Sejarah Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Naval Scene (bicara | kontrib)
sedikit
Baris 43:
 
=== Aceh melawan Portugis ===
Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka [[Kesultanan Malaka]] yang muncul dibawah [[Parameswara]] (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan [[Afonso d'Albuquerque|Afonso DAlbuquerque]] dengan armadanya menaklukan Malaka.
 
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan [[Sultan Ali Mughayat Syah]] (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya.
Baris 69:
 
=== Pasca-Sultan Iskandar Thani ===
Kerajaan Aceh sepeninggal [[Sultan Iskandar Thani]] mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum [[Ulama Wujudiyah]]. Padahal, [[Seri Ratu Safiatudin Seri Ta' jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam]] yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia juga menguasai 6 bahasa, [[bahasa Spanyol|Spanyol]], [[bahasa Belanda|Belanda]], [[bahasa Aceh|Aceh]], [[bahasa Melayu|Melayu]], [[bahasa Arab|Arab]], dan [[bahasa Persia|Persia]]. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang [[fatwa]] dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang [[wanita]] yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
 
== Datangnya pihak kolonial ==
Baris 90:
Belanda menyatakan [[perang]] terhadap Aceh pada [[26 Maret]] [[1873]] setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal [[Johan Harmen Rudolf Köhler]] dikirimkan pada tahun, namun ekspedisi tersebut berhasil dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan [[Panglima Polem]] dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. dan bahkan Köhler sendiripun tewas tertembak di depan Mesjid Raya Baiturrahman pada tanggal 10 April 1873.
 
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal [[Jan van Swieten]] berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal [[26 Januari]] [[1874]], digantikan oleh [[Muhammad Daud Syah dari Aceh|Tuanku Muhammad Dawood]] yang dinobatkan sebagai sultan Aceh di mesjid Indrapuri. Pada [[13 Oktober]] [[1880]], pemerintah kolonial setelah berhasil menguasai istana, menyatakan pada dunia bahwa Aceh telah ditaklukan dan perang telah berakhir. namun pernyataan pemerintah belanda ternyata salah besar, perang Aceh terus berlanjut secara gerilya dengan semangat fi'sabilillahfisabilillah terus berkobar diseluruh Aceh. perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1942 menjelang Jepang datang.
 
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di [[Singapura]] yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar [[Napoleon III dari Perancis]]. Aceh juga mengirim [[Habib Abdurrahman azh-Zhahir]] untuk meminta bantuan kepada [[Kalifah Usmaniyah]]. Namun [[Turki Utsmani]] kala itu sedang menghadapi invasi rusia yang mencaplok kawasanya seperti uzbekistan dan lain-lain. Sedangkan [[Amerika Serikat]] menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
 
Perang kembali [[Perang Aceh (1883-1892)|berkobar]] pada tahun [[1883]]. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania Raya yang sedang ditawan disalah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, [[August Willem Philip Weitzel]], kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, diantaranya [[Teuku Umar]]. Teuku Umar diberikan gelar ''panglima perang besar'' dan pada [[1 Januari]] [[1894]] bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya'NyaK Dhien, istri Teuku Umar tampil menjadi komandan perang gerilya.
 
Pada tahun [[1892]] dan [[1893]], pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. [[Christiaan Snouck Hurgronje]], seorang ahli [[Islam]] dari [[Universitas Leiden]] yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para [[ulama]], bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (''De Atjehers''). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Baris 113:
Taktik licik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan [[G.C.E. van Daalen (1863-1930)|Van Daalen]] yang menggantikan Van Heutz. Seperti [[Perang Aceh (1904)|pembunuhan di Kuta Reh]] (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki, 1149 perempuan dan anak-anak.
 
Taktik terakhir menangkap Cut Nya'Nyak Dhien, istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, walaupun kondisi fisik telah sangat lemah bahkan matapun telah buta. Cut Nya'Nyak Dhien akahir dapat ditangkap setelah pengawal kepercayaannya melakukan perjanjian rahasia dengan belanda. Cut nyak Dhien kemudian diasingkan dan meninggal/dikemumikan di [[Kabupaten Sumedang|Sumedang]], [[Jawa Barat]].
 
== Surat tanda penyerahan ==