Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 44:
Abdul Malik, nama kecil Hamka lahir pada 17 Februari 1908 <small><nowiki>[</nowiki>[[Kalender Hijriyah]]: 13 Muharram 1362<nowiki>]</nowiki></small> di sebuah dusun [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Nagari Sungai Batang]] yang berada di tepian [[Danau Maninjau]], [[Sumatera Barat]]. Hamka adalah anak sulung dari empat bersaudara dalam keluarga ulama [[Abdul Karim Amrullah]] dari istri keduanya Siti Shafiah. Keluarga ayahnya adalah penganut agama yang taat. Abdul Karim Amrullah yang berjulukan Haji Rasul dikenang sebagai ulama pembaru Islam di Minangkabau, putra dari [[Muhammad Amrullah]]. Adapun keluarga ibunya lebih terbuka kepada adat. Pandangan ayah Hamka yang berbenturan dengan tradisi adat dan amalan tarekat mendapat penolakan masyarakat—tetapi tidak melakukan pertentangan terbuka karena menaruh hormat kepada Muhammad Amrullah yang disegani sebagai pemimpin [[Tarekat Naqsyabandiyah]]. Setelah Muhammad Amrullah meninggal, ayah Hamka pindah ke Padangpanjang.
 
Malik masih berusia empat tahun ketika orangtuanya pindah ke Padang. Ia melewati masa kecil di rumah ''anduang''nya, nenek dari garis ibu. Bersama teman-teman sebaya, Hamka kecil menghabiskan waktu bermain di Danau Maninjau. Mengikuti tradisi anak-anak laki-laki di Minangkabau, Malik belajar mengaji di [[surau]] yang berada di sekitar tempat ia tinggal.{{sfn|Tamara, dkk|1983|pp=78}} Pada usia enam tahun, Malik diajak pindah ayahnya ke Padang Panjang, belajar mengaji pada ayahnya sendiri. Malik sempat mendapatkan pengetahuan umum seperti berhitung dan membaca saat masuk ke [[Sekolah Desa]] pada tahun 1915, tetapi berhenti setelah tamat kelas dua.{{sfn|Kenang-kenangan 70 tahun...|1983|pp=260}}{{sfn|Rahzen|2007|pp=246}}{{sfn|Yusuf|2003|pp=40}}{{efn|Ada dua jenis sekolah pemerintah bagi anak-anak Minangkabau, yakni Sekolah Gubernemen dengan jenjang tertinggi sampai kelas empat dan Sekolah Desa dengan jenjang terakhir sampai kelas tiga. Hajir Rasul berencana menyekolahkan Malik di Sekolah Gubernemen, tetapi karena terlambat mendaftar sehingga kelas yang dibuka terlanjur penuh, Malik didaftarkan di Sekolah Desa.}} Lokasi Sekolah Desa berada di [[Guguk Malintang, Padangpanjang Timur, Padangpanjang|Guguk Malintang]], menempati kawasan tangsi militer sehingga memengaruhi pergaulan Malik. Hajir Rasul berencana menyekolahkan Malik di Sekolah Gubernemen tetapi kelas telanjur penuh. Malik kecil membawa perangai nakal karena sering menyaksikan perkelahian antara murid kedua sekolah. Pada 1916, [[Zainuddin Labay El Yunusy]] membuka sekolah agama [[Diniyah School]] yang menerapkan sistem kelas di Pasar Usang. Sambil tetap belajar setiap pagi di Sekolah Desa, ia belajar setiap sore di Diniyah School.{{sfn|Safrudin|2008|pp=198}} Diniyah School mengajarkan bahasa Arab dan materi yang diadaptasi dari buku-buku sekolah rendah Mesir. Namun sejak dimasukkan ke [[Sumatera Thawalib|Thawalib]] oleh ayahnya pada tahun 1918, ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa.{{sfn|Reid dan Marr|1983|pp=40}}{{sfn|Yusuf|2003|pp=41}} Ia belajar di Diniyah School setiap pagi, sementara sorenya belajar di Thawalib dan malamnya kembali ke surau.{{sfn|Kenang-kenangan 70 tahun...|1966|pp=26}} Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Kegiatan Hamka kecil setiap hari yang demikian diakuinya membosankan dan mengekang kebebasan masa kanak-kanaknya.{{sfn|Yani|2010}}
 
Saat berusia 12 tahun, Malik menyaksikan perceraian orangtuanya. Haji Rasul menceraikan Siti Shafiah dan membawa Malik tinggal di Padangpanjang. Hari-hari pertama setelah perceraian, Malik tak masuk sekolah, menghabiskan waktu berpergian berkeliling kampung. Ketika berjalan di pasar, ia menyaksikan seorang buta yang sedang meminta sedekah. Malik yang iba menuntun dan membimbing peminta itu berjalan ke tempat keramaian untuk mendapatkan sedekah sampai mengantarkannya pulang. Namun, ibu tirinya memarahinya saat mendapati Malik di pasar hari berikutnya, "Apa yang awak lakukan itu memalukan ayahmu." Malik pernah pula berjalan kaki menuju [[Maninjau]] yang jauhnya 40 km dari Padangpanjang untuk memenuhi kerinduan terhadap ibunya. Setelah lima belas hari Malik meninggalkan sekolah, seorang guru dari Thawalib yang menyangka Malik sakit datang ke rumah, menyampaikan ketidakhadiran Malik. Mengetahui anaknya membolos, Abdul Karim Amrullah marah dan menampar anaknya; tetapi segera memeluk Malik dan meminta maaf.