles|Thomas Stamford Bingley Raffles]] mengirimkan pasukan menyerang Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa melarikan diri dari istana kerajaan, kemudian Raffles mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin II adik Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai raja. Pada tahun 1813 Sultan Mahmud Badaruddin II kembali mengambil alih kerajaan namun satu bulan berikutnya diturunkan kembali oleh Raffles dan mengangkat kembali Sultan Ahmad Najamuddin II, sehingga menyebabkan perpecahan keluarga dalam kesultanan Palembang.<ref name="Ricklefs140">{{cite book |last=Ricklefs |first=M.C. |authorlink=Merle Calvin Ricklefs |title=A history of modern Indonesia since c. 1300 |page= 140}}</ref>
 
Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya dan menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Najamuddin II dan mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali bangkit melakukan perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Lalu pada tahun [[1819]], Sultan mendapat serangan dari pasukan Hindia yang antara lain dikenal sebagai [[Perang Menteng]] (diambil dari kata Mungtinghe). Pada tahun 1821 dengan kekuatan pasukan lebih dari 4000 tentara, Belanda kembali menyerang Palembang dan berhasil menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang kemudian diasingkan ke Ternate.<ref name="Ricklefs140"/> Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin III anak Sultan Ahmad Najamuddin II sebagai raja berikutnya, namun pada tahun 1823 Belanda menjadikan kesultanan Palembang berada dibawah pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan istana. Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, namun dapat dengan mudah dipatahkan oleh Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin III menyerah kemudian diasingkan ke Banda Neira.<ref name="Ricklefs140"/>
 
== Sumber ==
* B.J.O. Schrieke. 1974. Penguasa-Penguasa Pribumi, Jakarta: Bharata dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
 
Baris 195 ⟶ 223:
 
* Kemas Ari, 2006, “Sultan Di Mata Taufik Wijaya”, diunduh dari kesultanan-palembang-darussalam.com. pada 15 Desember 2009.
 
* “Kesultanan Palembang”, diunduh dari http://wiki-indonesia.club, pada tanggal 16 Desember 2009.
 
* <nowiki> </nowiki> Kms H Andi Syarifuddin. 2008. “Mengenal Adat Istiadat Palembang”, diunduh dari http://dodinp.multiply.com, pada 14 Desember 2009.