Pehkulon, Papar, Kediri: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan |
k sejarah berdirinya Desa Pehkulon |
||
Baris 11:
|kepadatan =-
}}
'''Pehkulon''' adalah sebuah [[desa]] di [[kecamatan]] [[Papar, Kediri|Papar]], [[Kabupaten Kediri]], [[Jawa Timur]], [[Indonesia]].
'''A.
Latar Belakang'''
'''1.
Kondisi Sosial
Politik'''
Pedang
peperangan terus mengoyak ketenangan pulau Jawa setelah mangkatnya Sultan Agung
Hanyokrokusumo pada tahun 1645 M.[1]
Pemerintahan pulau Jawa di selimuti oleh perebutan kekuasaan dan ''intrik''
yang berkepanjangan seiring dengan mulai menguatnya pengaruh VOC Belanda di
pusat kekuasaan Jawa.
Pemberontakan
demi pemberontakan, mulai Trunojoyo yang berpusat di Kediri pada antara tahun
1674-1680 M[2]
dan di lanjutkan pemberontakan Untung Suropati antara tahun 1684-1706 M[3], dalam
pada itu pada tahun 1703 sepeninggal Sri Susuhunan Amangkurat II, terjadi
perang suksesi Jawa II (1704-1708), yaitu perang perebutan kekuasaan Kartasura
antara Amangkurat III (Sunan Mas) dengan pamannya yaitu, Pangeran Puger yang
menyebabkan perebutan kekuasaan antar Pangeran Mataram yang melahirkan
Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran menyebabkan
penduduk Mataram sangat merasakan penderitaan akibat perang yang
berkepanjangan, perang antar saudara dan musuh yang justru malah memporak
porandakan kehidupan mereka. Pada tahun 1733 Pakubuwana II mengadakan perbaikan
perjanjian dengan VOC dengan membayar 10.000 real setiap tahun selama dua puluh
dua tahun untuk menutup tunggakan dan bunganya, 15.600 real setiap tahun untuk
menbiayai garnisun VOC di Kartasura 1000 Koyan (1.700 metrik ton) beras setiap
tahun selama lima puluh tahun. Hal ini berlangsung sampai putusnya hubungannya
dengan VOC pada tahun 1741. Hal tersebut menyebabkan perpindahan penduduk
secara besar-besaran guna melepaskan diri dari beban yang berat tersebut.[4]
Sementara itu pasca
perjanjian Giyanti[5]
'''Raden Prawirosentiko''' salah seorang bangsawan Surakarta yang menjadi
kakak ipar Sultan Hamengkubuwono I di angkat oleh Sultan sebagai Bupati Wedana
di Madiun, dengan nama baru ''Ronggo Prawirodirjo'' menggantikan bupati
wedono Mangkudipuro.[6] Tahun
1784 Ronggo Prawirodirjo I wafat dan dimakamkan di Pemakaman Taman yang
kemudian oleh Sultan Hamengku Buwono ditetapkan sebagai Tanah Perdikan.
Pada tahun (1797-1810) cucunya yang bernama '''Ronggo
Prawirodirjo III''' menjabat Bupati Madiun ke 16 beliau juga menantu
Sultan Hamengku Buwono II atau suami dari Gusti Kanjeng Ratu Maduretno,
Ronggo Prawirodirjo III gugur saat perang melawan Pasukan Yogyakarta, atas
kehendak Belanda di Kertosono (17-12-1810), kemudian dimakamkan di
pemakaman Banyu Sumurup. Tahun 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX,
Ronggo Prawirodirjo III dimakamkan kembali di Pemakaman Giripurno, Gunung
Bancak disamping makam Permaisurinya yaitu GKR Maduretno. Beliau mempunyai
penasehat keagamaan yang bernama Kyai '''Bilawi''' yang merupakan putra dari
Kyai Muhammad bin Umar Banjarsari Madiun. Kyai Bilawi ini juga di makamkan di
Pemakaman Giripurno Gunung Bancak, Magetan.
Pada tanggal 1
Januari tahun 1800 VOC dibubarkan dan kekuasaan atau kendali atas daerah-daerah
jajahan diambil oleh Pemerintah Belanda, keadaan Kerajaan Jawa diperparah
akibat pergantian VOC ke tangan pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1808 M
Hindia Belanda membuat jalan raya dari
Anyer (Banten) sampai Panarukan (Besuki) tujuannya sebagai pos pertahanan untuk
menghadapi Inggris. Selain itu Pemerintahan Hindia Belanda juga menjadikan para
Bupati di pesisir Jawa sebagai pegawai negeri dengan mendapatkan gaji tetap
dari pemerintah Hindia Belanda (1808 M). Pada tahun 1811 M Hindia Belanda tidak
mau membayar uang sewa lagi atas daerah pesisir kepada Kerajaan. Hal inilah
yang menjadi kerisauan kerajaan karena pendapatannya akan berkurang. Alasan
Hindia Belanda melakukan kebijakan ini agar dapat menutupi kerugian dan hutang
VOC yang besar pada pemerintahan
Kerajaan Belanda dan mengefisienkan administrasi pemerintahan.
Situasi politik
yang tidak menentu di perparah dengan adanya perang Diponegoro yang meliputi
sebagian besar wilayah kerajaan Mataram di Jawa seperti Semarang, Kedu,
Bagelan, Tegal, Pati, Pekalongan, Pacitan, Banyumas, Rembang, Bojonegoro, dan Kediri.
Peperangan yang terjadi antara tahun 1825-1830 ini menelan korban tidak kurang
15000 tentara dan menghabiskan biaya lebih dari 20 Juta Gulden. Sementara pada
penduduk pribumi hampir 200.000 ribu hilang atau meninggal.[7]
Pada
tahun 1830 pada
saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar
(Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal
Judo mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup
defisit anggaran pemerintah penjajahan. Sistem tanam paksa berangkat dari
asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang
biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang
bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya
untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa
untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan
menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan
mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila
pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak
tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang,
desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain. Sistem
tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai
tahun 1835.
Menjelang tahun 1840 sistem
ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.[8]
Pabrik gula mulai
banyak didirikan untuk mendukung kebijakan ekonomi tersebut di daerah-daerah.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pabrik-pabrik gula yang berproduksi
khususnya di Pulau Jawa. Selain itu, banyaknya tenaga kerja dari penduduk
sekitar dan bahan baku tebu yang diambil dari lahan perkebunan penduduk sekitar
pabrik dapat membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat serta mendorong
majunya perekonomian di daerah tersebut. Namun, dampak langsung dari pendirian
pabrik tersebut kebutuhan akan persediaan kayu yang cukup besar, sehingga
menyebabkan hutan lenyap, lahan yang sedianya subur dan dipergunakan untuk
menghasilkan beras, ditanami tebu dan banyak buruh yang diambil dari penduduk
sekitar dipekerjakan secara paksa.[9] Pendirian
pabrik ini menyebar di seluruh pelosok pulau Jawa termasuk di daerah Kediri,
ada pabrik gula Meritjan yang didirikan pada tahun 1809, dan pabrik gula
Minggiran pada tahun 1831.[10]
Pada
tahun 1835 M wilayah
mancanagara (diluar karesidenan
Surakarta dan Yogyakarta) dijadikan pemerintah Hindia
Belanda sebagai lahan tanam paksa yang berlangsung hampir 40 tahun. Lahan
rakyat yang diwajibkan untuk tanam paksa hanya 1/5 dari miliknya tapi pada
prateknya 1/2 lebih lahan digunakan. Lahan rakyat itu ditanami produk-produk
pertanian yang mempunyai harga jual tinggi. Sejak saat itu diperkenalkan produk
pertanian yang baru di Jawa. Diantaranya adalah tebu, nila dan lada.
Tanam paksa berakhir sejak dibuatnya UU
Agraria tahun 1870M. Sejak saat itulah muncul privatisasi dan liberalisasi di Hindia
Belanda. Para petani tidak lagi diwajibkan bercocok tanam secara paksa tetapi
mulai menjadi buruh kontrak ataupun
menyewakan lahan tanahnya
bagi perusahaan swasta
asing. Buruh kontrak tersebut dipekerjakan pada perkebunan
dan pabrik milik perusahaan asing. Sejak saat itu diperkenalkan produk
perkebunan yang baru di Jawa. Dan sejak saat itulah kapitalisasi dan
industrialisasi hadir di Pulau Jawa.[11]
'''A.
Awal Kedatangan'''
Pada saat itu, sekitar
paruh abad 18 M, sebuah rombongan yang terdiri dari keluarga prajurit prajurit
Mataram yang telah lelah karena harus di paksa berperang melawan saudaranya
sendiri, dengan di pimpin oleh seorang pemuda mantan prajurit Mataram yang
cakap, yang berasal dari Bagelen Purworejo Jawa Tengah yang juga berasal dari
keturunan Demak melakukan perjalanan ke arah timur, mencari tempat baru untuk
meneruskan kehidupannya sempat tersedak oleh peperangan, dengan penuh harapan
mereka menemukan suatu daerah yang masih belum berpenghuni.
Daerah tersebut
arah timur Desa Minggiran, terbentang daerah yang luas memanjang, agak becek
dan berair, karena di aliri tiga sungai, sebelah utara paling besar, sungai
Srinjing atau mereka sebut Kali Pancar Dermo yang mengalir dari timur lurus
bermuara ke sungai Berantas, kemudian yang tengah di sebut sungai Toyoaning
atau Kali Lanang, yang mengalir dari daerah Kayen Kidul dan Mukuh dan yang
paling selatan Sungai Patusan yang berasal dari Mbolo Kalipang dan sekitarnya.
daerah tersebut terhampar, menantang mereka dan memberi harapan baru bagi
kehidupan yang akan datang.
Di sebelah Selatan
agak ke Timur mereka menemukan sebuah wilayah dengan banyak tanaman Kemiri. Ada
sebuah situs yang di percaya peninggalan Kerajaan Kediri, situs peninggalan
Dewi Sekartaji Kediri ini mereka sebut situs Nyai Rondo Kuning yang sekarang
setelah berpenghuni terletak sebelah utara dari pemukiman penduduk. Mereka
berpencar ke arah timur sampai batas Desa Semambung, daerah yang sekarang di
sebut Gondang dan Jeblok. Untuk menandai wilayah baru mereka ini pemimpin
mereka yang bernama samaran '''Joyo Rejo''' mendirikan satu lingga (Batu
Persagi panjang) sebagai titik penanda wilayah yang akhirnya disebut situs Watu
Jagak.
Semua wilayah
tersebut masuk wilayah Kampung besar yang mereka beri nama ''Kreco ''dengan
tulisan ''Kleco ''karena banyaknya hewan berjenis siput yang bernama kreco yang
ada disekitar sungai-sungai yang tersebut di atas. Desa Kreco atau Kleco ini
berkembang pesat karena kesuburan tempatnya, dan segera menarik para pendatang
untuk ikut brmukim di perkampungan baru tersebut. Para pendatang lebih memilih
wilayah sebelah timur karena lebih kering dan relatif lebih aman dari banjir.
Mereka mulai
membuat jalan disebelah selatan situs Watu Jagak. Jalan utama ini membentang
dari sebelah timur wilayah yang sekarang menjadi lokasi Masjid Ar-Rosyad ke
arah barat sampai batas perempatan jalan rumah Pak Sumiran (almarhum mbah
Randung) yang sekarang di buat jalan Paving Block. Kemudian jalan selanjutnya
adalah selatan sungai Kali Lanang yang membentang dari arah depan rumah Pak
Jogo Tirto (Mantan) ke timur arah Mushola at-Taubat. Penduduk menempati
wilayah-wilayah sekitar jalan utama desa tersebut.
Setelah tata
letak Perkampungan selesai, mbah Joyorejo berkenan untuk kembali ke daerah
asalnya, masyarakat mengharapkan seorang pemimpin pengganti mbah Joyorejo dan
beliau memilih salah seorang dari daerah Logujek Papar yang bernama '''Bulawi'''.[1]
'''MASA
PEMERINTAHAN DESA KRECO'''
'''(Sebelum
Menjadi Pehkulon-Pehwetan) '''
'''A.
Masa Perintisan Desa
dan Perkampungan (Babad Desa)'''
Tidak ada sumber
tertulis atau peninggalan yang otentik selain dari sumber cerita lisan para
sesepuh Desa bagaimana awal terbentuknya perkampungan atau Desa Pehkulon. Hanya
seperti yang di ceritakan pada awal masa kedatangan bahwa ada sekelompok orang
dari Mataram yang datang di pimpin oleh seorang yang bernama '''Joyo Rejo '''yang
konon berasal dari Bagelen Purworejo atau menurut cerita yang lain berasal dari
Demak.[1] Prakiraan
tahun kedatangannya hanya berdasarkan perkiraan masa-masa sebelum mbah Bulawi
yaitu sekitar paruh pertama dari tahun 1700 an.
Bagelen sebagai daerah
pertanian paling produktif karena wilayahnya yang dilewati empat sungai besar
menjadikannya sebagai wilayah tanah pemasukan pajak untuk kas keraton sebagai
gaji untuk para pejabat keraton sejak zaman Sultan Agung.[2] Bagelen
yang dekat pusat kerajaan Mataram juga mempunyai prajurit-prajurit yang cakap
yang sejak zaman Kesultanan Demak telah ikut andil sebagai salah satu pasukan
utama.[3] Penduduknya
terkenal sebagai para petani ahli yang menguasai berbagai teknik pertanian.
Pasca perjanjian Giyanti pada tahun 1755 wilayah ini menjadi wilayah yang tumpang
tindih antara wilayah kesunanan Surakarta dan kesultanan Yogyakarta yang kesemuanya
menerapkan beban pajak yang sangat memberatkan rakyat.[4] Karena himpitan
beban pajak serta ketidak stabilan politik pasca perjanjian Giyanti di daerah
Bagelen tersebut sangat memungkinkan terjadi perpindahan penduduk yang cukup
besar ke luar daerah.
Dengan latar belakang
seperti ini kemungkinan kedatangan para penduduk awal yang di pimpin oleh mbah
Joyo rejo sangat besar terjadi setelah perjanjian Giyanti tahun 1755. Latar
belakang militer serta kemampuan teknik pertanian yang sudah cukup baik sangat
memungkinkan mereka untuk mengatur dan mengolah tanah baru yang mereka buka.
Peran mbah Joyo Rejo
dalam proses babad dan penataan desa adalah sebagai pemimpin sementara mereka.
Setelah dirasa cukup beliau dikatakan kembali atau pergi lagi dari wilayah baru
ini, dan mengangkat seorang pengganti yang sangat mungkin berasal dari kerabat
atau daerah yang sama dengan beliau, Bagelen.[5] Nama
Joyo Rejo jelas merupakan nama panggilan yang bukan merupakan nama asli dari
beliau. Nama ini terdiri dari dua suku kata “Joyo” yang berarti kemenangan dan
“Rejo” yang berarti ramai. Ini mengandung unsur harapan yang berkaitan erat
sebagai tugas seorang tetua yang membuka lahan permukiman baru. Nama Joyo Rejo
merupakan perwakilan dari semua harapan dan doa bagi para penduduk yang baru
menempati desa tersebut.[6] Bisa
jadi nama ini diberikan oleh generasi setelahnya sebagai nama samaran dan
memberi penanda. Hal ini menarik karena nama asli lurah desa pertama (Bulawi)
bisa diketahui sementara justru nama pendahulunya cukup Joyo Rejo. Asumsi
penulis beliau adalah orang penting yang menyembunyikan identitas aslinya
karena faktor politik.
Tugu berbentuk persagi
panjang dari batu yang dikenal oleh orang-orang sebagai situs Watu Jagak sangat
berkaitan erat dengan awal mula pembukaan wilayah perkampungan ini. Ada
berbagai kemungkinan apa dan bagaimana fungsi dari watu jagak ini. Kemungkinan
pertama watu jagak ini di buat oleh mbah Joyo sebagai penanda Desa atau semacam
prasasti. Kemungkinan kedua watu jagak ini sudah ada sebelum orang-orang datang
yang mungkin peninggalan purba atau peninggalan masa Hindu yang memang banyak
berada di wilayah Kediri yang kemudian di alih fungsikan sebagai tugu penanda desa.
Hal ini memerlukan penelitian arkeologis lebih lanjut. Tetapi jelas menurut
semua orang Watu Jagak ini bukan merupakan kuburan atau makam dari mbah Joyo
Rejo.
'''B.
Masa Pemerintahan
Mbah Bulawi (1762-1802 M)'''[7]
Tidak ada keterangan
tertulis dari masa ini kecuali hanya cerita lisan bahwa beliau berasal dari
Logujek Papar Kediri, yang di tahbiskan menjadi pemimpin Desa untuk menggantikan
Mbah Joyo Rejo. Dari asumsi ini, melihat analisa Rickfles bahwa terjadi
gelombang perpindahan penduduk besar-besaran dari Jawa tengah karena tekanan
ekonomi akibat kebijakan politik[8], bisa
jadi beliau berasal dari keluarga prajurit Mataram yang ''desersi'' atau
lari mengungsi ke wilayah-wilayah yang relatif lebih aman dan subur seperti
tepian sungai Brantas. Wilayah Papar mungkin menjadi wilayah lebih dahulu di
datangi oleh para pendatang tersebut di banding wilayah sebelah selatan. Dari
kelompok-kelompok awal pendatang baru dari Mataram ini, yang tinggal sepanjang
tepian sungai Brantas sebelah timur, dimungkinkan berasal dari
kelompok-kelompok yang sama yaitu mereka yang lari dari tekanan politik atau
ekonomi dari daerah Mataram. Dari jaringan inilah yang memungkinkan terjadinya
penunjukkan mbah '''Bulawi''' oleh mbah Joyo sebagai pemimpin Desa sebagai
pengganti beliau. Nama Bulawi bisa saja berasal dari '''''Baidhowi '''''nama
seorang tokoh agama perintis agama Islam yang ada di Bagelen.[9]
Penunjukkan mbah Bulawi
sebagai pemimpin Desa pada saat itu mengisyaratkan bahwa para penduduk
pendatang tersebut belum ada yang siap atau memang terdiri dari orang-orang
kalangan bawah yang memerlukan pimpinan orang yang cukup kuat secara pribadi
selain yang pasti berasal dari keturunan yang lebih tinggi derajat sosialnya
sebagaimana tradisi kepemimpinan pada saat itu. Dan mbah Bulawi jelas dari
kalangan penduduk pendatang yang berasal dari jaringan yang sama dan jelas
telah dikenal dengan baik sebelumnya oleh mereka.
Rentang waktu yang lama
yakni sekitar 40 tahun menurut tradisi lisan dari masa pemerintahan mbah Bulawi
ini, menambah kemungkinan pertambahan penduduk yang semakin padat ditambah
situasi politik dari pusat-pusat pemerintahan Jawa (Mataram) yang justru
semakin tidak kondusif bagi rakyat. Sebagai Lurah beliau diberi tempat di
sebelah selatan Kali Lanang (ketika masih belum disatukan dengan sungai
Srinjing) di pekarangan yang sekarang menjadi rumah Mbokdhe Suparmi
(Almarhumah) sampai timur batas pekarangan mbah Wiji.
Belum diketahui dengan
pasti bagaimana keadaan pemerintahan pada saat itu, serta apakah beliau
mempunyai keturunan serta siapa saja keturunannya.[10]
[1] Keterangan dari mbah Wo
Mat Ya’kub, bahwa beliau memerintah selama 40 tahun. Keterangan tahun yang ada
pada urutan Lurah ini sampai Lurah ke 8 yaitu mbah Sastrorejo Wolo adalah
berdasarkan tahun menjabat yang di terangkan oleh mbah Wo Mat Ya’kub. Wawancara
pada tanggal 21 Desember 2013.
[2] Terdapat dalam naskah no.1
dalam arsip sebelum Perjanjian Giyanti tentang pembagian wilayah kerajaan, struktur
birokrasi, dan nama kesatuan prajurit Mataram pada masa pemerintahan Sultan
Agung Hanyakrakusuma(1613-1645). S. Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta
1769-874. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010, h.1.
[3]Radix Penadi, ''Menemukan
Kembali Jati Diri Bagelen dalam Rangka Mencari Hari Jadi Purworejo'': Lembaga
Studi dan Pengembangan Budaya, 1993, h. 26-28.
[4]Antara lain pajak tanah,
Takker turun, Kirjaji (Kirgaji), Pacumplang, Uang bekti, Pasumbang, Pajindralan,
Peniti, Bijigar, Uborompo, Pakuning, Pairing,dan Pundutan. Dalam P.M.Laksono, ''Tradisi
dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan: Alih-Ubah Model Berpikir
Jawa''. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985 h.79-80.
[5]
Keterangan dari mbah Wo Mat Ya’kub.
[6]
Sahid teguh widodo dkk, Nama Orang Jawa: Kepelbagaian Unsur dan Maknanya, Sari
-International Journal of the Malay World and Civilisation 28 (2) 2010:
259-277.
[7] Keterangan dari mbah Wo
Mat Ya’kub..
[8] Lihat M. C. Ricklefs, ''Sejarah
Indonesia Mpdern, ''h. 136.
[9]Kyai Baidhowi dikenal
sebagai perintis agama Islam pertama di Bagelen yang mendirikan masjid pertama
di Bagelen sebagai hadiah dari Sultan Mataram, tahun 1679 M, lihat Musafirul,
Huda (2012) ''Perlawanan Raden Adipati Cokronegoro Terhadap Pasukan
Pangeran Diponegoro Di Bagelen (1825-1830).'' S1 Thesis, Universitas
Negeri Yogyakarta. H. 30.
[10]
Mbah Wo Mat Ya’kub hanya mengatakan kemungkinan besar pak Sujak Ngalim adalah
keturunan beliau tetapi kurang pasti. Pak Ihsan Rosyadi (putra pak Sujak
Ngalim) ketika di konfirmasi oleh penulis juga tidak bisa memberikan kepastian
tersebut.
[1] Wawancara dengan mbah Mat
Ya’kub (Mantan Kepala Dusun Pehkulon) 87 Tahun, yang menerima cerita ini dari
Mbah Carik Mantan pada tahun 1957, pada hari Sabtu, 21 Desember 2013.
[1] http://wiki-indonesia.club/wiki/Sultan_Agung_dari_Mataram,
di akses tanggal 12 Pebruari 2014
[2] http://wiki-indonesia.club/wiki/Trunojoyo,
di akses tanggal 12 Pebruari 2014
[3] http://wiki-indonesia.club/wiki/Untung_Suropati,
di akses tanggal 12 Pebruari 2014
[4] M. C. Ricklefs, ''Sejarah
Indonesia Mpdern, ''diterjemahkan Dharmono Hardjowidjono, (Gadjah Mada
University Press, November 2007), h. 136.
[5] Pada Hari Kamis, 13
Pebruari 1755.
[6] Menurut catatan Gubernur
Pesisir Jawa Bagian Utara, W.H. Van Ossenberch tanggal 13 Mei 1765.
[7] http://wiki-indonesia.club/wiki/Diponegoro,
diakses tanggal 12 Desember 2014
[8] Wikipedia, culturstelseel,
diakses 10 Desember 2014
[9] Kano, H., Husken, F. &
Surjo, D. 1996. Di Bawah Asap Pabrik
Gula. Bandung: Akatiga dan Gadjah Mada University Press, hlm. 50-51.
[10] ''Geillustreed Weekblad
Voor Nederland en Kolonien – 10 Jan 1923, ''diakses dari blog.
[11] History of Java, h. 71-74
{{Papar, Kediri}}
|