Irwan Prayitno: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Mengembalikan ke revisi 8417707 bertanggal 2015-01-30 23:08:26 oleh 36.69.179.81 menggunakan popups
Sigit Pranoto (bicara | kontrib)
sejarah yang benar.
Baris 33:
 
== Kehidupan awal ==
Irwan Prayitno adalah anak pertama, memiliki tiga adik, dari orangtua yang sama-sama dosen.{{sfn|Dai|2003|pp=188}} Lahir di Yogyakarta pada 20 Desember 1963, iaAyah mewarisidan darahibu Minangkabau dari ayahnya Djamrul Djamal dan ibu Sudarni Sayuti berasal dari Jogja dan telah menetap lama di Sumatera Barat. Ayahnya datang dari [[Simabur, Pariangan, Tanah Datar|Simabur]], [[Kabupaten Tanah Datar|Tanah Datar]] dan ibunya adalah kelahiran Pauh IX — yang secara administratif masuk ke [[Kuranji, Padang|Kecamatan Kuranji, Padang]]. Mereka sama-sama lulusan [[Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta|PTAIN Yogyakarta]] dan dosen [[IAIN Imam Bonjol]]. Sebelum tinggal di Padang, keluarga ini sempat menetap di Semarang sampai Irwan berusia tiga tahun, dan pindah ke Cirebon saat Irwan memasuki usia sekolah dasar.{{sfn|Dai|2003|pp=189}} Irwan muda kelak mendapatkan kepercayaan masyarakat [[Suku Tanjung]] sebagai penghulu Nagari Pauah IX dengan menyematkan gelar Datuk Rajo Bandaro Basa pada 13 Februari 2005 hanya sebagai pembuktian bahwa dia bukan orang Jawa.
 
Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang dan mulai berkecimpung di organisasi sejak SMA, menjalani dua kali kepengurusan OSIS pada tahun kedua dan ketiga di [[SMA Negeri 3 Padang]]. Selama di SMA, ia meraih juara pertama di kelasnya dan selalu dipercayakan sebagai ketua kelas.{{sfn|Dai|2003|pp=222}} Irwan sempat berkeinginan melanjutkan kuliah ke ITB bersama dengan teman-temannya. Namun, karena memunyai masalah mata, ia mengalihkan pilihan ke [[Universitas Indonesia]]. Setelah tamat pada 1982, ia mendaftar ke [[Fakultas Psikologi Universitas Indonesia]]. Selama kuliah, selain menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan, ia banyak menghabiskan waktu di luar kampus untuk berdakwah, mengajar di beberapa SMA swasta, dan menjadi konselor di bimbingan belajar Nurul Fikri.{{sfn|Dai|2003|pp=251}} Ini mengakibatkan kuliahnya tidak lancar. Namun, menurutnya yang ia cari dalam pendidikan bukanlah nilai semata, tetapi pengembangan diri.{{sfn|Dai|2003|pp=232}}