Arsitektur dan peninggalan sejarah di Surakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k penggantian teks otomatis dengan menggunakan mesin AutoWikiBrowser, replaced: beliau → dia (4)
Baris 77:
=== Gedung Pengadilan Tinggi Agama ==
 
BANGUNAN INI LEBIH TERKENAL DENGAN SEBUTAN BANGUNAN GEDUNG PENGADILAN TINGGI AGAMA. Merupakan bangunan peninggalan masa kolonial. <ref>Hannif Faizah, 2013, Skripsi : Studi gaya kolonial pada interior MAN 2 Surakarta, ISI Surakarta</ref>
 
Gedung pengadilan tinggi agama merupakan salah satu bangunan bersejarah yang sering beralih fungsi.
tahun pendirian GPTA ini belum diketahui secara pasti, hal ini dikarenakan hilangnya monumen pendirian bangunan.
fungsi pertama kali digunakan sebagai rumah tinggal oleh '''NOGTJIK''', seorang peranakan tionghoa. tujuan pendirian bangunan untuk memperoleh kesetaraan pengakuan. setelah itu bangunan dibeli oleh saudagar kalimantan selatan, seorang saudagar yang sukses dengan jual beli emas.
 
 
bangunan ini kemudian beralih fungsi menjadi SEKOLAH -
1. '''Mambaul ulum''' tahun 1931 pada masa pemerintahan PAKU BUWONO X (1893-1939).
setelah surakarta berada dibawah pemerintahan RI tahun 1952, bangunan berubah nama menjadi 2. '''SEKOLAH GURU AGAMA'''
oleh kementrian agama RI berubah menjadi 3. '''PENDIDIKAN GURU AGAMA ATAS DAN PERTAMA'''.
 
bangunan ini berubah fungsi lagi menjadi KANTOR
Baris 93:
2. '''Pengadilan Tinggi Agama''' pada tahun 1973
 
karena berpindahnya pusat pemerintahan yang berada di Jakarta, bangunan ini beralih fungsi kembali menjadi bangunan SEKOLAH dengan nama '''MAN 2 Surakarta''' tahun 1992 sampai sekarang.
 
sampai saat ini, keberadaan bangunan baik dari arsitektur maupun interior masih dalam kondisi terawat dan dilindungi oleh dinas KEPURBAKALAN jawa tengah.
Baris 112:
 
Masjid Agung dibangun oleh Sunan [[Pakubuwono III]] tahun [[1763]] dan selesai pada tahun [[1768]].
Menempati lahan seluas 19.180 meter persegi, kawasan masjid dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter.
 
Di masjid inilah kegiatan festival tahunan [[Sekaten]] dipusatkan.
Baris 149:
Kompleks masjid menjadi satu dengan makam kerabat [[Keraton Pajang]], [[Kartasura]] dan [[Kasunanan Surakarta]].
 
Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh Sunan [[Paku Buwono X]] untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliaudia wafat.
 
Beberapa orang yang dimakamkan di tempat itu diantaranya adalah:
Baris 164:
Di makam ini terdapat tumbuhan langka [[Pohon Nagasari]] yang berusia lebih dari 500 tahun yang merupakan perwujudan penjagaan makam oleh naga yang paling unggul. Selain itu pada gerbang makam terdapat simbolisme perlindungan dari [[Betari Durga]]. Makam direnovasi oleh Paku Buwono X bersamaan dengan renovasi Keraton Kasunanan. Sebuah bangunan semacam pendapa yang diangkat dari pindahan Keraton Kartasura.
 
c-law-prasasti1.JPG
 
Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh PB X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliaudia wafat.
 
=== Geredja Katholik Antonius ===
Baris 175:
Klenteng yang terletak di Jalan R.E Martadinata no.12 ini pada awalnya berada di Kartasura, sebelum kemudian Keraton Kartasura dipindahkan ke Surakarta pada tahun 1745. Kelenteng ini kemudian juga pindah ke Solo dan didirikan bersamaan dengan pembangunan Kraton Surakarta. Walaupun merupakan tempat ibadah Tri Dharma, tapi sebutan kelenteng berubah menjadi "[[wihara]]" Avalokitheswara pada tahun 1965 sebagai imbas dari situasi politik pada saat itu.
 
Kelenteng Tien Kok Sie menempati lahan seluas ±250m², dan terdiri dari ruang pelataran depan, Ruang Thia, Ruang Sien Bing, dan bangunan rumah tangga penjaga kelenteng. Ruang Thia dan Ruang Sien Bing merupakan ruang pemujaan yan gberisi beberapa altar dan meja untuk persembahan kepada para dewa.
 
Kelenteng Tien Kok Sie pada awalnya dibangun untuk rumah ibadah golongan Tionghoa pribumi keluarga Keraton. Atas keputusan pemerintah kota Surakarta, kelenteng in imasuk ke dalam daftar Benda Cagar Budaya Surakarta<ref>Majalah Panduan, Januari 2012</ref>
Baris 191:
Bangunan ini dibuat oleh Sunan [[Paku Buwono IV]] bersamaan dengan dibangunnya [[Dalem Suryohamijayan]] dan [[Dalem Sasonomulyo]]. Ketika Dalem Poerwadiningratan selesai dibangun, Sinuhun PB IV berkenan untuk mengadakan ''Lenggah Sinoko'' (sidang pemerintahan dihadapan para menteri) di bangunan tersebut.
 
Dalem ini kemudian diserahkan kepada [[Ratu|Kanjeng Ratu]] [[Pembayun]] yang dinikahi oleh [[KPH|KGPH]] [[Mangkubumi II]], kemudian diwariskan kepada [[KPH]] [[Riyo Atmodjo]]. Putra beliaudia yang mendapatkan hak waris atas dalem adalah [[Raden Mas|Kanjeng Raden Mas]] [[Haryo Purwodiningrat Sepuh]] dan kemudian pada putranya lagi Kanjeng Raden Mas [[Tumenggung Haryo Purwodiningrat]].
 
Demikian hingga kawasan ini bernama Poerwadiningratan. (Menurut aturan Jawa, Dalem diberi nama sesuai dengan pemilik terakhir bangunan). Sampai sekarang Dalem Poerwodiningratan dimiliki oleh segenap keluarga keturunan Poerwadiningrat.
Baris 199:
Kanjeng Raden Mas Tumenggung Haryo Poerwodiningrat adalah seorang [[Bupati]] [[Keraton Kasunanan Surakarta]] yang pernah menjabat sebagai penguasa [[Taman Sriwedari|Sriwedari]]. Seorang dengan wibawa besar yang tercermin dari dalem yang dimilikinya.
 
Pengaruh ini dirasakan menurun ketika beliaudia wafat (sesuai peribahasa Jawa ''Yen ditinggal Ibu ora kopen ning yen ditinggal Bapak ora kajen''). Ini tercermin dari kebiasaan-kebiasaan penghormatan terhadap bangunan yang telah berubah. Misalnya kendaraan yang berlalu-lalang disekitar pendopo atau masuk pendopo tanpa melepas alas kaki.
 
Pada zaman KRTH Poerwodiningrat, pendatang yang masuk ke lingkungan dalem berjalan kaki bahkan berjalan jongkok di pendopo untuk menghormat. Halaman pendopo ditutup pasir untuk area duduk para abdi dalem yang sowan, dan ada tempat penyimpanan payung-payung untuk para tamu.
Baris 245:
 
{{Surakarta}}
 
[[Kategori:Sejarah Kota Surakarta]]