Pada tanggal 20 Mei 1949 ketika Surakarta diduduki oleh pasukan Belanda, R. Soenarto kedatangan tujuh orang siswa untuk berolah rasa (permenungan bersama tentang ajaran secara khidmat) dan ''menembahmanembah'' (beribadah kepada Tuhan dengan berpedoman pada Kitab Panembah) bersama.<ref name="Sopater 1"/> Di dalam penembahanpanembah tersebut, R. Soenarto menerima sabda yang berisi perintah untuk mengumpulkan siswa-siswa dalam suatu himpunan yang diatur seperti perkumpulan pada umumnya.<ref name="Rahardjo"/> Ketujuh siswa yang hadir tersebut kemudian berunding dan menyediakan diri untuk menjadi pengurus yang pertama.<ref name="Sopater 1"/> Gunawan menjabat sebagai ketua, Sutardi sebagai penulis dan Suratman sebagai bendahara, sedangkan R. Soenarto menjadi ''paranpara'' (penasihat).<ref name="Sopater 1"/> Di dalam pertemuan tersebut nama Paguyuban Ngesti Tunggal pun ditetapkan sebagai nama resmi perkumpulan ini, yang secara harafiahharfiah berarti Persatuan Memohon Tunggal dan kemudian diartikan sebagai persatuan untuk dapat hidup bertunggal.<ref name="Rahardjo"/>