Kabupaten Sumedang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Raden kanan (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
Raden kanan (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 132:
Daerah kekuasaan Geusan Ulun dapat disimak dari isi surat Rangga Gempol III yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Willem Van Outhoorn. Surat ini dibuat hari Senin, 2 Rabi'ul Awal tahun Je atau 4 Desember 1690, yang dimuat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari 1691.
Dalam surat tadi, Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan Kusumahdinata VI) menuntut agar kekuasannya dipulihkan kembali seperti kekuasaan buyutnya, yaitu Geusan Ulun. Rangga Gempol III mengungkapkan bahwa kekuasaan Geusan Ulun meliputi 44 penguasa daerah [[Parahyangan|''Parahyangan'']] yang terdiri dari 26
Ke-44 daerah di bawah kekuasaan Geusan Ulun meliputi:
Baris 189:
Keempat orang bersaudara, senapati dan pembesar Pajajaran yang diutus ke Sumedang tersebut, yaitu Jaya Perkosa (Sanghyang Hawu); Wiradijaya (Nangganan); Kondang Hapa; dan Pancar Buana (Embah Terong Peot).
Dalam Pustaka'' Kertabhumi I/2 ''menceritakan keempat bersaudara itu: ''"Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun, Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya"'' (Mereka mengabdi kepada [[Prabu Geusan Ulun]]. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lain), sehingga penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Nalendra penerus Kerajaan Sunda Pajajaran dan Raja Sumedang Larang ke-9 mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante,'' Kandaga Lante'' adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada ''Cutak'' (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak ± 9000 umpi, untuk menjadi Nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Pemberian pusaka Pajajaran pada tanggal 22 April 1578 akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang.
Jaya Perkosa adalah bekas senapati Pajajaran, sedangkan Batara Wiradijaya sesuai julukannya bekas Nangganan. Menurut Kropak 630, jabatan ''Nangganan'' lebih tinggi setingkat dari ''menteri,'' namun setingkat lebih rendah dari ''Mangkubumi.''
Di samping itu, menurut tradisi hari pasaran ''Legi'' (Manis), merupakan saat baik untuk memulainya suatu upaya besar dan sangat penting. Peristiwa itu dianggap sangat penting karena pengukuhan Geusan Ulun sebagai "nyakrawartti" atau Nalendra merupakan semacam proklamasi kebebasan Sumedang yang mensejajarkan diri dengan [[Kerajaan Banten]] dan [[Cirebon]]. Arti penting lain yang terkandung dalam peristiwa itu adalah pernyataan bahwa Sumedang Larang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran, di bumi Parahyangan.
Baris 199:
Berdasarkan bukti-bukti sejarah baik yang tertulis maupun babad/cerita rakyat, maka penetapan Hari Jadi Sumedang ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sejarah.
Serangan laskar gabungan Banten, Pakungwati, Demak, dan Angke pada abad XVI ke Pajajaran, merupakan peristiwa yang membuat Kerajaan Pajajaran ''Runtag'' (runtuh).
Berakhirnya Pajajaran pada waktu itu, tidak menyeret Sumedang Larang dibawah kepemimpinan Pangeran Santri ikut runtuh pula. Soalnya, sebagian rakyat Sumedang Larang pada itu sudah memeluk Agama Islam. Justru dengan berakhirnya masa kekuasaan Pajajaran, Sumedang Larang kian berkembang.
|