Konten dihapus Konten ditambahkan
sumber
sumber
Baris 1:
'''Jancok''', '''Dancok''', atau disingkat menjadi '''Cok''' (juga ditulis '''Jancuk''' atau '''Cuk''', '''Ancok''' atau '''Ancuk''') adalah sebuah kata yang menjadi ciri khas komunitas masyarakat di [[Jawa Timur]], terutama [[Malang]] dan sekitarnya. Meskipun memiliki [[konotasi]] buruk, kata ''jancok'' menjadi kebanggaan serta dijadikan simbol identitas bagi komunitas penggunanya, bahkan digunakan sebagai [[kata ganti|kata sapaan]] untuk memanggil di antara teman, untuk meningkatkan rasa kebersamaan. <ref name=saroh>Saroh, Yam. 2010. ''”Jancok or Dancok” in Discourse (Semantic and Pragmatic)'', Paper. Jombang: ''English Department 2008-C'', Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Persatuan Guru Republik Indonesia.</ref>
 
Normalnya, kata tersebut digunakan sebagai umpatan pada saat emosi meledak, marah, atau untuk membenci dan mengumpat seseorang. Kata ''Jancok'' juga menjadi simbol keakraban dan persahabatan khas di kalangan sebagian ''arek-arek SuroboyoMalang''.<ref name=mustakwa>Mustakwa. 10 Juli 2010. [http://ipinaprilio.blogspot.com/2010/07/sarba-serbi-tentang-kata-dancok.html serba-serbi tentang kata Dancok….!!!!!!].</ref>
 
==Etimologi==
Baris 19:
===Versi penjajahan Jepang===
Kata "Jancok" berasal dari kata ''Sudanco'' berasal dari zaman [[romusha]] yang artinya “Ayo Cepat”. Karena kekesalan pemuda Surabaya pada saat itu, kata perintah tersebut diplesetkan menjadi “Dancok”.<ref name=jancoke/>
 
===Versi umpatan===
Warga Kampung Palemahan di Surabaya memiliki sejarah oral bahwa kata “Jancok” merupakan [[akronim]] dari “''Marijan ngencuk''” (“Marijan berhubungan badan”). Kata ''encuk'' merupakan [[bahasa Jawa]] yang memiliki arti “berhubungan badan”<ref name=jancoke/>, terutama yang dilakukan di luar nikah. Versi lain menyebutkan bahwa kata “Jancuk” berasal dari kata kerja “''diencuk''”. Kata tersebut akhirnya berubah menjadi “Dancuk” dan terakhir berubah menjadi “Jancuk” atau “Jancok”..<ref name=saroh/>
 
==Makna==
Kata “Jancok” merupakan kata yang [[tabu]] digunakan oleh masyarakat [[Pulau Jawa]] secara umum karena memiliki [[konotasi]] negatif. Namun, penduduk [[Surabaya]] dan [[Malang]] menggunakan kata tersebut sebagai identitas komunitas mereka<ref name=saroh/> sehingga kata “''Jancok''” memiliki perubahan makna [[ameliorasi]] (perubahan makna ke arah positif).
 
[[Sujiwo Tedjo]] mengatakan:<ref name=surya/>
Baris 32 ⟶ 29:
Menurut Anas Arrasyid, kata "''jancok''" adalah suatu hadiah terburuk yang diberikan secara langsung kepada seseorang yang dibenci, tetapi juga digunakan sebagai kosakata pertemanan yang biasa. Akibatnya, kata "jancok" menjadi penjajahan akidah moral dalam bertutur kata. Hasil dari surveinya bahwa jancok merupakan kata umpatan yang sangat mencolok dan akan membuat seseorang sakit hati bila mendengarkannya di bandingkan umpatan lainnya seperti "''Asu, Kerek, Bedhes, Jangkrik, Jaran, dan Bangsat''".{{citation needed}}
 
Dalam konferensi pers konser ''Mahacinta Rahwana'' di [[JX Internasional]] pada tanggal 18 November 2013, [[Sitok Srengenge]] menambah keterangan [[Sujiwo Tedjo]] yang menegaskan bahwa konsep dan filosofi ''jancukers'' tumbuh di [[Jawa Timur]], khususnya [[SurabayaMalang]]:
:''"Di sinilah sebuah republik bernama Republik Jancukers itu tumbuh dan memunculkan definisi baru mengenai kata jancuk yang sudah tidak identik dengan konotasi negatif."''<ref name=jp>ina, c2, dan nw. Selasa, 19 November 2013. "Jawa Pos: Metropolis", ''Mahacinta Rahwana untuk Republik Jancukers, Filosofi Jancukers Tumbuh di Surabaya'', hal. 39.</ref>