Khalifah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
beberapa kata yang salah ketik.
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k penggantian teks otomatis dengan menggunakan mesin AutoWikiBrowser, replaced: beliau → dia
Baris 1:
{{Islam}}
'''[[Khalifah]]''' ([[bahasa Arab|Arab]]:خليفة ''Khalīfah'') adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat [[Islam]] setelah wafatnya [[Nabi Muhammad SAW]] (570–632). Khalifah juga sering disebut sebagai ''Amīr al-Mu'minīn'' (أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang yang beriman", atau "pemimpin orang-orang [[mukmin]]", yang kadang-kadang disingkat menjadi "amir".
 
Setelah kepemimpinan [[Khulafaur Rasyidin]] ([[Abu Bakar]], [[Umar bin Khattab]], [[Utsman bin Affan]], dan [[Ali bin Abi Thalib]]), kekhalifahan yang dipegang berturut-turut oleh [[Bani Umayyah]], [[Bani Abbasiyah]], dan [[Kesultanan Utsmaniyah]], dan beberapa negara kecil dibawah kekhilafahan, berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke [[Spanyol]], [[Afrika Utara]], dan [[Mesir]].
 
Khalifah berperan sebagai pemimpin ummat baik urusan negara maupun urusan agama. Mekanisme pemilihan khalifah dilakukan baik dengan wasiat ataupun dengan majelis [[Syura']] yang merupakan majelis ''Ahlul Halli wal Aqdi'' yakni para ahli ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Sedangkan mekanisme pengangkatannya dilakukan dengan cara [[bai'at]] yang merupakan perjanjian setia antara Khalifah dengan ummat.
 
Khalifah memimpin sebuah [[Khilafah]], yaitu sebuah sistem kepemimpinan umat, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran, Hadist, Ijma dan Qiyas.
 
Jabatan dan pemerintahan kekhalifahan terakhir, yaitu kekhalifahan [[Utsmani]] berakhir dan dibubarkan dengan pendirian [[Republik Turki]] pada tanggal [[3 Maret]] [[1924]] ditandai dengan pengambilalihan kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh '''Majelis Besar Nasional Turki''', yang kemudian digantikan oleh '''Kepresidenan Masalah Keagamaan''' (''The Presidency of Religious Affairs'') atau sering disebut sebagai '''Diyainah'''.
 
== Etimologi ==
Baris 18:
 
=== Pengganti Nabi Muhammad ===
[[Fred M. Donner]], dalam bukunya ''The Early Islamic Conquests'' (1981), berpendapat bahwa kebiasaan [[bangsa Arab]] ketika itu adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga (''bani'' dalam bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin dari salah satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam [[syuro]] atau musyawarah ini. Para kandidat biasanya memiliki garis keturunan dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya merupakan keluarga jauh.
 
Hingga pada tiba saatnya Nabi Muhammad meninggal, kaum Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk menjadi penerus kepemimpinan Islam setelah wafatnya rasul, hingga saat ini apa yang dibicarakan di dalam masa tenggang itu masih menjadi kontroversi di kalangan kaum Muslim, namun dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum muslim yang hadir dalam musyawarah saat itu meyakini bahwa [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] adalah penerus kepemimpinan Islam yang akan menggantikan rasul karena sebelum Nabi Muhammad meninggal, ia dipercaya untuk menggantikan posisi Nabi Muhammad sebagai imam shalat, dan akhirnya Abu Bakar pun terpilih menjadi Khalifah pertama dalam sejarah Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad.
Baris 44:
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (''amanah'') dari [[Islam|umat Islam]] dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut. Hal ini didasarkan pada hadist yang berbunyi:
<blockquote>"''It (sovereignty) is a trust, and on the Day of Judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who were deserving of it and did well.''"</blockquote>
Hal ini sangat kontras dengan keadaan [[Eropa]] saat itu dimana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.<ref>[[Omar Hossino]]. ''Classical Islamic Views on Human Nature, Political Authority, and International Relations'', 2006.</ref>
 
Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:
Baris 95:
 
== Keruntuhan kekhalifahan ==
Tepatnya pada tanggal 23 Maret 1924, keruntuhan kekhalifahanan terakhir, Kekhalifahan Turki Usmaniyah, terjadi akibat adanya perseteruan di antara kaum [[nasionalis]] dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi Turki.
 
Setelah menguasai [[Istambul]] pasca-Perang Dunia I, [[Inggris]] menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan khalifah dan pemerintahannya tersendat. Kekacauan terjadi di dalam negeri, sementara opini umum mulai menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan [[Mustafa Kemal Pasha]] untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada dua pemerintahan saat itu; pemerintahan khilafah di [[Istambul]] dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di [[Ankara]]. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha belum berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua [[parlemen]], yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Baris 115:
 
== Negara Islam ==
 
 
Syariah tidak mengkhususkan pengaturan mengenai bentuk yang wajib untuk suatu negara Islam. Jadi, perkara negara ini masuk urusan duniawi yang dibebaskan. Akan tetapi, keberadaannya harus tetap ada untuk menerapkan sebagaian hukum-hukum Islam yang tidak bisa diterapkan selain oleh negara, misalnya hukum jinayah dan jihad. Hanya saja terdapat kontroversi mengenai boleh tidaknya memakai sistem demokrasi. Yang jelas, syarat berdirinya sebuah negara Islam yaitu adanya Hakim (penguasa), rakyat yang yang mayoritas beragama Islam, wilayah, pengakuan atas negara lain, dan diterapkannya hukum syariat Islam. Maksud pengakuan negara lain ini tidaklah harus menjadi anggota PBB atau semacamnya. Akan tetapi minimal negara-negara lain terutama tetangganya tidak bisa melintas perbatasannya tanpa izin dikarenakan pengakuan secara langsung maupun tidak langsung dari tetangganya. Contoh paling mudah adalah tidak mampunya Tentara Zionis melintas perbatasan Gaza seenaknya tanpa mengerahkan kekuatan militernya. Walaupun zionis tidak mengakui kekuasaan Hamas di Gaza, akan tetapi ketidakmampuan nya menyeberang Gaza tanpa perang sebenarnya adalah pengakuan tak langsungnya atas kekuasaan Hamas. Dikarenakan ketiadaan institusi khilafah dan terbaginya kaum muslimin saat ini ke dalam banyak negara, maka solusi terbaik yang bisa ditawarkan adalah bersatunya Umat Islam memperjuangkan Khilafah yang pasti akan kembali tegak, karena ini merupakan janji Allah.
Baris 159 ⟶ 158:
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah [[Abu Bakar]], [[Umar bin Khathtab]], [[Utsman bin Affan]], dan [[Ali bin Abi Thalib]], ridlwanullah ‘alaihim.
 
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliaudia. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
 
Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.
Baris 187 ⟶ 186:
{|
|
 
=== Khulafa'ur Rasyidin di Madinah ===
* [[Abu Bakar Al-Shiddiq|Abu Bakar]] ([[632]] - [[634]])