Tari Bedaya Ketawang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib) k penggantian teks otomatis dengan menggunakan mesin AutoWikiBrowser, replaced: beliau → dia |
Baskoro Aji (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
[[File:Sacred Dance Bedhoyo Ketawang A.JPG|thumb|
'''Tari Bedhaya Ketawang'''
==Sejarah==
Ada beberapa
Setelah [[Perjanjian Giyanti]] pada tahun [[1755]], [[Pakubuwana III]] bersama [[Hamengkubuwana I]] melakukan pembagian harta warisan [[Kesultanan Mataram]], yang sebagian menjadi milik [[Kasunanan Surakarta]] dan sebagian lainnya menjadi milik [[Kesultanan Yogyakarta]]. Pada akhirnya Tari Bedhaya Ketawang menjadi milik istana [[Kasunanan Surakarta|Surakarta]], dan dalam perkembangannya sampai sekarang ini Tari Bedhaya Ketawang masih tetap dipertunjukkan saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan tahta [[Sunan Surakarta]].
==Seputar Tarian dan Makna Filosofis di Dalamnya==
Bedhaya Ketawang merupakan suatu tarian yang berfungsi bukan hanya sebagai hiburan, karena tarian ini hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang sangat resmi. Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan hubungan asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan raja-raja [[Kesultanan Mataram|Mataram]]. Semuanya diwujudkan dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang ''sondher'' dan lain sebagainya. Semua kata-kata yang tercantum dalam ''tembang'' (lagu) yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara [[Kanjeng Ratu Kidul|Kangjeng Ratu Kidul]] kepada sang raja.
Menurut kepercayaan masyarakat, setiap Tari Bedhaya Ketawang ini dipertunjukkan maka dipercaya [[Kanjeng Ratu Kidul|Kangjeng Ratu Kidul]] akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari ke sepuluh. Tari Bedhaya Ketawang ini dibawakan oleh sembilan penari. Dalam mitologi [[Suku Jawa|Jawa]], sembilan penari Bedhaya Ketawang menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan [[dewa]] yang disebut dengan ''Nawasanga''. Versi lain menyebutkan bahwa jumlah penari yang sembilan orang merupakan lambang dari Sembilan Wali atau [[Wali Songo]]. Sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh penarinya. Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid maka penari tetap diperbolehkan menari dengan syarat harus meminta izin kepada Kangjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya ''caos dhahar'' di [[Keraton Surakarta|Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta]]. Syarat selanjutnya yaitu suci secara batiniah. Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran.<ref name="b"/> Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kangjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.<ref name="b"/>
*Penari pertama disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa,<ref name="b"/><ref name="f"/>▼
*Penari kedua disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau nafsu<ref name="b"/><ref name="f"/>▼
*Penari ketiga disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan<ref name="b"/><ref name="f"/>▼
*Penari keempat disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan<ref name="b"/><ref name="f"/>▼
*Penari kelima disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri<ref name="b"/><ref name="f"/>▼
*Penari keenam disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri<ref name="b"/><ref name="f"/>▼
*Penari ketujuh disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan<ref name="b"/><ref name="f"/>▼
*Penari kedelapan disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan<ref name="b"/><ref name="f"/>▼
*Penari kesembilan disebut Dan Boncit yang disimbolkan sebagai organ seksual.<ref name="b"/><ref name="f"/> Nomor sembilan disini direpresentasikan sebagai konstelasi [[bintang-bintang]] dari arti Ketawang.<ref name="d"/>▼
Sembilan penari Bedhaya Ketawang memiliki nama dan fungsi masing-masing.<ref name="a"/> Tiap penari tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya<ref name="b"/>:
▲*Penari pertama disebut ''Batak'' yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa
▲*Penari
▲*Penari
▲*Penari
▲*Penari
▲*Penari
▲*Penari
▲*Penari
▲*Penari
Busana yang digunakan oleh para penari Bedhaya Ketawang adalah ''dodot ageng'' atau disebut juga ''basahan'', yang biasanya digunakan oleh pengantin perempuan [[Suku Jawa|Jawa]]. Penari juga menggunakan ''gelung bokor mengkurep'', yaitu ''gelungan'' yang berukuran lebih besar daripada ''gelungan'' gaya [[Kesultanan Yogyakarta|Yogyakarta]],<ref name="e">[http://www.anneahira.com/Teks pranala]</ref> serta berbagai aksesoris perhiasan yang terdiri atas ''centhung'', ''garudha mungkur'', ''sisir jeram saajar'', ''cundhuk mentul'', dan ''tiba dhadha'' (rangkaian bunga melati yang dikenakan di ''gelungan'' yang memanjang hingga dada bagian kanan). Busana penari Bedhaya Ketawang sangat mirip dengan busana pengantin Jawa dan didominasi dengan warna hijau, menunjukkan bahwa Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang menggambarkan kisah asmara [[Kanjeng Ratu Kidul|Kangjeng Ratu Kidul]] dengan raja-raja [[Kesultanan Mataram|Mataram]].
Pada awalnya Bedhaya Ketawang dipertunjukkan selama dua setengah jam. Tetapi sejak zaman [[Pakubuwana X]] diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi berdurasi satu setengah jam. Gending atau musik yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut ''Gending Ketawang Gedhe'' yang bernada ''pelog''. Perangkat [[gamelan]] yang digunakan untuk membawakan gending ini terdiri dari lima jenis, yaitu ''kethuk'', ''kenong'', ''kendhang'', ''gong'', dan ''kemanak'', yang sangat mendominasi keseluruhan irama gending. Bedhaya Ketawang dibagi menjadi tiga adegan (babak). Di tengah-tengah tarian, ''laras'' (nada) gending berganti menjadi nada ''slendro'' selama dua kali, kemudian nada gending kembali lagi ke ''laras'' ''pelog'' hingga tarian berakhir. Pada bagian pertama tarian diiringi dengan ''tembang'' ''Durma'', selanjutnya berganti ke ''Retnamulya''. Pada saat mengiringi jalannya penari masuk kembali ke [[Keraton Surakarta|Dalem Ageng Prabasuyasa]], alat gamelan yang dimainkan ditambah dengan ''rebab'', ''gender'', ''gambang'', dan ''suling''. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana.<ref name="Seputar Bedhaya Ketawang">[http://www.karatonsurakarta.com/tari%20bedhoyo.html/Teks pranala]</ref>
==Referensi==
[[Kategori:Budaya Indonesia]]
|