Filsafat Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ferryhidayat (bicara | kontrib)
Baris 101:
 
Suatu ‘Filsafat Islam Regional’ lainnya, seperti ‘Filsafat Islam Indonesia’, sudah banyak yang membahas, terutama mengenai mazhab-mazhab seperti ‘Tradisionalisme’, ‘Modernisme’, ‘Revivalisme’, ‘Neo-modernisme’, ‘’Transformasionisme’, ‘Liberalisme’, dan ‘Perenialisme’, sehingga tak perlu dibahas lagi di sini. Hanya saja, ada kecenderungan baru saat ini yang dinamakan ‘sesatisme', yang mulai menyuarakan pandangan-pandangan mereka dalam buku-buku tebal yang dipublikasikan secara luas. Walaupun belum layak dianggap sebagai suatu mazhab filsafat, pandangan mereka mulai diterima luas oleh masyarakat Islam Indonesia. Pendasaran argumentasi mereka pada terjemahan [[Al-Quran]] berbahasa Indonesia atau ‘terjemahan sewenang-wenang’ mereka sendiri atas ayat Al-Quran—ini keunikan tersendiri dari mereka, yang sekaligus juga merupakan bukti ketololan mereka akan tata-bahasa Arab—cukup membuktikan bahwa mereka memiliki sandaran filosofis yang jelas. Yang mereka pegang bukanlah Al-Quran, tapi terjemahannya atau ‘tafsir bebas’ nya. Dan terjemah atau ‘tafsir bebas’ adalah sejenis filsafat. [[Hartono Ahmad Jaiz]] dapat dimasukkan dalam mazhab ini. Dalam bukunya ''Aliran dan Paham Sesat di Indonesia'', Jaiz mengritik sebagai ‘sesat’ beberapa mazhab ‘Filsafat Islam’ yang pernah ada sebelumnya, yakni, mazhab-mazhab ‘Liberalisme’, ‘Modernisme’ dan ‘Neo-modernisme’. Bukunya yang lain ''Ada Pemurtadan di IAIN'', mengritik beberapa dosen UIN/IAIN yang bercorak liberal, modern, dan neo-modern.
 
===5. Mazhab Kristen.===
 
Seperti Filsafat Islam, Filsafat Kristen (''Christian Philosophy'') adalah filsafat yang lahir di wilayah kuasa Kristen dan diproduksi oleh komunitas religius Kristen yang menetap di wilayah itu. Selain [[Filsafat Barat]], Filsafat Kristen juga merupakan bidang yang amat dikuasai oleh filsuf-filsuf Kristen Indonesia. Filsafat Kristen terbagi dalam beberapa cabang: ‘Filsafat Kristen Awal’, ‘Filsafat Kristen Helenistik’, ‘Filsafat Kristen Pertengahan’ (yang disebut pula dengan sebutan ‘Filsafat Skolastik’), ‘Filsafat Kristen Renaisans dan Reformasi’, dan ‘Filsafat Kristen Modern dan Kontemporer’. Di samping pembagian itu, ‘Filsafat Kristen’ pun dapat dikaji secara regional, seperti ‘Filsafat Kristen Jerman’, ‘Filsafat Kristen Amerika’, ‘Filsafat Kristen Amerika Latin’, ‘Filsafat Kristen Filipina’, bahkan ‘Filsafat Kristen Indonesia’, karena situasi kongkrit yang harus diresponi umat Kristen di negara-negara itu tidak mesti sama.
 
 
‘Filsafat Kristen Awal’, dikaji oleh Nico Syukur Dister dalam karyanya ''Filsafat Agama Kristiani: Mempertanggungjawabkan Iman akan Wahyu Allah dalam Yesus Kristus''. ‘Filsafat Skolastik’, sejak Santo Anselmus hingga Santo Thomas Aquinas, telah dikaji oleh A. Hanafi dalam bukunya ''Filsafat Skolastik''. ‘Filsafat Kristen Modern dan Kontemporer’, misalnya, dikaji oleh Thomas Hidya Tjaya dalam bukunya ''Kosmos: Tanda Keagungan Allah, Refleksi menurut Louis Bouyer''.
 
 
Yang tak kalah menariknya ialah ‘Filsafat Kristen Indonesia’, yakni sistem filsafat yang diadaptasikan dengan situasi riel yang dialami filsuf Kristen di Indonesia. ‘Filsafat Kristen Indonesia’ dapat dibagi dalam 4 cabang seperti [[Transformasionisme]], [[Pribumisme]], [[Liberasionisme]], dan [[Feminisme]]. ‘Transformasionisme’ dikaji oleh JB. Banawiratma dalam karyanya ''10 Agenda Pastoral Transformatif, HAM, dan Lingkungan Hidup''. Sedangkan ‘Pribumisme’ dikaji oleh Robert J. Hardawiryana dalam bukunya ''Cara Baru Menggereja di Indonesia: Umat Kristen Mempribumi''. ‘Liberasionisme’ cukup banyak yang mengkaji sejak era Soeharto, seperti yang dilakukan oleh [[J.B. Mangunwijaya]], Franz Magnis-Suseno, Wahono Nitiprawiro, [[J.B. Banawiratma]], A. Suryawasita, I. Suharyo, C. Putranta, R. Hardawiryana, AL. Purwahadiwardaya, [[TH. Sumartana]], Greg Soetomo, dan Budi Purnomo. Sedangkan ‘Feminisme’ dikaji secara Kristiani oleh Smita Notosusanto, seperti kajiannya dalam buku ''Perempuan dan Pemberdayaan'' dan St. Darmawijaya dalam bukunya ''Perempuan dalam Perjanjian Lama''.
 
 
===6. Mazhab Paska-Soehartoisme.===
 
‘Filsafat Paska-Soehartoisme’ berarti filsafat yang lahir untuk mengritik paham dan ''praxis'' Soehartoisme—modernisasi yang dianut Soeharto ‘si Bapak Pembangunan’ itu—dan hendak menghapus segala residu-residunya dengan cara menggantinya dengan paham alternatif. Kritik terhadap Soehartoisme sudah mulai merebak sejak dasawarsa 1970-an dari kampus ITB Bandung (1973) dan Peristiwa Malari di Jakarta (1974), tapi semua kritikan itu tidak didengar. Sejak dasawarsa 1990-an menjelang ''lengser'' Soeharto, kembali kritikan dilancarkan oleh beberapa filsuf baru. Merekalah cikal-bakal tokoh filsafat yang kemudian dinamakan filsafat paska-Soeharto. Yang termasuk pelopor filsafat ini ialah [[Sri-Bintang Pamungkas]], [[Budiman Sudjatmiko]], [[Muchtar Pakpahan]], [[Sri-Edi Swasono]], dan [[Pius Lustrilanang]]. Sri-Bintang Pamungkas mengritik Soehartoisme dalam karyanya ''Sri Bintang: ‘Saya Musuh Politik Soeharto’'', ''Dari Orde Baru ke Indonesian Baru Lewat Reformasi Total'', ''Dari Orde Baru ke Indonesia Baru'', dan ''Dibalik Jeruji: Menggugat Dakwaan Subversif''. Sedangkan Budiman Sudjatmiko mengritik Soehartoisme lewat pidato resmi partainya PRD. Muchtar Pakpahan mengritik Soehartoisme lewat bukunya ''Menarik Pelajaran dari Kedung Ombo'' (1990), ''Menuju Perubahan Sistem Politik'' (1994), ''DPR RI Semasa Orde Baru'' (1994), dan ''Rakyat Menggugat'' (1996). Filsafat paska-Soehartoisme yang dianut Pius Lustrilanang dikaji oleh Sihol Siagian dalam karyanya ''Menolak Bungkam: Pius Lustrilanang''.
 
Setelah Soeharto ''lengser'', rupanya Soehartoisme tidak bersama-sama tumbang. Soehartoisme masih bertahan, beradaptasi dengan situasi Indonesia baru, bahkan hingga saat ini. Soehartoisme tetap bertahan, yang terjadi hanyalah perbaikan-perbaikan tambal-sulam yang kerap disebut ‘Reformasi’, yang dilakukan eksponen-eksponen Soehartoist yang masih selamat dari kritik rakyat. Hal itulah yang menggelisahkan [[Sri-Edi Swasono]], kakak kandung dari Sri-Bintang dan menantu Mohammad Hatta 'si pendiri Republik', sehingga ia khawatir bahwa yang terjadi malah ''deformasi'' (pembekuan), bukannya perubahan keadaan umum Indonesia yang signifikan. Kekhawatiran itu diungkap dalam karyanya ''Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat'' dan ''Dari Lengser ke Lengser''.
 
==Lihat pula==