Suku Sambas: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ign christian (bicara | kontrib)
k {{rapikan}}
Baris 37:
[[Kabupaten Sambas]] terkenal dengan sebuah peninggalan sejarah yaitu sebuah keraton peninggalan [[Kesultanan Sambas]]. Penduduknya mayoritas melayu, dan berbahasa melayu. Sebagian besar bahasa yang digunakan adalah sama. Bahasa Melayu sangat mudah dipahami, apalagi bagi orang yang mendengar orang Betawi berbicara, karena kurang lebih bahasa [[Betawi]] dan Melayu sama, misalnya: Seseorang berbicara, "Kamu mau ke mana?", jika dalam bahasa melayu "Kau nak ke mane", (penyebutan "e" dalam bahasa melayu, sedangkan bahasa suku Sambas membunyikan "e" seperti bunyi pada kata "lele". Keunikan lain dari bahasa Melayu Sambas adalah pengucapan huruf ganda seperti dalam Bahasa [Melayu] Berau di [[Kalimantan Timur]], seperti pada kata 'bassar' (artinya besar dalam bahasa [[indonesia]]).
 
Jika menilik kebelakang Sambas pra Islam maka dapat kita tarik dari dua sisi, Pertama; Sambas dari sisi Budaya dan Kedua Sambas dari sisi Bahasa. Kita akan lihat dari sisi pertama yakni sisi Bahasa. Suku Sambas dari sisi bahasa merupakan rumpun terdekat dari Bahasa Banyuke (Dayak Kanayatn atau rumpun bahasa Selako). Sangat banyak kosa kata yang sama antara kedua bahasa tersebut. Bahasa Sambas memiliki dialeg tersendiri setelah turun temurun beradaptasi dengan lingkungan dan peradaban. Sebelum menjadi Melayu tentu Sambas pra Melayu adalah juga Dayak atau turunan dari Dayak. Hal itu tidak mungkin dipungkiri sebab secara wilayah pun Sambas berada sangat dekat dengan wilayah Dayak Kanayatn (Selako) atau Dayak berbahasa Bangahe dan Bangape bahkan wilayah tersebut tanpa batas sungai atau laut. Hal itu memungkinkan terjadinya perubahan bahasa setelah orang Sambas yang sejatinya Dayak beragama Hindu awal berubah menjadi Dayak Islam dan menciptakan budaya baru dan dialeg bahasa baru dengan tidak meninggalkan akar kosa katanya.
 
Kedua dari sisi Budaya. Suku Sambas sejatinya pra Islam tentu berbudaya Dayak, hal itu dapat dilihat dari silsilah keturunannya, hak kepemilikan atas hutan, tanah dan adat istiadat. Sambas pra Islam memiliki budaya perladangan dan pertanian dengan peralatan pertanian dan gaya hidup budaya yang sama bahkan setelah memeluk Islampun budaya perladangan dan pertaniannyapun tidak berubah, bahkan peralatan pertaniannya serta gaya budayanyapun sama. Artinya Suku Sambas berasal dan berawal dari satu rumpun yang sama sebagai orang Dayak Kalimantan yang pada periode tertentu telah memeluk agama Islam dan mendirikan suatu pemerintahan berbentuk kerajaan yang kemudian disebut sebagai Kerajaan Sambas.
 
Setelah Belanda masuk ke Indonesia dan masuk ke wilayah Kalimantan Barat barulah dimulai era perselisihan akibat dibenturkan oleh politik Devide et Impera. Politik Devide et Impera inilah yang membuat perbedaan-perbedaan menjadi semakin meruncing khususnya perbedaan agama. Sejak masuknya Belanda sebagian besar orang Sambas telah beragama Islam sehingga sulit untuk di Kristenkan oleh misi dari Belanda sehingga misi Belanda menggarap sebagian besar masyarakat yang berada di pedalaman yang masih beragama Hindu Kaharingan (agama asli dalam budaya Hindu Dayak). Alhasil penduduk pedalaman yang tadinya Hindu Dayak banyak yang menjadi pemeluk agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan.
 
Semula ajaran Islam diperkenalkan diantara orang-orang Dayak namun sebagian kecil dari mereka menjadi Islam. Penyebarannya melalui Sungai Mempawah dan Sungai Sambas, Sungai Selakau dan banyak anak sungai lainnya. Namun penyebaran Islam tidak sampai ke pedalaman sehingga banyak penduduk di bagian paling dalam tidak tersentuh misi Islam tetapi sebaliknya tersentuh oleh misi Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Hal itu dapat kita lihat dari banyaknya orang Dayak beragama Kristen yang memakai nama bernuansa Islam seperti; Rabudin, Burhanudin, Muhammad, Syafei, Jainudin dan sebagainya termasuk nama-nama wanitanya bernuansa Islami namun mereka beragama Kristen. Artinya pengaruh Islam telah masuk namun tanggung. Sebagian besar hanya pengaruh Islam saja yang masuk namun tidak sampai kepada amasuknya keyakinan Islam dalam budaya Dayak pedalaman sehingga batallah orang Dayak menjadi Melayu seperti yang terjadi pada Dayak-Dayak lainnya yang telah masuk Islam merubah identitas dirinya menjadi Melayu. Demikian halnya juga terjadi pada budaya Suku Sambas. Sejak awal di Kalimantan memang tidak ada Melayu, yang ada adalah Dayak-Islam. Adanya Melayu dimaksudkan untuk membedakan keyakinan agama saja antara Dayak yang Islam dan Dayak yang Kristen. Dayak Islam lebih cenderung menyebut dirinya Melayu sementara bagi orang Dayak mereka tetap disebut Dayak dengan sebutan bukan Melayu tetapi " urang laut", "senganan", "sinan" dan sebutan Dayak yang telah merubah agama dan budayanya menjadi Islam. Orang Dayak tidak mengenal Melayu kepada mereka yang menyebut dirinya Melayu tetapi "Senganan", "Laut", "Sinan" dsb. Mengapa demikian karena orang Dayak mengetahui asal usul nonok moyang mereka sejak awal dan ditutur tinularkan dari mulut ke mulut sehingga sebutan laut, Sinan, Senganan lebih tepat untuk menyebuut orang-orang Dayak yang telah menjadi Islam ketimbang Melayu. Hal itu diperkuat oleh teori bahasa yang menyatakan bahwa dimana rumpun bahasa daerah yang paling banyak maka disitulah asal usul bahasa menyebar. Hal itu diperkuat lagi bahwa menurut James T Collins kemungkinan besar akar bahasa Melayu justeru berada dan berasal dari Kalimantan Barat. Hal itu didukung dari banyaknya sebaran bahasa Dayak dan Bahasa Senganan (Melayu Kalimantan) di wilayah Kalimantan Barat ketimbang wilayah Kalimantan lainnya.