Kabupaten Kebumen: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Perbaikan pranala
Makam Syeikh Abdul Awal: Perbaikan pranala
Baris 539:
 
==== Makam Syeikh Abdul Awal ====
Makam Syeikh Abdul Awal terletak di [[Kebonsari, Petanahan, Kebumen|desa Kebon Sari kecamatan Kebumen]], tidak terlalu jauh dari makam muridnya Syeikh Anom Sida Karsa. Syeikh ini dulu bernama "Mangkurat Mas", dari [[Yogyakarta]], putra R. Pemanahan dari istri Padmi. Anak Ki Ageng Pemanahan ada 2 yaitu "Mangkurat Mas" dan "Mangkurat Kuning".

Cerita berawal saat Ki Ageng berpesan kepada anaknya, lewat adiknya Ki Ageng Giring yang bermukim di Cirebon. Ki Ageng Pemanahan memberi wangsit jika suatu saat Ki Ageng mangkat, maka kekuasaan keraton Yogyakarta diserahkan kepada anak sulungnya, Mangkurat Mas. Namun begitu ayahnya meninggal, Ki Ageng Giring malah tidak peduli dengan amanah untuk menyerahkan titipan kekuasaan kepada Mangkurat Mas. Melalui patih Martapala-Martapura, sehingga terjadi geger dan menjadikan Mangkurat Mas pergi dari keraton dengan prinsip bahwa kekuasaan hanya akan akan menjadikan seseorang bertaruh dan mungkin sampai di akhir ajal, hanya akan bertaruh dan memperebutkan kekuasaan saja. Dan akhirnya kekuasaan di Yogyakarta jatuh ke tangan Ki Ageng Giring, sedangkan Mangkurat Mas pergi dari kerajaan, menuju ke arah barat dan sampai di seputar desa yang sekarang ini disebut Kebonsari.
Pada satu saat datanglah Raden Patah putra dari Prabu Brawijaya V-Raja Majapahit terakhir ke tanah jawa. Kedatangan R. Patah menjadikan tanah jawa geger karena dia bermisi menundukkan negara Pandawa tengah. Pada saat itu Mangkurat Mas yang juga dikenal sebagai Syech Abd. Awal sudah bermukim di Kebonsari, meski namanya belum Kebonsari. Lama-kelamaan, Di Kebonsari, Mangkurat Mas membawa ilmu para wali ibarat hanya sebulir padi/semenir, dipecah menjadi empat madzhab. Sembari bermukim disini, Mangkurat Mas memberikan wewarah kepada banyak orang tentang ilmu-ilmu para wali.
 
Kedatangan R. Patah ke tanah jawa diikuti dengan proses penyerangan perilaku ibadah umat-umat Islam yang merujuk pada ajaran wali, digeser dengan ilmu agama suci dari tanah Saudi-ajaran Rasul Muhammad saw. Awalnya di tanah jawa yang diamalkan ilmu Kuntadewa.<ref name+=mustikajikebumen>[http://mustikajikebumen.blogspot.com/2009/06/sejarah-desa-kebonsari-kecpetanahan.html Sejarah Desa Kebonsari Kecamatan Petanahan]</ref>
Di Kebumen, Mangkurat Mas alias Syech Abdul Awwal punya banyak murid, diantaranya di Guyangan, Syech Sidakarsa dan Syech Abdul Rosyid. Sebagai seorang pembawa ajaran Islam Jawa/sinkretik/ilmu kebatinan/ilmu ratu tanah jawa, Syech seorang diri mengajarkan ilmunya di daerah ini. Ada tokoh lain yang dikenal yaitu Syech Abdul Muhyi, namun beliau membawa risalah Islam murni dari tanah Arab. Abdul Muhyi anak dari panembahan Sultan Imam Mahdi dari tanah Madinah.
Begitu lama merasa cukup lama bermukim di Kebumen, Syech ingat akan sebuah pesan yang tertulis di kitabnya untuk pergi ke tanah suci-naik haji. Pada saat Syech naik haji, beliau menggunakan “mancung” dari pohon kelapa. Keajaiban itu bisa diwujudkan karena ilmu kebijaksanaan yang dimiliki oleh Sang Syech.
Baris 548 ⟶ 550:
Dalam ceritera, R. Patah yang membawa risalah rasul Muhammad adalah putra dari pernikahan putri Cempa-Cina dengan Raja Brawijaya-raja Majapahit yang terakhir. Versi dongeng, diberi nama Patah dari makna banyu patang wulan bali ngulon meng Cina. Dulu, ratu Sriwijaya alias sang ayah putri Cempa menciptakan Putri Cempa yang berwujud jin raksasa, dicipta menjadi putri cantik seperti putri di daerah tanah Jawa. Saat sudah menjadi cantik, ia berkeliling di seluruh tanah jawa membawakan seni lagu dan tari-tarian untuk dipertunjukkan. Ratu Brawijaya melalui Patih Gajah Mada, jatuh cinta pada putri Cempa dari Palembang dan ingin mempersunting menjadi istri sebagai istri ke-41. Setelah menikah dengan Raja Brawijaya, Putri Cempa hamil dan mengidam. Yang diinginkan Putri Cempa saat mengidam adalah rujak babi. Sebagai suami, Sang Prabu menuruti permintaan istrinya dengan memerintahkan kawulanya berburu babi dan memasaknya. Setelah makan, ternyata Putri Cempa yang cantik tiba-tiba berubah ke wujud semula, seorang raksasa. Dengan perubahan wujud itu, Sang Putri menjadi malu dan segera terbang kembali ke tanah asal, Banyu patang wulan alias R. Patah dibawa serta. Sat kembali ke negerinya, Putri Cempa dipersunting oleh Arya Damar-Raja Palembang. Disana, lahirlah R. Patah. Sebagai ayah, Prabu Brawijaya berpesan agar Arya Damar tidak menghilangkan identitas R.Patah yang merupakan keturunan langsung dari Majapahit. Di kemudian hari R. Patah pergi menuntut ilmu ke Mesir sehingga ia menjadi seorang alim dan kelak menjadi penyebar ajaran Islam-Rasul di tanah jawa, bahkan menyerang ayah kandungnya sendiri yang berkuasa di Majapahit yang nota benenya pemegang tradisi dan kepercayaan Hindu. R. Patah adalah anak kandung dari putri Cempa, hasil dari pernikahan keduanya dengan Prabu Brawijaya. Sedangkan sebelumnya Putri Cempa sudah pernah menikah dan berputrakan Raden Husen.
Awal sebelum R. Patah mengetahui keberadaan ayah kandungnya, ia bertanya kepada ibunya. Setelah ibunya menceritakan sebenarnya darah siapa yang mengalir pada diri R. Patah, maka segera R. Patah ingin menyusul ayah kandungnya di Majapahit. Sebelum ia tiba di Majapahit, ia singgah dulu di Demak Bintoro dan diterima oleh Sunan Ampel. Oleh Sunan Ampel, R. Patah dinikahkan dengan cucunya-putri Mloko, dan dijadikan Bupati Demak Bintoro. Setelah cukup lama menetap di Bintoro, R. Patah ingin melanjutkan ke Majapahit. Di tengah jalan ia bertemu dengan Sunan Giri. Saat R. Patah menyatakan maksudnya, Sunan Giri melarang dia melanjutkan niatnya dengan alasan ilmu para wali yang sudah mengakar di tanah jawa, tidak boleh diganggu gugat, dirubah atau dicampuri oleh ajaran Islam yang berasal dari tanah Arab. Namun dalam kenyataannya, R. Patah yang kemudian bertemu dengan saudara tirinya R. Husen, menegakkan agama rasul di tanah jawa. Pada saat itulah para wali pemegang ajaran sinkretik mundur agar tidak terjadi pertentangan di kalangan umat. Secara garis besarnya, agama Rasul dipandang sebagai ajaran yang mengutamakan syariat sedangkan para wali dianggap sebagai pembawa ajaran tarekat. Sedangkan idealnya seorang umat adalah mengamalkan ilmu Rasul dan meneladani perilaku wali, namun sekarang tidak demikian.
Di Kebumen, tempat mukim Syech Abdul Awwal adalah di pedukuhan Kedungamba, desanya Grogol Beningsari. Namun begitu direbut oleh Belanda daerah ini termasuk desa Kebonsari. Kedungamba diambil dari makna, kedung artine jero lan amba, melambangkan begitu dalam dan luasnya ilmu wali yang dibawa oleh Syech Abdul Awwal. Saat tiba di Kedungamba, Syech Abdul Awwal membawa rasa sedih karena terusir dari istananya. Saat tiba disini sudah ada sekitar 50 orang penduduk yang menghuni Kedungamba, namun hingga kini sulit ditelusuri siapakah mereka dan berasal dari mana.<ref name+=mustikajikebumen/>
 
Satu cerita lagi, pada suatu saat Ratu [[Yogyakarta]] yang merupakan permaisuri Ki Ageng Giring ''gering'' (sakit), Mangkurat Mas lah yang berhasil menyembuhkannya. Sesuai dengan janji yang diucapkan Ki Ageng Giring bahwa siapapun yang berhasil menyembuhkan istrinya akan dituruti segala permintaannya. Sebagai hadiah atas keberhasilannya, Mangkurat Mas muda meminta tanah seluas serban, yaitu bumi Mataram yang di kemudian hari ditempati, Kedungamba. Sebelumnya Ki Ageng Giring telah menawarkan tanah antara sebelah timur sungai Praga sampai Sitandu, namun Mangkurat Mas menolak. Karena merupakan tanah hadiah dari sultanSultan maka Kedungamba disebut sebagai tanah Keputihan yang tiap tahunnya tidak terkena pajak ke Mataram, namun hanya menyetorkan bulu bekti atau ''glondhong pengareng-pengareng'' berupa [[padi]], [[palawija]], dll saja tiap tahun pada musim panen ''sado'' ke [[Mataram]] berpakaian jarit wiru dan blangkon. Saat menyerahkan bulu bekti, yang ikut sowan 7 orang sebagai perlambang martabat desa yaitu Lurah, Congkog, Carik, Kebayan, Kaum, Polisi dan Kamituwa. Oleh Mataram yang diberi kewenangan menjadi Lurah Kedungamba adalah Mangkurat Mas atau "Syech Abdul Awwal". Begitu Belanda menyerang, barulah Kedungamba dikenai pajak. Zaman dulu, orang-orang tidak dikenai pajak.<ref name+=mustikajikebumen/>
 
Deretan makam yang ada di kanan-kiri Syech Abdul Awwal. Sebelah barat Syech adalah makam putranya Abdul Rauf yang konon ceritanya ia selalu ingin mengungguli ayahnya, misal jika ia menimba air, bukannya menggunakan wadah yang rapat malah menggunakan keranjang yang berlubang, angina yang berhembus juga berusaha ia kekang dengan diikat memakai selendang, dan berbagai perbuatan Abdul Rauf yang mengesankan ia ingin mengungguli kesaktian ayahnya.<!-- informasi belum tertata dan diterjemahkan penuh ke dalam bahasa Indonesia -