Batik Minahasa: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 55:
I
Manusia sungguh makhluk terkutuk. Betapa tidak, justru pada apa yang menjadi kelebihan kodratinya dibanding semua makhluk lain, yakni kesadaran (consciousness), di situlah ia mengalami problem fundamental dan buntu! Karena kesadarannya itu senantiasa menuntut adanya penilaian “benar” atas setiap sikap dan tindakannya, padahal kebenaran ternyata bukan saja harus sangat sukar dicapai tapi bahkan nyaris tak mungkin. Misalnya, untuk mengkonfirmasi betulkah warna kain bagian atas bendera negara kita itu merah ternyata tak semudah klaim kebenaran kita selama ini. Para pemikir zaman kuno sedari ribuan tahun silam telah menyadari kesukaran itu, para peneliti fisika modern melalui teori mekanika quantum pun melihat ketidaksederhanaan problem itu.
Maka pencarian serta penetapan kebenaran dengan metode korespondensi pun disepakati sebagai tak memadai. Sebagai gantinya, dikembangkanlah sistem kajian yang lebih mendalam, mendasar, radikal, sekaligus universal dan eternal, yang kemudian dikenal sebagai filsafat.
Filsafat yang, saking jauh mendalam dan meninggi ke langit, sampai menembus masuk ke area transenden nan sakral disebut teologi; obyek yang digarapnya adalah kuasa tertinggi gaib yang melatari semua alam fisika [supernatural]; dan para agen utamanya dibilang nabi.
Sementara filsafat yang taraf kedalamannya tidak boleh terlalu dijauhkan dari alam fisika, landasannya tetap harus obyektif, agar tetap relevan, tak melantur, problem solving, oleh Aristoteles disebut metafisika. Beyond the physics, melampaui alam fisika tapi hanya terletak persis di baliknya; dan para agen utamanya pun cukup disebut filsuf. [Itulah mengapa Plato, meski seorang filsuf, tapi karena filsafatnya sampai menggarap area Dunia Idea yang oleh masyarakat Yunani zaman itu maupun gereja Kristen awal dipercaya sebagai tempat persemayaman dewa-dewi maupun Allah, maka gurunya Aristoteles itu sampai pada abad IV Masehi pun masih disebut dengan hormat “Plato yang illahi” (Platon ho theios).] Metafisika memang jadi teori agung. Induk segala ilmu. Sampai ketika Hume pada abad XVIII menyadarkan jagat intelektual, bahwa sesungguhnya metafisika tak becus sebagai representasi kebenaran. Menurut David Hume — genius asal Skotlandia yang belum umur 12 tahun kuliah di Universitas Edinburg tapi tak lama sudah meninggalkan kampus lantaran merasa lebih efektif belajar sendiri — metafisika ibarat garpu yang ketika kita makan tak mampu meraih semua bagian makanan yang kecil-kecil, kuah, dan sebagainya. Maka upaya melebarkan daya cakup sang garpu, sambil merapatkan semakin ketat jari-jari penusuknya, dilakukan para filsuf kemudian. Terkenal metasifika Kant yang amat kompleks dan ketat, metafisika Hegel yang melebar sampai jauh ke Akhir Zaman, dan seterusnya. Namun semuanya tak memadai, sampai datang Filsafat Bahasa.
Filsafat Bahasa bukan filsafat mengenai bahasa, melainkan filsafat atau metode pencarian kebenaran yang mengandalkan bahasa. Ini dinilai jauh lebih handal dibanding metafisika. Menurut Wittgenstein — filsuf yang rumus matematika temuannya jadi dasar penemuan mesin berpikir alias komputer — jika cara kerja metafisika ibarat garpu atau jala yang bagaimanapun ketatnya tetap ada yang tak terambil, bahasa bekerja persis seperti pemotret. Potret akan merekam langsung seluruh yang ada dari obyek di hadapan kita. Tinggal selanjutnya memilah-milah tata bahasa tersebut.
Baris 64 ⟶ 67:
II
Logislah jika Semiotika dipandang paling sanggup menjadi jendela kebenaran. Kalau kita percaya pepatah “you’re what you read” ataupun “you’re what you eat” — pendek kata konsumsi jasmani maupun rohani kita mengkonstitusikan siapa sesungguhnya diri kita — maka terlebih lagi apa yang kita produksi! Memang ekspresi yang dari dalam kita, bukan dari luar yang bisa saja sudah dicampuri pelbagai faktor eksternal, tentu jauh lebih otentik. Nah, salah satu yang kita produksi, yang seutuhnya merepresentasi diri kita, ialah lambang. Lambang atau sistem tanda yang kita ciptakan buat mengomunikasikan pikiran, perasaan, karsa, aspirasi, yang terungkap secara lebih jujur dan komplit bahkan dibanding dengan apa yang ingin kita katakan. Bahasa, termasuk bahasa tubuh, gambar, musik, semua itu adalah lambang.
Teori tentang lambang, symbol, tanda, sudah sangat lama dikembangkan para pemikir. Ketika Aristoteles pada lebih dua ribu tahun lampau berteori tentang kata benda (noun) — kata sebagai penanda untuk menandai benda tertentu — itu semiologi.
Ketika Ch. Sander Peirce pada lebih seabad lalu berfilsafat tentang arti bendera putih untuk menunjuk petanda kalah, ia dipandang sebagai seorang perintis semiotika modern. Begitu juga sejumlah filsuf lain. Termasuk, dan terutama, Saussure beserta semua eksponen Filsafat Bahasa — karena dari perspektif filsafat semiologi jelas mereka pun mengajukan bahasa yang merupakan salah satu sistem simbol manusia itu sebagai metode pencarian kebenaran. Tetapi proklamasi Semiotika sebagai jalan filsafat pencarian kebenaran baru didemonstrasikan secara penuh dan konsekuen sejak dan oleh Barthes, Kristeva, Eco, Greimas, Hjelmslev, dan seterusnya.
Istilah semiotika atau semiologi dibentuk dari kata dasar semeion, bahasa Yunani, yang semakna dengan kata yang digunakan dalam proses diagnosis kedokteran untuk menunjukkan simptom.
Baris 76 ⟶ 81:
Saya tidak mau, dan merasa tak perlu, mengulas atau melakukan praktik metode semiologi atas seni Batik Minahasa, karena:
1. Tidak mau, karena itu harus menjurus pada kajian ilmiah. Dan pengenaan logika-logika serta bahasa “ilmiah” atas suatu karya seni sering kali menjadi kesewenang-wenangan. Biarlah seni tetap seni, yakni entitas yang tiba pada reseptornya melalui kepekaan rasa, pengalaman sublim, di dalam kemurnian kalbu.
Dalam hal ini Richard Rorty, eksponen PostModernisme Amerika, ada benarnya. Ketika ia mematok bahwa metafora puisi dan pelbagai ekspresi seni justru sebaliknya lebih sanggup mencapai kebenaran ilmiah dibanding deskripsi teoretis sains itu sendiri.
2. Tidak perlu, karena, sebagaimana ditegaskan Barthes dalam The Fashion System, hlm.230-231, signifikansinya toh sudah dapat dipahami meski tak terbaca. Kata orang Manado. “Biar ngana nyanda tulis, kita so dapa baca!”
Baris 88 ⟶ 94:
Sekali lagi, semiologi Barthes bertujuan [sebagaimana semua filsuf Barat abad XX yang dirasuk Kiri Baru atau Kritik Ideologi]: pengbongkaran selubung ideologis.
Di sinilah kita tiba pada titik simpang dengan Barthes. Dan untungnya ada semiolog lain yang punya penjelasan lebih menyempurnakan. Dia adalah Julia Kristeva, yang pula tersohor sebagai gembong feminisme. Perempuan asal Bulgaria kelahiran tahun 1941 ini juga sohor dengan terminologinya: “polilog”, polylogue. Sebagai alternatif penyempurna dari dialog (dialogue) apalagi monolog (monologue).
Kalau Barthes adalah anak kandung Filsafat Bahasa, khususnya Strukturalisme, sehingga memandang individu hanyalah sehelai daun dari sebuah pohon besar. Sehelai daun yang tak otonom, yang eksistensinya dan identitasnya tiada bila terlepas dari ranting.
Sehingga, dalam hal seni busana, Barthes selamanya lebih menujukan perhatiannya pada mode yang dihitungnya tak lain dari kemenangan sistem sosial atas individu. Keterjajahan pribadi seseorang oleh sosial-budayanya sendiri. Itu ada benarnya, dan memang lebih banyak buktinya. Tetapi hidup tentu tidak selamanya sesuram gambaran Barthes. [Dalam hal ini, diri Barthes beserta teorinya sendiri adalah penanda dari sejarah masa kecilnya yang muram.] Selalu ada musim semi, di samping musim dingin dan musim gugur. Dan bahkan bagi perancang busana yang kreatif, musim kemarau atau musim apapun akan jadi peluang baginya untuk menelorkan karya adiluhung.
Julia Kristeva sebaliknya. Menurutnya, ketika seorang individu membuat penanda maka saat itulah ia sudah berposisi dan berfungsi sebagai subyek. Ya, Subyek. Dengan huruf “S” besar. Maka pasti bukan lagi obyek.
Subyek yang dengan sadar menandai dunianya. Dan karenanya mewarnai masyarakatnya. Bukan obyek tak otonom yang sepenuhnya cuma ditentukan oleh masyarakatnya.
Mode, boleh saja seperti kata Barthes sebagai kemenangan penjajahan kapitalisme atas pribadi-pribadi. Tetapi jangan lupa, apa yang dijadikan mode itu — misalnya suatu karya cipta busana, atau suatu corak khas batik Minahasa — tak lain adalah karya cipta seni dari pribadi atau para pribadi yang menekuni estetika busana dan visual-art yang merefleksikan sukma Minahasa sejati. Sekali lagi, pribadi! Tinggallah persoalannya: adakah pribadi itu menebar terang di masyarakatnya atau sebaliknya menyesatkan ke jalan gelap.
Tetapi, sejauh itu, jelas Kristeva kita angkat tidak untuk mementahkan Barthes. Mereka saling menyempurnakan.
|